Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Reynard duduk di meja makan, memegang koran pagi yang menjadi pelariannya dari semua kekacauan di rumah. Kopi hitam panas mengepul di sampingnya, menawarkan kenyamanan dalam setiap tegukan. Sementara Caitlin menatap suaminya dengan mata menyipit penuh amarah, sementara jemarinya memutar-mutar sendok kecil di mangkuk makanannya. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak murung, ada kesal yang sulit dia sembunyikan.
"Aku butuh penjelasan!" seru Caitlin tiba-tiba, suaranya memecah keheningan pagi itu. Nada tidak puasnya menyiratkan ada masalah yang lebih dari sekadar sarapan.
Reynard tak bergeming, matanya masih tertuju pada halaman koran yang sepertinya lebih menarik perhatiannya daripada istrinya yang jelas-jelas menuntut perhatian. Ia mengabaikan kerutan di dahi Caitlin dan tetap fokus pada berita yang sedang ia baca.
"Apa kamu tidak punya penjelasan sama sekali?" Caitlin mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih tinggi, berharap bisa menarik perhatian suaminya. Namun, Reynard tetap tenang, hanya berdehem sejenak sebelum menjawab dengan santai.
"Penjelasan apa yang kamu inginkan?"
Caitlin mengerang frustrasi. "Kenapa tiba-tiba saja menggigit telingaku? Sampai sekarang masih terasa sakit dan sudah merah. Bahkan bekas gigitanmu menempel di telingaku," katanya sambil menunjuk ke telinganya yang tampak memerah.
Reynard melipat korannya, meletakkannya di atas meja, lalu menatap istrinya tanpa ekspresi. "Jangan salahkan aku," jawabnya datar. "Kamu seharusnya sadar dengan ulahmu sendiri."
Caitlin menggerutu pelan. "Kalau kau tidak suka aku tidur di kasur, kenapa kamu tidak tidur di luar saja? Lagi pula di sini banyak kamar. Kenapa harus sekamar denganku?" katanya sambil melipat tangannya di dada, jelas masih kesal dengan situasi semalam.
Reynard menghela napas berat, seolah kehilangan kesabaran. "Lalu, apa yang kamu inginkan?"
Caitlin menatapnya dengan tajam. "Setidaknya memberitahu aku, apa sebabnya kau menggigit telingaku."
Reynard memandangnya sejenak sebelum kembali memegang cangkir kopinya. "Aku tidak ada waktu bermain denganmu, Habiskan sarapanmu dan ikut aku ke perusahaan," katanya dingin.
Caitlin mendengus, menundukkan wajahnya kembali ke sarapan. "Tidak mau," jawabnya singkat, masih menyimpan rasa kesal.
Reynard mengangkat bahu, tak terpengaruh oleh jawaban istrinya. "Kalau tidak mau, kau bisa jalan-jalan. Nico akan menemanimu," jawabnya tanpa emosi.
Sesaat hening. Caitlin mulai fokus pada makanan di depannya, tapi kemudian dia memperhatikan telapak tangannya, matanya menyipit seolah mengingat sesuatu yang aneh.
Reynard yang diam-diam mengamati dari sudut matanya akhirnya bertanya, "Kenapa diam?"
Caitlin mengernyitkan dahinya. "Sepertinya saat aku tidur, aku menggenggam sesuatu. Awalnya seperti daging lunak, lalu jadi keras," ujarnya sambil mengangkat tangannya, memperhatikan telapaknya seolah mencoba mengingat kembali sensasi aneh itu.
Reynard yang sedang meneguk kopinya tiba-tiba tersedak dan menyemburkan minumannya. Batuk-batuk kecil terdengar, wajahnya tampak terkejut. "Apa yang kamu katakan?"
"Perasaanku," lanjut Caitlin tanpa memperhatikan reaksi suaminya, "tidak ada benda itu di kamar, dan sepertinya juga bukan mimpi. Rasanya nyata. Aku ingat dengan jelas, daging lunak dan keras. Aku bahkan ingin mencabutnya, tapi tidak bisa. Apa sebenarnya itu?"
Reynard mengusap wajahnya dengan frustrasi, mencoba menenangkan diri. "Apa kau bisa lupakan itu dan fokus pada sarapanmu?" tanyanya dengan nada lebih tajam, jelas terganggu oleh pembicaraan yang menyinggung harta pusakanya.
Caitlin menggerutu sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, mengingat kembali sensasi aneh yang dia alami, Dengan sedikit kesal, dia bergumam, "Sebenarnya benda busuk apa yang aku pegang? Aku harus cari tahu."
Reynard meliriknya dari atas koran yang baru saja dibuka kembali. "Benda busuk? Apa maksudmu?" tanyanya, alisnya terangkat sedikit, mencoba memahami arah pembicaraan Caitlin.
"Maksudku," jawab Caitlin sambil menghela napas panjang, "adalah malam ini aku ingin pindah kamar."
Reynard langsung menutup korannya dengan suara gemerisik yang tegas, wajahnya menegang. "Tidak bisa! Kita akan ketahuan oleh mereka," katanya dengan nada tegas, seolah tak ingin ada celah dalam rencana yang telah mereka sepakati.
Caitlin mendengus, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam. "Nyawaku semakin terancam kalau tidur di sampingmu," gerutunya,"Aku ingin pulang ke rumah paman hari ini," tambahnya, kali ini dengan nada lebih tegas.
Reynard terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah istrinya. "Baiklah, Nico akan menemanimu," jawabnya.
"Tidak perlu!" Caitlin menolak dengan cepat, tak ingin dikawal ke mana-mana seperti seorang tahanan.
Reynard menggeleng pelan. "Sesuai perjanjian, saat kamu keluar harus ada yang ikut," ujarnya dingin, menyatakan aturan yang tak bisa diabaikan.
"Menjengkelkan," gumam Caitlin sambil menatap tajam ke arah suaminya. "Menyebalkan sekali." Ia merasa frustrasi dengan semua aturan yang mengikatnya.
***
Di tempat lain, dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya monitor, seorang pria tampan duduk dengan serius di depan komputernya. Matanya tajam, fokus pada layar yang menampilkan foto-foto Reynard dan Caitlin saat mereka memasuki gedung perusahaan. Bibirnya menyeringai tipis saat namanya terucap.
"Caitlin Revelton," gumam pria itu sambil mengetuk layar monitornya dengan jari telunjuknya. "Kita akan segera bertemu." Tatapan matanya penuh tekad dan rencana.
***
Sesampainya di rumah pamannya, Caitlin langsung disambut dengan kejutan yang tidak menyenangkan. Setumpuk pakaian dilempar ke arahnya dengan kasar, membuatnya hampir terjengkang. Dia mengangkat wajahnya, melihat sosok Nancy, kakak. berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Wajah Nancy memerah karena cemburu, amarah memancar dari setiap gerakannya.
"Nancy, apa yang kau lakukan?" seru Rolla.
Nancy menoleh ke arah ibunya dengan tatapan marah. "Ma, kalau bukan karena dia, aku pasti sudah menikah. Reynard pasti akan memilihku, bukan dia lagi. Tidak tahu dengan cara apa dia menggoda Reynard sehingga dia terpilih," katanya penuh emosi, pandangannya kembali menusuk Caitlin.
"Aku tidak menggodanya sama sekali, Kakak yang tidak mampu menarik perhatiannya. Kenapa menyalakan aku? Bukankah Kakak sudah berusaha mempercantik diri agar dia menyukaimu? Sementara aku hanya tampil dengan baju tidur dan baru bangun tidur," jawab Caitlin, berusaha tetap tenang di tengah situasi yang memanas.
Nancy melangkah mendekat, wajahnya semakin memerah oleh kemarahan. "Caitlin Revelton, kau jangan lupa bahwa papa dan mamaku yang membesarkanmu. Seharusnya kau menolak, bukan menerimanya," ujarnya dengan nada menuduh, seolah ingin mengingatkan Caitlin akan hutang budi yang seharusnya dia bayar.
Caitlin menatap Nancy dengan mata dingin. "Tanya saja pada paman dan bibi. Mereka yang memintaku setuju. Kalau kamu masih berminat pada Reynard, ambil saja kalau sanggup," ujarnya datar.
Nancy mendekat dengan penuh emosi, "Tidak tahu diri, kalau bukan di saat itu Papaku yang membawamu pu—"
Ucapan Nancy tiba-tiba terhenti ketika Rolla, ibu mereka, memotongnya dengan cepat. "Sudah! Jangan bertengkar lagi!" kata Rolla dengan nada tegas, berusaha menghentikan perdebatan yang semakin memanas. Namun, sorot matanya yang cemas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berusaha dia sembunyikan. Sesuatu yang sepertinya Caitlin tak boleh tahu.
Caitlin menatap tajam ke arah kakaknya dan berkata, "Membawa aku apa? Katakan dengan jelas!"
"Caitlin, abaikan saja kakakmu. Yang penting Reynard baik padamu!" jawab Rolla, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Rolla melirik ke arah Nancy dengan tatapan tajam, dan dalam hatinya menggerutu, "Dasar tidak berguna. Mulut anak ini memang tidak bisa dipercaya."Rolla tahu, satu kata lagi dari Nancy bisa membuat rahasia yang telah lama mereka simpan terungkap di depan Caitlin.
hikzz..
Reinhard knp gk cari caitlin sendiri sih mlh nyuruh nic segala 😌😌😌