(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus Bagaimana ?
Cindy menatap pria yang duduk di hadapannya sambil tersenyum getir. Sejak tadi Edward kelihatan tidak bersemangat, menanggapi celoteh Cindy hanya dengan jawaban singkat dan pikiran Edward kelihatan tidak menyatu dengan raganya.
“Cinta banget sama istri sampai segitu kangennya ?” sindir Cindy saat mereka sudah duduk berhadapan di sebuah café.
“Kangen dan khawatir karena istri gue lagi hamil muda,” dusta Edward untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Tidak mungkin bercerita pada Cindy kalau pikirannya sedang kacau karena sebentar lagi ia harus memperlakukan Elsa sebagai adik iparnya.
“Elo cinta banget sama dia, Ed ?” Edward mengerutkan dahi, wajahnya kelihatan bingung mendengar nada bicara Cindy dan melihat raut muka perempuan itu mendadak sendu.
“Apa anehnya kalau gue cinta sama istri ?” sahut Edward sambil tertawa pelan.
“Gue dengar elo menikah karena dijodohin sampai terpaksa harus putus sama pacar lo yang namanya Lily itu. Nggak nyangka aja seorang Edward yang keras begitu gampangnya tunduk dengan perempuan pilihan orangtua bahkan sampai buncin akut,” sindir Cindy sambil tersenyum mengejek.
“Masih mengelak kalau elo stalking gue ?” cibir Edward membuat Cindy tertawa.
“Ternyata nggak semudah membalikkan telapak tangan untuk move on dari elo, padahal ortu gue udah menyodorkan banyak cowok yang nggak kalah sama elo. Sorry kalau gue sering berdoa semoga elo putus sama si Lily itu supaya gue punya kesempatan kedua tapi lagi-lagi gue terlambat. Kenapa nggak ada kabar berita soal pernikahan elo, Ed ? Apa jangan-jangan pernikahan kalian sekedar kontrak demi bisnis ?”
Edward tertawa dan menunjukkan cincin di jari manisnya yang akhirnya berguna juga.
“Pernikahan gue memang belum dipestain jadi nggak bakal ada yang tahu. Rencananya tunggu Elsa selesai kuliah tapi sepertinya harus tertunda lagi karena sekarang Elsa sedang hamil.”
“Jadi namanya Elsa ?”
Tidak ingin Cindy bertanya-tanya lebih jauh karena curiga akhirnya Edward nekad menunjukkan fotonya bersama Elsa. Beberapa kali tangan Cindy bergerak melihat foto-foto Edward dan Elsa yang terpampang di layar handphone.
“Elo udah cinta sama dia , Ed ?”
“Cinta banget,” sahut Edward sambil tertawa lagi untuk menutupi perasaan bersalahnya karena sedang berdusta dan sembarangan memakai nama Elsa tanpa ijin pada pemiliknya.
Maafkan aku Elsa seharusnya sejak dulu aku berbuat seperti ini sebagai suamimu.
“Jadi gue terlambat lagi ?” keluh Cindy dengan wajah sedih.
“Bukan terlambat tapi kita memang nggak berjodoh. Begitu banyak yang suka sama elo dan hebat-hebat, kenapa harus nungguin jodoh orang ?” Cindy tertawa getir.
“Kenapa elo nggak pernah bisa suka sama gue, Ed ? Apa kekurangan gue yang membuat elo nggak bisa berpaling dan melihat gue yang ada did epan mata elo ?”
“Kekurangan elo hanya suka ngantuk kalau lagi di kelas,” ledek Edward sambil tertawa.
“Selebihnya elo adalah cewek sempurna sampai-sampai gue ngeri. Kenapa nggak coba jalanin dulu sama salah satunya, jangan fokus sama milik orang.”
“Masih memungkinkan nggak gue tunggu duda elo ?” Edward tergelak melihat ekspresi wajah Cindy yang memelas tapi kelihatan tidak serius.
“Jahat banget doain gue begitu ! Daripada nungguin duda orang lebih baik pilih yang masih perjaka,” sahut Edward di sela tawanya.
“Sama aja mau duda atau single. Gue nggak yakin masih banyak perjaka di jaman begini,” cebik Cindy membuat Edward tidak bisa menghentikan tawanya.
Jam setengah sebelas malam, taksi yang membawa Edward dan Cindy sampai di hotel. Janji Cindy untuk tidak mabuk hanya di mulut saja, salah satu kebiasaannya yang tidak Edward suka padahal ternyata Lily lebih parah dari perempuan yang sedang dipapahnya.
Tidak ingin kejadian di hotel terulang kembali apalagi sudah jelas perempuan di sampingnya bukan Elsa, Edward menghubungi pihak hotel untuk membantunya mengurus Cindy.
“Ed mau kemana ?” Cindy yang duduk di sofa menahan lengan Edward bahkan dengan sempoyongan gadis itu berdiri.
“Tidur. Gue udah minta tolong staf hotel mengantar elo ke kamar.”
“Kenapa bukan elo aja, Ed ? Takut istri lo marah ? Dia nggak bakalan tahu karena kita lagi di Singapura, beda negara, dia perlu nyeberang lautan.”
“Iya gue takut istri gue marah. Udah sana balik ke kamar sama staf hotel.” Edward memberi isyarat pada 2 staf wanita yang sudah siap membantunya untuk memegangi Cindy.
“Kalau begitu kita naik bareng, kan kamar kita sama-sama di lantai 12.”
Edward menghela nafas dan akhirnya menuruti permintaan Cindy yang sudah bergelayut di lengannya, tidak lupa ia meminta 2 staf wanita itu mengikuti mereka.
“Ed, gue yakin elo berbohong kalau nggak pernah tertarik sama gue sama sekali. Kenapa dari sekian banyak cowok, hanya elo yang nggak suka sama gue ? Elo pura-pura kan Ed ?”
Cindy terus meracau sambil memukuli lengan Edward yang diam saja, begitu juga 2 staf hotel yang berdiri di depan mereka.
“Edward.”
“Hhhmm.”
“Edward Hartawan.”
“Iya Cindy, elo ngomong aja, gue dengar.”
“Elo nggak mau lihat muka gue sama sekali Edward ?” pekikan Cindy membuat Edward menoleh dan tidak menduga kalau Cindy akan menarik kemejanya lalu menempelkan kedua bibir mereka
Mata Edward membola, tidak menyangka Cindy akan melakukan ciuman semacam ini di depan orang bahkan dengan berani bibirnya mulai menyesap bibir Edward yang sempat membiarkannya beberapa detik namun akhirnya mendorong tubuh Cindy menjauh.
Miliknya tetap tidak berkedut apalagi bereaksi meski yang menciumnya seorang wanita cantik dan wangi tubuhnya sanggup membuat lelaki manapun tergoda.
Edward buru-buru keluar dan meminta bantuan kedua staf itu supaya mengurus Cindy dengan baik sesudah itu ia bergegas kembali ke kamarnya.
Usai berganti baju dan membersihkan diri, Edward duduk di tepi ranjang. Entah sudah berapa kali ia menghela nafas dan kepalanya mendadak berdenyut belum lagi perutnya seperti diaduk-aduk tapi bukan karena mengingat bagaimana manisnya ciuman Cindy tadi melainkan pusing memikirkan bagaimana nasib miliknya yang hanya bereaksi pada Elsa sementara hanya dalam hitungan minggu wanita itu akan menjadi istri adik kandungnya sendiri.
“Huuufftt”
“Selamat malam dokter.”
Edward sampai terlonjak mendengar suara Elsa lalu menggeleng-gelengkan kepalanya karena berpikir kalau dirinya sedang berhalusinasi mendengar suara Elsa.
“Tidak mungkin ! Tidak mungkin aku mendengar suara Elsa.”
“Selamat malam dokter. Saya memang Elsa.”
Mata Edward membola mendengar suara itu kedua kalinya. Tatapannya berkeliling ke seluruh ruangan dan akhirnya baru sadar kalau ia sedang memegang handphone.
Dahi Edward berkerut memikirkan bagaimana tangannya bisa memilih nama Elsa di antara barisan nomor yang pernah dihubunginya dan nama Elsa ada di urutan ke-5. Aneh !
“Elsa, kamu belum tidur ?”
“Mendadak terbangun. Ada apa dokter….”
Ooek… oooeeekk…
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mendadak Elsa kembali muntah.
“Elsa, kamu kenapa ?”
“Tadi saya bermimpi….” Elsa enggan menyelesaikan kalimatnya.
“Mimpi apa?”
“Lupa dokter hanya saja saat terbangun mulut saya merasa seperti habis makan gula atau permen lalu mendadak perut saya mual.”
Mata Edward membola, tangannya tanpa sadar memegangi bibirnya.
“Ada apa dokter menghubungi saya ?”
“Aku…aku… Maaf tidak sengaja aku menekan nomor handphonemu.”
“Tidak apa-apa.”
Apa Elsa bermimpi kalau Edward berciuman dengan Cindy ? Atau jangan-jangan anak mereka yang memberi sinyal pada ibunya kalau bapaknya sedang berciuman dengan perempuan lain ?
Edward sempat mendengar suara Elsa yang kembali muntah-muntah tapi hanya sebentar karena sepertinya Elsa menutup sambungan telepon Edward.
Pria itu kembali duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya yang masih saja sakit.
Sebagai seorang dokter, semua kejadian ini sangat tidak masuk diakal tapi faktanya berbeda bahkan malam ini bisa-bisanya tanpa sadar Edward menghubungi Elsa.
Seandainya boleh memilih, tidak masalah miliknya hanya bisa bereaksi pada Elsa asal hubungan mereka kembali menjadi suami istri tapi kenyataannya….
dasar sundel bolong