"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Seketika Aira menatap Antares. Apa dia tidak salah dengar? "Maksud Pak Ares?"
Antares tertawa cukup keras. Entah mengapa dia sangat suka menggoda Aira. "Aku bercanda."
Aira membuang pandangannya dari Antares. Hatinya sudah dibuat campur aduk tak karuan oleh setiap perkataan Antares.
Beberapa saat kemudian, Antares menghentikan mobilnya di depan restoran. Mereka berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran itu.
Antares memilih tempat duduk yang berada di dekat jendela. Dia membuka menu dan memesan makanan. "Kamu mau apa?" tanya Antares pada Aira.
"Terserah Pak Ares saja."
Antares menyebutkan pesanannya pada waitress. Setelah itu, dia mengambil ponselnya sambil menunggu pesanannya. "Simpan nomor whatsapp kamu." Antares menyerahkan ponselnya agar Aira mengetik nomor ponselnya.
Aira justru mengambil ponselnya dan membuka barcode whatsapp-nya lalu menunjukkannya pada Antares.
Antares hanya tersenyum sambil men-scan barcode itu. "Aira." Antares menyimpan nomor Aira lalu mengirim chat pada Aira. "Kamu simpan nomorku. Mulai sekarang kalau aku menghubungi kamu, wajib kamu angkat."
Aira menautkan alisnya. "Wajib?"
"Iya, sebagai sekretaris harus selalu siap siaga."
Aira tak menyahutinya lagi. Dia mendekatkan minuman dingin yang baru saja datang lalu menyedotnya. "Apa Pak Ares biasa seperti ini dengan sekretaris Pak Ares?"
"Seperti ini? Yang bagian mana?" tanya Antares sambil menatap Aira.
Aira semakin salah tingkah mendapat tatapan dari Antares sedalam itu. "Maksud saya, seperti makan siang, atau belikan hal-hal kayak kucing."
Antares tak menjawabnya. Dia justru tersenyum kecil lalu mulai memakan makanannya. Melihat wajah kesal Aira, entah mengapa dia merasa sangat senang sekali. "Kamu sudah 27 tahun, tapi masih moody ya."
Aira tak menyahutinya lagi. Dia segera menyantap makanannya. Biarlah bosnya berkata apa, dia tidak akan terlalu mendengarnya.
"Jika aku tidak boleh bertanya tentang masa lalu kamu, boleh aku membahas masa laluku?"
Aira tak menjawabnya. Entah apa yang mau Antares bahas, Aira tidak akan berkomentar.
"Dulu, aku juga hampir kena mental illness seperti kamu, tapi bedanya kedua orang tuaku mendukungku dan selalu memberi solusi terbaik. Aku sempat kehilangan arah, aku dulu seorang atlet renang, lalu aku mengalami cidera dan aku tidak bisa ikut bertanding. Waktu itu aku kecewa dengan diriku sendiri hingga akhirnya aku mengalihkannya pada musik."
Aira mendengar semua yang dikatakan Antares tapi tak menyahutinya. Baginya, hidup Antares sempurna, masih mau membagi kisah sedihnya, buat apa?
Antares tetap melanjutkan ceritanya setelah menghabiskan makanannya.
"Setelah aku beralih ke musik, tidak disangka aku terkenal dan bisa merambah ke industri film juga. Aku memang multi talenta."
Aira meletakkan sendoknya cukup keras. "Mental illness? Iya, satu-satunya mental illness Pak Ares adalah kesombongan."
Antares hanya tertawa melihat reaksi Aira. Dia urung melanjutkan ceritanya. Dia menikmati minuman hangatnya sambil menunggu Aira menghabiskan makanannya.
Kemudian Antares mengambil ponselnya dan menghubungi Riko. "Kamu sudah ambil motorku di rumah? Ya sudah, jangan lupa bawa dua helm. Aku tunggu di taman dekat restoran happiness. Nanti kamu bawa mobilku, lalu ikut aku."
Aira hanya menatap Antares yang bisa dengan mudahnya menyuruh asistennya.
"Kenapa? Kamu pasti gak mau kan aku antar pakai mobil. Keluarga kamu tahunya aku anak motor." Antares memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan melihat jam di tangannya. "Jam rawan macet."
"Iya, jangan sampai keluargaku tahu kalau Pak Ares adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimaku bekerja."
"Iya, aku sangat mengerti."
Setelah Antares membayar, mereka berdua keluar dari restoran itu dan berjalan menuju taman yang berada di sebelah restoran.
"Makasih Pak Ares. Setelah ini jangan belikan aku apa-apa lagi."
"Iya, mulai besok kamu harus bekerja keras. Jangan harap kamu bisa santai dan ingat denda yang sudah berlaku mulai besok," kata Antares. Kemudian dia melambaikan tangannya saat melihat Riko yang membawa motornya mendekat.
Riko menghentikan motor itu di depan Antares. Dia menatap Aira yang ada di samping Antares. Baru kali ini dia melihat bosnya itu pergi bersama wanita setelah beberapa tahun.
"Riko, ini Aira. Dia sekretarisku dan bekerja mulai besok," kata Antares memperkenalkan Aira.
Riko tersenyum sambil melepas helmnya. "Tumben sekali makan berdua sama sekretaris dan diantar pakai motor. Ini momen ...."
Antares mendorong Riko hingga dia turun dari motor. "Jangan bicara sembarangan! Kamu bawa mobil itu ke jalan panjaitan. Aku tunggu di depan perumahan." Antares menyerahkan kunci mobilnya. "Hati-hati, di dalam ada kucing." Antares melepas jas dan dasinya lalu memakai jaket levis yang baru dibawa Riko.
"Kucing?" Riko semakin tertawa. "Bos, sejak kapan ...."
Antares melempar jas dan dasinya ke wajah Riko agar berhenti berbicara. "Bicara lagi, aku potong gaji kamu!'
"Oke, oke." Kemudian Riko berjalan menuju tempat parkir restoran itu.
"Ayo, naik!" suruh Antares karena Aira masih saja terdiam menatapnya.
Aira akhirnya memakai helmnya dan naik ke boncengan Antares.
"Pegangan. Biar tidak jatuh," kata Antares sambil melajukan motornya.
Aira tidak berpegangan apapun. Dia justru melipat kedua tangannya di dada.
Antares menutup kaca helmnya. Dia memotong jalan dan berbelok ke jalanan yang sepi. Lagi, dia semakin menambah kecepatan laju motornya.
"Pak Ares!" Aira terkejut saat Antares melaju kencang. Secara otomatis, kedua tangan itu berpegangan di pinggang Antares. "Pak, pelan-pelan. Nanti ada polisi."
Antares tak menggubris perkataan Aira. Dia melewati jalan berkelok tanpa mengurangi kecepatan motornya. Hingga akhirnya dia kembali ke jalan raya dan sudah berada di dekat perumahan tempat tinggal Aira.
Aira memukul punggung Antares cukup keras. "Pak Ares, jangan kencang-kencang, banyak kendaraan lain."
Antares menghentikan motornya di dekat gerbang menuju perumahan Aira. Dia mengusap punggungnya yang baru saja dipukul Aira. Baru kali ini ada wanita yang berani memukul punggungnya, ya selain Adara.
"Yang penting sekarang sudah sampai. Kita tunggu di sini saja." Antares membuka kaca helmnya tapi Aira justru turun dari motor Antares.
"Kenapa turun? Nanti kamu capek. Kayaknya Riko terjebak macet."
Aira tak menyahutinya. Dia kini melihat motor adiknya dari kejauhan dan melaju mendekat. Seketika Aira menggandeng lengan Antares.
Antares terkejut merasakan lengannya dipeluk Aira dan terasa hangat. Dia menelan salivanya. Perasaan apa ini?
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....