Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
"Hai, bisa tunjukkan kelas XII-B dimana?" tanya Vera. Dia sengaja mendekati Sagara dan memang berniat untuk menggodanya. Meskipun dia tahu, dia sangat berbeda dengan Rhea yang feminim.
Sagara tak menjawabnya. Dia melangkahkan kakinya melewati Vera begitu saja.
Vera mengikuti langkah kaki Sagara di belakangnya. "Gue tanya, kenapa gak jawab?'
"Saga!" Zavin berlari menghampiri Sagara. Dia menarik tangan Vera agar menjauh dari Sagara. "Siapa lo? Jauh-jauh sana, Saga gak mau diganggu."
Vera hanya mencibir. "Dih, cowok-cowok aneh." Kemudian dia melihat Novan yang melambaikan tangan ke arahnya di depan ruang kepala sekolah. Dia segera melangkah mendekat dan masuk ke dalam ruangan itu.
"Jadi, kamu kakaknya Rhea?" tanya Pak Hendra, selaku kepala sekolah di sekolah itu. Kebetulan sekali Novan memang cukup dekat dengan Pak Hendra jadi mereka bisa bekerjasama dengan baik.
"Iya, saya kakaknya Rhea," jawab Vera sambil menganggukkan kepalanya.
"Kamu mau menyelidiki penyebab Rhea bunuh diri? Penampilan kamu sekarang memang sangat berbeda saat saya bertemu waktu melayat dua minggu yang lalu, sudah pasti semua teman Rhea tidak akan ada yang mengenal kamu. Rhea juga sangat tertutup, teman-temannya hanya tahu Novan-lah walinya di sini."
Vera hanya menganggukkan kepalanya.
"Saya beri petunjuk siswa yang pernah terlibat dengan Rhea. Saga, selaku pacar Rhea dan Dwiki."
Vera mengernyitkan dahinya. "Dwiki?"
"Iya, dia siswa nakal di sekolah ini. Banyak pelanggaran yang telah dia lakukan. Dia pernah bertengkar hebat dengan Saga karena memperebutkan Rhea, sekitar satu setengah tahun yang lalu."
Novan terkejut mendengar hal itu. Dia tidak pernah tahu masalah itu. "Saya tidak pernah mendengar hal itu."
"Waktu itu Anda sedang pembekalan materi di luar kota lalu izin cuti dalam waktu yang cukup lama."
Novan menganggukkan kepalanya. Ya, dia kini mengingatnya.
"Baik, terima kasih atas informasinya," kata Vera.
"Jika kamu mengetahui kasus pelanggaran di sekolah ini selain masalah adik kamu, langsung kamu laporkan saja pada pihak sekolah."
"Baik, terima kasih." Kemudian Vera keluar dari ruangan itu bersama Novan. Mereka berjalan menuju kelas XII-B dimana kelas Sagara berada.
"Ingat, selama di sekolah kamu harus memanggilku, Pak," bisik Novan.
Vera tersenyum kecil. Dia tidak menyangka bisa melihat Novan setiap hari. "Baik, Pak Novan."
Vera melangkah ke dalam kelas XII-B dengan percaya diri. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan wajah-wajah yang kini menatapnya dengan rasa penasaran. Beberapa murid berbisik satu sama lain, menebak-nebak siapa gadis baru yang tiba-tiba muncul di kelas mereka.
Di belakangnya, Novan berdiri dengan tangan di saku celana, menatap para murid dengan tatapan serius. “Perhatian semuanya,” katanya tegas. “Hari ini, ada murid baru yang akan bergabung di kelas ini. Silakan perkenalkan diri.”
Vera tersenyum kecil sebelum melangkah ke depan kelas. Dia menghela napas sejenak, memastikan suaranya terdengar santai.
“Halo, semuanya. Nama aku Vera.” Dia melirik sekilas ke arah Sagara, yang duduk di bangku dekat jendela dengan ekspresi dingin. “Aku baru pindah ke sini, jadi mohon bantuannya.”
Beberapa murid masih berbisik, tapi tidak ada yang mengajukan pertanyaan.
Setelah memperkenalkan diri, Vera berjalan ke barisan tempat duduk, sengaja memilih bangku kosong di sebelah Sagara. Namun, begitu dia menarik kursinya untuk duduk, Sagara tiba-tiba berdiri.
Semua mata langsung tertuju padanya.
Sagara menoleh ke arah seorang siswa lain yang duduk di barisan lain. “Evan, tukar tempat denganku.”
Evan, yang sedang sibuk membaca bukunya, menoleh dengan bingung. “Hah?”
“Pindah ke sini,” ulang Sagara, kali ini dengan suara yang keras dan dingin.
Evan mengangkat bahu, tampak tak ingin berdebat dengan Sagara. Dengan malas, dia mengemasi barang-barangnya dan berjalan ke tempat duduk di sebelah Vera. Sagara, tanpa bicara langsung mengambil kursi Evan dan duduk di tempat baru, jauh dari Vera.
Vera mengangkat alis, menyadari bahwa Sagara benar-benar ingin menghindarinya. Namun, bukannya tersinggung, dia justru tersenyum kecil.
“Menarik,” gumamnya pelan.
Evan, yang kini duduk di sebelahnya, meliriknya dengan penasaran. “Dia kenapa?"
Vera menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Kok lo tanya sama gue. Lalu gue tanya sama siapa? Gue kan baru di kelas ini." Vera mengeluarkan buku tulisnya. Sesekali dia melirik Evan yang kembali membuka buku pelajarannya. Dari penampilan Evan, dia bisa menebak bahwa Evan adalah murid teladan yang pintar. Dia rapi dan memakai kacamata meskipun kacamata itu tak mengurangi ketampanannya.
Novan segera memulai mata pelajarannya hari itu. Dia menatap Vera yang terus menatap gerak-gerik Sagara. Akhirnya dia berjalan mendekati Vera. "Vera, di sekolah kamu sebelumnya apa sudah sampai pada materi Limit Fungsi?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika Vera mendongak. "S-sudah, Pak."
"Ya sudah, pinjam catatan saja pada Evan. Evan adalah siswa terpintar di kelas ini."
Evan tersenyum mendengar pujian itu.
"Yang lainnya, kalian tiru Evan. Harus rajin belajar karena sembilan bulan lagi kalian akan menghadapi ujian kelulusan," kata Novan sambil berjalan ke depan kelas.
"Iya, Pak," jawab seluruh murid secara bersamaan.
Vera masih saja tertawa kecil. Baru kali ini dia melihat Novan mengajar secara langsung. Ternyata di sekolah Novan memang sangat tegas. Pantas saja dia terkenal dengan julukan guru killer.
Senyumnya berhenti saat dia mendapat satu senggolan dari Evan. "Kalau lo gak memperhatikan, nanti Pak Novan hukum lo."
Vera hanya tersenyum menatap Evan lalu menggeser buku tugas Evan. "Semua materi ini sudah gue pelajari." Dia segera menyalin soal ke bukunya lalu mengerjakannya dengan cepat.
Evan hanya terbengong melihatnya. Dia tidak menyangka ada yang mengalahkan kecepatannya dalam mengerjakan soal Matematika. "Nggak! Ini gak boleh dibiarkan. Gue gak boleh kalah sama lo." Kemudian dia mulai mengerjakan soal itu dan seperti beradu balap dengan Vera.
Vera hanya menyunggingkan senyumnya. Meskipun aku tidak terlalu pintar, tapi aku sudah menuntaskan semua materi ini.
...***...
"Lo gak ke kantin?" tanya Evan pada Vera saat istirahat berlangsung.
Vera hanya menggelengkan kepalanya. Dia terus menatap Sagara yang hanya duduk di kelas sendirian. "Cowok itu kenapa dingin sekali?" tanya Vera berpura-pura tidak tahu.
"Dia baru saja kehilangan pacarnya," bisik Evan. "Mereka berdua kecelakaan tapi entah kenapa ceweknya justru bunuh diri di rumah sakit. Entahlah, apa permasalahan mereka."
Karena tidak ada respon dari Vera, Evan akhirnya berdiri. "Ya udah, gue mau ke kantin." Kemudian dia keluar dari kelas.
Vera masih saja menatap Sagara.
Iya, aku akui dia sangat tampan. Apa jangan-jangan Rhea pemuja ketampanannya sampai rela melakukan apapun dan melindunginya. Wah, aku harus segera menyelesaikan masalah ini.
Vera berdiri dan akan mendekati Sagara tapi langkahnya berhenti saat ada seorang pria dengan seragam yang berantakan dan slayer yang mengikat kepalanya berjalan cepat mendekati Sagara. Tiba-tiba saja dia menarik kerah Sagara. "Berani sekali lo datang ke sekolah ini! Setelah lo membunuh Rhea! Lo mau mencari korban lagi!"
Sagara menepis tangan Dwiki dengan satu tangannya. "Gue mau sekolah atau tidak, itu bukan urusan lo!"
Sepertinya, dia yang namanya Dwiki. Wah, benar-benar seorang preman.
Dwiki mengepalkan tangannya dan akan melayangkan satu tinjuan ke wajah Sagara tapi Vera dengan cepat menahannya.
"Cemen! Lo punya dua tangan tapi mau lawan cowok yang sedang berkabung dan punya satu tangan sehat."
ok lanjuuut...