Hai, kenalin! Ini adalah novel gue yang bakal ngajak kalian semua ke dunia yang beda dari biasanya. Ceritanya tentang Lila, seorang cewek indigo yang punya kemampuan buat liat dan ngerasain hal-hal yang nggak bisa dilihat orang lain. Tapi, jangan mikir ini cuma cerita horor biasa, ya!Lila ini kerja di kota besar sebagai jurnalis, sambil terus nyoba buat hidup normal. Sayangnya, dunia gaib nggak pernah jauh dari dia. Dari gedung-gedung angker sampai pesan misterius, Lila selalu ketarik ke hal-hal aneh yang bikin bulu kuduk merinding. Di tengah kesibukannya ngeliput berita, Lila malah makin dalam terlibat dengan makhluk-makhluk dari dunia lain yang seolah ‘nungguin’ dia buat ngungkap rahasia besar.Penasaran gimana dia bakal hadapin semuanya? Yuk, ikutin terus perjalanan Lila di "Bayangan di Kota: Kisah Gadis Indigo". Siap-siap deh, karena lo bakal nemuin banyak misteri, ketegangan, dan sentuhan supranatural yang bikin lo nggak bisa berhenti baca!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hansen Jonathan Simanjuntak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Teror di Kantor
Pagi itu, suasana kantor masih sama kayak biasanya—sibuk, bising, dan penuh orang yang ngerjain deadline. Lila duduk di mejanya sambil ngerjain laporan yang diminta Pak Anton, bos mereka yang super perfectionist. Dia masih berusaha ngelepasin pikiran dari kejadian serem yang dia dan Rina alamin kemarin malam. Rina juga keliatan lagi sibuk di mejanya, meskipun dari raut mukanya jelas banget dia masih kepikiran.
“Rin, lo masih mikirin semalem?” Lila nyamperin meja Rina, suaranya pelan biar nggak kedengeran sama yang lain.
Rina nunduk, sambil matanya tetep ke layar komputer. "Jelas lah, Lil. Gue nggak ngerti deh, kenapa kita bisa ngalamin hal kayak gitu di kos. Terus sekarang lo mikir kita bener-bener aman di sini?"
Lila ngangguk pelan. “Ya, gue juga nggak yakin. Tapi yang penting sekarang kita kerja aja dulu. Jangan terlalu dipikirin.”
Rina ngehela napas panjang, sambil tetap ngetik laporan. Tapi perasaan nggak enak itu nggak hilang. Ada sesuatu yang nggak beres, dan kayaknya mereka belum sepenuhnya bebas dari apa yang ngikutin mereka semalem.
Baru beberapa menit Lila balik ke mejanya, tiba-tiba lampu kantor kedip-kedip. Lila langsung nengok ke atas, jantungnya mulai berdegup lebih kencang.
“Nah, lo. Ada apa lagi nih?” bisik Rina pelan, matanya juga ngeliat ke arah lampu yang nggak jelas itu.
Kantor tiba-tiba jadi hening. Orang-orang yang tadinya sibuk kerja juga mulai ngeliat ke arah lampu. Suara AC yang biasanya kencang sekarang berubah jadi suara aneh, kayak suara desahan pelan. Semuanya mulai ngerasa ada yang aneh, tapi belum ada yang ngomong apa-apa.
Pak Anton keluar dari ruangannya, keningnya berkerut sambil ngelirik ke arah lampu. "Ada apa nih? Siapa yang mainin listrik?"
Belum sempet ada yang jawab, tiba-tiba komputer Lila mati sendiri. Layarnya gelap total, diikuti komputer Rina yang mati dengan bunyi ‘klik’ aneh.
"Lo liat ini, Rin?" Lila berdiri, matanya melotot ngeliat komputernya yang tiba-tiba mati.
Rina berdiri juga, mukanya tegang. "Gue liat. Gue juga ngerasain."
Pak Anton mulai keliatan bingung. Dia jalan mondar-mandir, nanya ke orang IT apa yang salah. Tapi sebelum ada yang bisa jawab, semua komputer di kantor mulai mati satu per satu. Suara mesin fotokopi yang tadi berbunyi sekarang berhenti, kayak kantor itu tiba-tiba kehabisan energi.
"Aduh, apalagi ini," salah satu rekan kerja mereka ngeluh, sambil mulai ngeluarin ponsel buat ngecek internet.
Tapi sebelum mereka bisa ngecek apa-apa, tiba-tiba di monitor besar yang ada di dinding kantor muncul gambar statis, kayak TV rusak. Terus, pelan-pelan, ada bayangan hitam yang muncul di layar. Sosoknya nggak jelas, tapi bisa dilihat itu bukan manusia biasa.
Rina dan Lila langsung ngerasa merinding. Mereka saling pandang dengan ekspresi yang sama—takut.
"Lo liat itu?" bisik Rina.
"Iya... gue liat. Sama kayak yang kita liat semalem," jawab Lila.
Bayangan di layar itu makin jelas, berubah jadi sosok cewek yang mereka liat semalem. Senyum lebarnya nggak ilang-ilang, dan dia seolah-olah ngeliat ke arah mereka.
"Kenapa... dia bisa sampai sini?" suara Lila gemetar.
"Anjir, gue nggak tau!" Rina mulai panik. "Gila, dia ngikutin kita sampai sini!"
Tiba-tiba, monitor itu mati total. Kantor jadi lebih gelap, hanya ada cahaya samar dari jendela yang masuk. Semua orang mulai bingung, ada yang berdiri, ada yang sibuk nelpon tim IT, tapi suasananya jelas nggak normal lagi.
Pak Anton yang awalnya masih ngebacot soal masalah teknis sekarang diem, mukanya pucat. Dia jalan ke arah monitor besar itu, mencoba ngeliat ada apa sebenarnya. Tapi begitu dia deket, tiba-tiba layar itu nyala lagi dengan kilatan cahaya terang, dan sosok cewek tadi muncul lagi, lebih dekat, lebih jelas, seolah-olah dia lagi ngeliatin Pak Anton.
"Pak Anton!" Rina teriak, tapi terlambat. Pak Anton tiba-tiba terpelanting ke belakang, jatuh dengan keras ke lantai.
"Astaga! Pak Anton!" Lila lari ke arahnya, diikuti beberapa rekan kerja lain. Pak Anton keliatan nggak sadar, tapi nggak ada yang tau dia kenapa.
"Lo liat itu, Lil? Dia kayak didorong sesuatu!" Rina masih berdiri di tempat, matanya penuh ketakutan.
"Iya, gue liat. Ini bener-bener gila. Apa yang sebenarnya ngikutin kita?" Lila berbisik, mukanya pucat.
Suasana kantor jadi kacau balau. Semua orang mulai ketakutan, nggak ada yang berani mendekat ke monitor itu lagi. Rina dan Lila ngerasa mereka harus pergi dari situ secepat mungkin, tapi mereka bingung mau kemana.
"Rin, kita nggak bisa diem di sini," kata Lila akhirnya. "Kita harus pergi sebelum ada yang lebih parah terjadi."
Rina ngangguk. "Gue setuju. Ayo kita cabut."
Mereka berdua langsung ngambil tas mereka, buru-buru keluar dari kantor tanpa pamit sama siapa-siapa. Pikiran mereka cuma satu—kabur sejauh mungkin dari sosok menyeramkan itu. Teror di kantor udah jelas ngebuktiin kalo mereka belum bener-bener bebas dari apa yang ngikutin.
Di luar kantor, mereka berhenti sejenak buat ngatur napas. Jalanan masih rame, orang-orang lalu-lalang kayak nggak ada yang terjadi. Tapi bagi Lila dan Rina, semuanya udah berubah.
"Lo mikir... kita bakal aman di luar sini?" Rina nanya sambil masih ngos-ngosan.
Lila cuma bisa nggeleng pelan. "Gue nggak tau, Rin. Tapi yang jelas, kita nggak bisa balik ke kantor lagi sekarang."
Rina diem, sambil ngeliatin gedung kantor mereka yang tinggi. "Ini udah keterlaluan, Lil. Kita harus cari bantuan."
Lila ngangguk setuju, tapi dalam hati dia ragu. Mereka udah ngalamin teror di kos, sekarang di kantor, dan dia ngerasa teror ini nggak akan berhenti sampai mereka tau apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi gimana caranya mereka bisa ngelawan sesuatu yang bahkan nggak bisa mereka liat secara jelas?
"Gue nggak tau jawabannya, Rin," kata Lila akhirnya. "Tapi kita nggak bisa ngelawan ini sendirian."
Rina ngeliat Lila dengan tatapan serius. "Terus sekarang kita harus ngapain?"
Lila diem sebentar, lalu akhirnya ngomong dengan suara pelan. "Kita cari tau apa yang sebenernya terjadi. Gue rasa, ada sesuatu di balik semua ini yang harus kita bongkar."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...