NovelToon NovelToon
Di Balik Penolakan

Di Balik Penolakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Berbaikan
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Reito(HxA)

Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.

Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.

Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Bertahan atau Melepaskan

Malam itu, Dion tidak bisa tidur. Hatinya kacau balau setelah kejadian yang dia lihat di sekolah tadi siang. Bayangan Clara dan Raka yang tampak begitu dekat, bahkan berpelukan, terus menghantuinya. Dia tahu itu hanya kecelakaan, tapi rasa sakit itu terlalu nyata. Apa pun alasannya, Clara sepertinya sudah membuat pilihan. Dan itu bukan dia.

Dion mengambil ponselnya dan segera mengirim pesan ke grup timnya, memanggil mereka untuk berkumpul besok. “Aku perlu bicara dengan kalian,” tulisnya singkat.

Keesokan harinya, tim mereka berkumpul di salah satu sudut sekolah. Nisa, Reza, Fariz, dan Aldi sudah duduk menunggunya dengan wajah penasaran. Dion datang dengan raut wajah datar. Tanpa basa-basi, dia langsung menceritakan apa yang membuat hatinya hancur—pemandangan Clara dan Raka yang begitu dekat, serta rasa perih yang selama ini dia tahan. Dia merasa Clara telah memilih Raka, dan itu membuatnya merasa usahanya selama ini sia-sia.

“Aku... Aku menyerah,” kata Dion akhirnya. Semua temannya terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Nisa menatap Dion dengan cemas, tak percaya apa yang dia dengar. “Dion, jangan bilang kamu benar-benar ingin menyerah... Kamu sudah sejauh ini.”

Dion menggelengkan kepalanya, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dadanya. “Aku sudah cukup. Aku izin keluar dari kelompok ini... Kelompok yang bertujuan menyelamatkan Clara.”

Kalimat terakhirnya terdengar seperti palu yang menghancurkan seluruh semangat tim. Mereka semua saling bertukar pandang, bingung harus berkata apa. Tidak ada yang bisa membantah keputusan Dion karena mereka bisa melihat betapa sakitnya dia. Namun, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa tanpa Dion, kelompok ini tidak akan sama.

“Kamu yakin?” tanya Reza, mencoba memastikan bahwa Dion benar-benar berpikir matang sebelum membuat keputusan.

Dion hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkan tempat itu, meninggalkan teman-temannya dalam kebimbangan yang mendalam.

Kesendirian di Atap

Ketika bel pulang berbunyi, Dion tidak langsung pulang seperti biasa. Alih-alih, dia memutuskan untuk pergi ke tempat yang selama ini menjadi pelariannya saat butuh ketenangan—atap sekolah. Tempat itu selalu sepi, terutama setelah jam pulang sekolah. Dia duduk di sana sendirian, memandangi langit sore yang mulai berubah warna. Angin sepoi-sepoi bertiup, memberikan sedikit ketenangan pada hatinya yang kacau.

Namun, tidak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Dion menoleh dan melihat Lara berjalan ke arahnya. Dia tidak menyangka Lara akan menemukannya di sini.

“Kau di sini rupanya,” ucap Lara sambil duduk di sebelah Dion, menyandarkan punggungnya ke dinding atap.

Dion tidak menjawab, hanya menatap lurus ke depan, menikmati angin yang berhembus lembut.

“Kau tahu, Dion?” Lara memulai dengan suara pelan, matanya menatap Dion dengan serius. “Aku menyukaimu.”

Dion terkejut mendengar kata-kata itu, namun dia tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Lara melanjutkan sebelum Dion sempat merespons.

“Dan karena aku menyukaimu, aku termotivasi untuk membantu tim kalian. Aku ingin melihatmu bahagia, Dion.” Lara tersenyum, tapi Dion bisa merasakan ketulusan dalam suaranya.

Dion menghela napas panjang. “Terima kasih, Lara. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa bahagia dengan semua ini...”

Lara menggeleng pelan, tetap dengan senyum hangatnya. “Kau hanya perlu waktu. Jangan menyerah pada dirimu sendiri, Dion. Aku tahu kamu adalah orang yang kuat. Hanya karena satu rintangan, bukan berarti segalanya berakhir.”

Mereka berdua terdiam lagi, menikmati pemandangan dari atap sekolah yang begitu tenang. Angin sore yang berhembus membawa suasana damai, seolah menghapus sementara segala masalah yang ada di hati Dion.

“Terima kasih, Lara,” kata Dion akhirnya, meski hanya sepatah kata. Dia menghargai usaha Lara untuk menghiburnya, meskipun hatinya masih terasa berat.

Saat matahari mulai tenggelam di balik horizon, anak-anak eskul yang tersisa di sekolah mulai pulang satu per satu. Dion dan Lara akhirnya memutuskan untuk turun dan pulang juga. Setelah berpisah dengan Lara di gerbang sekolah, Dion tidak langsung pulang. Ada satu tempat yang selalu dia kunjungi ketika hatinya sedang kacau—taman favoritnya.

Taman dan Kenangan

Di taman itu, Dion duduk di salah satu bangku, menikmati ketenangan malam yang mulai menyelimuti kota. Tak lama, Reza muncul dengan senyuman lebar dan dua kaleng kopi di tangannya.

“Hei, bro. Aku tahu kau pasti di sini.” Reza menyerahkan salah satu kaleng kopi itu kepada Dion sambil duduk di sebelahnya.

Dion menerima kopi itu tanpa banyak bicara. Reza meneguk kopinya, lalu menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang-bintang. “Sudah lama ya kita nggak minum kopi bareng kayak gini,” katanya.

Dion hanya tersenyum kecil. Reza selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik, bahkan tanpa harus banyak bicara.

“Ingat nggak, waktu kita pertama kali bikin geng ini? Kita, Fariz, Aldi... Selalu ada aja hal lucu yang kita lakuin,” kata Reza, tertawa mengingat masa-masa mereka bersama. “Kau ingat waktu Fariz jatuh dari motor gara-gara ngejar cewek?”

Dion tak bisa menahan tawanya saat mengingat kejadian itu. Tawa itu, meskipun singkat, memberikan sedikit kelegaan di hatinya.

“Lihat, bro. Itu kau yang dulu. Kau selalu ceria, penuh semangat. Kau adalah pusat dari geng kita. Jangan biarkan Clara atau siapa pun mengubah itu.” Reza berhenti sejenak, lalu menatap Dion dengan serius. “Kau tahu, jika kau sudah merasa lelah, nggak apa-apa untuk berhenti. Kembalilah jadi Dion yang dulu—Dion yang disukai banyak orang karena kau memang orang yang luar biasa. Clara sudah memilih Raka, bukan? Itu artinya perjuanganmu cukup sampai di sini.”

Dion menatap Reza, menyadari betapa dalam makna kata-kata temannya itu. Reza melanjutkan, “Kami sahabat-sahabatmu akan selalu ada untukmu, Dion. Dan kau juga harus ada untuk kami. Suatu saat nanti, Clara mungkin akan menyadari bahwa dia telah melepaskan bintang hanya karena melihat kembang api. Cahaya kembang api memang indah, tapi itu hanya sementara.”

Perkataan Reza itu terus bergaung di kepala Dion sepanjang perjalanan pulang. Ketika dia tiba di rumah, hatinya masih dipenuhi dengan kebingungan. Kata-kata Reza seperti tamparan lembut, memaksa Dion untuk memikirkan masa depannya. Haruskah dia benar-benar menyerah pada Clara? Haruskah dia kembali menjadi Dion yang dulu?

Setelah sampai di rumah, Dion tidak banyak bicara. Dia langsung menuju kamarnya tanpa menyapa keluarganya. Ibunya memperhatikan tingkah Dion yang semakin aneh belakangan ini, dan rasa cemas semakin menguasainya.

“Papa nggak khawatir sama Dion?” tanya ibunya dengan nada gelisah.

Pak Arif menenangkan istrinya. “Biarkan dia tenang dulu, kita beri dia ruang. Aku yakin Dion akan menemukan jalannya.”

Di dalam kamarnya, Dion berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit. Kata-kata Reza terus terngiang di pikirannya. Dalam diam, dia tahu bahwa dia harus membuat pilihan. Terus memperjuangkan Clara yang tampaknya sudah memilih Raka, atau membiarkan dirinya kembali menjadi Dion yang dulu—Dion yang hidup bebas dan bahagia, tanpa harus terjebak dalam cinta yang menyakitkan.

Malam itu, Dion tertidur dengan banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, menunggu keputusan besar yang harus dia buat.

To be continued...

1
Kamsia
tuhhkan baperan clara ternyata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!