Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 4
"Rin, gimana keadaan Salwa, apa masih demam?" Ningsih menelpon adiknya saat jam istirahat, tempat Ningsih bekerja istirahat saat waktu jam sholat, setelah sholat magrib, Ningsih menyempatkan untuk mencari kabar putrinya. Karena saat ditinggal tadi, Salwa badannya sedang demam. Antara tega tidak tega, Ningsih harus tetap berangkat kerja, karena memang tidak ada pilihan lain. Ningsih butuh uang untuk mencukupi kebutuhannya dan juga untuk membeli susunya Salwa. Karena Wandi sudah tidak pernah memberikan uang nafkah lagi. Bahkan sekedar untuk menelpon menanyakan kabar anaknya juga tidak pernah sama sekali. Wandi sudah benar benar lupa dengan istri dan anaknya di kampung.
"Alhamdulillah, mbak. Salwa sudah turun demamnya, ini dia lagi makan sama bakso. Mbak Ningsih tidak usah khawatir. Aku dan ibuk akan jagain Salwa." Balas Rina yang mengerti dengan kecemasan kakaknya.
"Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rin. Kalau tidak ada ibu sama kamu, aku gak tau harus bagaimana. Aku lanjut kerja dulu, jam istirahat sudah mau habis. Salam sama Salwa ya, Asalamualaikum." Sahut Ningsih dengan perasaan lega. Senyum tipis terukir di bibir tipisnya.
"Bagaimana, Ning. Anakmu baik baik saja, kan?" Tanya Wati yang ikut cemas, karena sedari berangkat Ningsih terlihat tidak baik baik saja, karena memikirkan keadaan anaknya yang sakit.
"Alhamdulillah, mbak. Salwa sudah turun demamnya, dan dia lagi makan bakso katanya." Balas Ningsih dengan mata berkaca kaca, nelangsa ketika mengingat bagaimana perlakuan suaminya yang tidak pernah mau perduli dengan keadaannya dan juga keadaan Salwa.
"Alhamdulillah, yasudah ayo turun. Sebelum mbak Nenci marah marah." Sahut Wati mengingatkan, karena memang pemilik toko orangnya sedikit galak.
Ningsih dan Wati kembali melakukan pekerjaannya, hingga nanti pukul sembilan malam baru toko tutup.
Saat Ningsih sampai dirumah, Salwa tengah tidur ditemani Rina. Sedangkan Bu Yati sudah terlelap sejak sore.
"Rin, Salwa gak rewel, kan?" Tanya Ningsih yang memasuki kamarnya.
"Enggak kok, mbak. Alhamdulillah panasnya juga sudah turun. Tadi juga sudah mulai ceria lagi, Salwa itu anak yang kuat dan dia tau keadaan ibunya. Mbak Ningsih beruntung punya anak sebaik Salwa. Mbak harus kuat dan jadi ibu yang tangguh, agar Salwa juga kuat menjalani ujian ini." Balas Rina dengan tersenyum hangat.
"Terimakasih, Rin. Terimakasih banyak untuk semuanya. Semoga kelak, kamu mendapatkan jodoh yang baik. Cukup aku saja yang mengalami nasib buruk ini dalam berumah tangga." Ningsih menatap lekat adiknya, mereka saling mengeratkan genggaman tangannya, memberi kekuatan satu sama lain.
"Aamiin, terimakasih banyak doanya, mbak. Aku juga selalu mendoakan yang terbaik buat mbak. Semoga masalah mbak Ningsih segera selesai, dan juga menemukan laki laki yang nantinya bisa melindungi dan menjaga mbak dengan sepenuh hati." Balas Rina tulus, mereka saling memberikan support agar tetap kuat menjalani ujian yang rumit.
"Mbak, kapan mbak Ningsih mau ajukan gugatan ke pengadilan?" Sambung Rina dengan wajah serius.
"Inginnya segera, tapi uangku belum cukup. Kamu tau sendiri kan, aku harus membeli susu dan semua kebutuhan sendiri. Mas Wandi sudah tidak lagi mengirimkan uang." Lirih Ningsih dengan suara sedikit bergetar.
"Aku dan ibu ada tabungan, semoga cukup. Coba mbak Ningsih langsung ke pengadilan saja, cari tau berapa biaya untuk mengurus surat cerai." Sahut Rina yang menatap dalam wajah kakaknya.
"Aku gak mau merepotkan kamu dan ibu, bukankah itu uang tabungan kamu untuk persiapan kamu menikah nanti, Rin?" Balas Ningsih dengan mata berkaca-kaca.
"Owalah mbak, wong calonnya saja aku belum ada kok. Sudah, mbak Ningsih pakai saja dulu ya. Insyaallah nanti kalau jodohku datang, akan ada rejekinya sendiri. Yang penting, urusan mbak sama mas Wandi cepat beres. Dari pada status mbak digantung gak jelas kayak gini." Sahut Rina dengan begitu hangatnya.
"Kalau begitu, lusa aku libur. Nanti aku akan ke pengadilan agama. Semoga uangnya cukup, Bismillah." Balas Ningsih lega dan bersyukur karena memiliki keluarga yang begitu perduli dan menyayanginya, padahal keadaan ekonomi yang pas pasan.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Sedangkan dilain tempat, Wandi tengah berdebat dengan Irma. Setelah menikah dan hidup bersama, ternyata Irma tak sebaik yang Wandi pikirkan selama ini. Irma terlalu banyak menuntut dan juga mengekang kebebasan Wandi. Bahkan Irma selalu meminta lebih untuk memenuhi gayanya yang selangit.
"Aku gak mau tau ya, mas. Pokoknya aku mau kamu belikan kulkas yang baru. Lihat itu, kulkasnya sudah gak dingin lagi. Dan gak usah kamu temui si Ningsih sama Salwa lagi, biarkan saja mereka mencari makan sendiri. Kamu itu suamiku, jadi kamu cukup memenuhi kebutuhanku dan anakku saja." Sengit Irma dengan wajah masam.
"Aku harus pulang, Ir. Aku juga kangen sama Salwa. Dia waktunya masuk sekolah, dan aku harus memastikan kebutuhan Salwa. Karena bagaimanapun Salwa itu anak kandungku." Sahut Wandi yang memang sejak beberapa hari selalu kepikiran dengan Salwa, batinnya selalu merasa sesak tiba tiba saat bayangan wajah anak perempuannya melintas di pikirannya.
"Halah, itu alasan kamu saja, mas. Bilang saja kamu mau ketemu sama ibunya, istrimu yang buluk itu, iya kan?" Sungut Irma yang masih tidak terima dengan keputusan Wandi untuk pulang kampung menemui anak istrinya.
"Ningsih itu masih istriku, dan Salwa anakku. Mereka masih berhak menerima uangku. Kamu jangan egois!" Bentak Wandi yang sudah kesal dengan kelakuan Irma yang semaunya sendiri, padahal saat mereka memutuskan menikah, Irma sudah tau akan hubungan Wandi yang memang sudah memiliki istri dan anak.
"Awas saja kalau kamu tetap ngeyel pulang kampung demi istrimu yang jelek itu. Aku gak mau kamu sentuh." Sungut Irma dengan menghentakkan kakinya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Wandi yang mengacak rambutnya dengan frustasi.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Sahabat Benalu
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tempat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
gabung bcm yu
..
follow me ya thx