Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Aku menatap keluar jendela mobil dengan pandangan yang kabur. Matanya terasa panas, dada berdebar kencang saat melihat sosok Adnan yang ditemani oleh seorang wanita lain yang tidak dia kenal.
Di dalam hatiku, ada rasa yang tak bisa dijelaskan, campuran antara kekecewaan dan rasa ingin tahu yang memuncak.
"Rania, kamu kenapa sih dari tadi ngeliatin ke arah sana, ke pintu mobil saja?" tanya Sumi dengan nada khawatir.
Suara Sumi memecah lamunan ku, namun aku hanya mampu memberikan jawaban singkat tanpa banyak emosi.
"Eemmm, gak papa, Sum," jawab ku mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
Aku memutuskan untuk tidak berbicara banyak. Ada perasaan bersalah yang menggelayut di hatiku, mungkin aku hanya salah lihat. Namun, rasa penasaran itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Dengan langkah yang masih ragu, aku mengambil ponsel dan menekan nomor mas Adnan. Panggilan diangkat dengan cepat, namun jawaban yang dia terima hanya menambah kebimbangannya.
Adnan ["Maaf, Rania. Aku lagi meeting, nanti kita bicara,"] kata Adnan dengan suara yang terburu-buru sebelum akhirnya mematikan telepon.
Aku mematung, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Pikiranku melayang, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ada kekosongan yang mendadak muncul, menyisakan lebih banyak tanya daripada jawaban.
Merasa bahwa Mas Adnan, suamiku, tiba-tiba menjadi sedikit aneh, aku mulai mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Seringkali aku melihatnya tersenyum sendiri saat memegang ponselnya, seolah-olah dia tengah mengobrol dengan seseorang yang membuat hatinya bahagia.
Selain itu, dia juga kerap pulang larut malam dan bepergian keluar kota tanpa mengajakku dan Naura seperti sebelumnya.
Mengapa aku baru menyadari perubahan ini sekarang? "Sudah setahun berlalu dan baru sekarang aku menyadari keanehan ini. Ada apa sebenarnya? Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamku cemas dalam hati.
Mungkin saja tadi aku salah lihat dan kesedihan ini hanya hasil dari kekhawatiranku belaka. Namun, perasaan gelisah ini tak kunjung hilang, seolah-olah ada yang tengah mengendap dan menunggu untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga kami.
Semoga saja ini hanyalah prasangka burukku dan Mas Adnan tetap menjadi suami yang setia dan penyayang.
Tak terasa, aku sudah berada di mall yang megah ini. Di sekelilingku, banyak orang terkenal dan para artis berkeliaran, sedangkan aku disambut oleh beberapa rekan kerja dan rekan bisnis.
Acara akan segera dimulai, jadi aku duduk manis di depan sendirian. Sumi, orang kepercayaanku, tampak sibuk dengan pekerjaannya.
"Rania," sapa Ibu Risma yang mendekatiku. Muncul rasa bangga ketika diakui oleh seseorang yang kumenghormati.
"Ibu Risma, apa kabar ibu?" jawabku dengan ramah.
"Alhamdulillah baik, Rania," seru Ibu Risma, tersenyum lebar.
"Kamu tambah cantik, dan desain gaun kamu sangat bagus dan menarik, banyak yang suka."
"Alhamdulillah, ibu," seruku. Aku merasa terharu dengan pujian dari ibu Risma.
Begitu banyak perjuangan dan jerih payah yang telah kulalui, dan sekarang akhirnya aku bisa menikmati hasilnya.
"Masih muda, tapi sangat menginspirasi banyak orang," seru Ibu Risma sambil menepuk pundakku dengan hangat.
Mendengar pujian itu, aku merasa semangat dan lebih termotivasi untuk terus berkarya. Ibu Risma berasal dari kota Bali, dan ia sangat suka dengan semua rancangan gaun yang aku buat. Bahkan, butiknya di Bali sangat ramai dan selalu jadi perbincangan.
"Ah, Ibu Risma bisa saja," sahutku sambil tersenyum malu. "Semua tidaklah mudah, bu. Ada banyak perjuangan dan liku-liku jalan yang harus dilewati."
Namun, melihat kesuksesan ini, aku yakin bahwa setiap tetes keringat dan air mata pasti akan berbuah manis di akhirnya.
Acara pun dimulai, dan aku mencoba menghubungi Mas Adnan, tetapi ia tidak mengangkat panggilan sama sekali. Bahkan pesanku pun tidak ia buka.
"Apa dia masih meeting? Kok meetingnya lama banget, sampai-sampai tak bisa menghadiri acara penting ini," keluhku dalam hati. Sejujurnya, kecewa rasanya. Acara pun berlangsung, semua hasil gaunku dipakai oleh model terkenal dan juga artis.
Aku merasa sangat terharu sekaligus bahagia. "Alhamdulillah, walaupun aku hanya lulusan SMP dan SMA kejar paket, tapi dengan ketekunan dan kepercayaan diriku untuk belajar menjahit, akhirnya aku bisa menjadi desainer seperti sekarang ini," batin ku bangga. Di tengah-tengah acara, tiba-tiba teleponku berbunyi.
Aku terkejut melihat nama di layar; guru sekolah Naura sedang meneleponku. "Kenapa ya, kok dia meneleponku sekarang? Ada apa dengan Naura? Haruskah aku menjawab panggilan ini sekarang atau menunggu acara selesai?" Aku menjadi cemas dan bingung, menimbang-nimbang antara menjawab panggilan itu dan melanjutkan acaraku yang begitu penting ini.
Aku mencoba tetap fokus pada acara ini, sambil menahan kecemasan yang mulai menyelimuti pikiranku.
"Mungkin Pak sopir terlambat menjemput Naura, jadi aku tak perlu mengangkat teleponnya walaupun dia menelfon berkali-kali," gumamku dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Ibu Guru Naura, berisi foto yang menunjukkan Naura terbaring lemah di atas tempat tidur.
Jantungku berdegup kencang, panik menyergapku dan aku segera mencari Sumi yang sedang asyik mengobrol dengan para manajer artis
"Sumi!" Panggilku lirih
"ada apa, Ran?" tanyanya dengan wajah penasaran.
"Kamu urus semuanya, Naura di rumah sakit!" ucapku dengan panik.
"Ya ampun, Naura! Kenapa bisa begitu, Ran?" Sumi terlihat khawatir dan tidak kalah panik.
""Pasti nanti Sonya bantu kamu, aku langsung otw, ya?" seruku cepat.
"Tapi Rania, aku takut nih..."
"Tenang, aku yakin kamu bisa handle ini. Naura lebih butuh aku sekarang, Sum."
"Baiklah, semoga Naura nggak kenapa-kenapa ya, Ran."
"Amin, semoga semuanya lancar."
Karena sahabatku sedang sibuk dengan urusannya, aku hanya bisa mengirim pesan singkat dan meminta dia untuk mengurus semuanya.
Dalam hati, aku merasa bersalah telah meninggalkan Naura dan menyerahkan tanggung jawab pada Sumi dan sahabat lainnya. Tetapi, saat ini yang terpenting adalah kesehatan Naura dan aku harus segera mengecek kondisinya di rumah sakit.
Aku berlari terburu-buru menuju parkiran mobil, syukurlah tadi Sumi sempat memberikan kunci mobilnya padaku.
Dengan hati berdebar kencang, aku langsung melaju ke dalam mobil dan menggeber gasnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan ibu kota menuju rumah sakit.
Sambil berkendara, aku mencoba untuk menelfon Mas Adnan lagi dan lagi, tetapi sayangnya tidak ada jawaban dari ujung sana. Frustrasi mulai menyelimuti, aku lemparkan ponselku ke bangku samping dengan kesal.
"Sebenernya kami di mana, Mas?" teriakku di dalam mobil, seolah-olah suaraku bisa mengusir kebimbangan yang ada dalam pikiranku.
"Kenapa harus saat-saat genting seperti ini kamu menghilang? Aku sangat membutuhkanmu di sini," keluhku dalam hati.
Aku berharap apa yang terjadi ini hanya mimpi buruk semata, dan sebentar lagi aku akan terbangun dengan semuanya kembali normal. Namun sayangnya, inilah kenyataan yang harus aku hadapi, sendiri tanpa Mas Adnan di sisiku.
****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...