"Panggil Bee aja seperti biasa. Gak ada akan ada yang curiga kan kalau kita in relationship, namaku kan Bilqis keluarga panggil aku Bi."
"We have no relationship."
Samapai kapanpun aku akan mengingat kalimat itu.
>_<
Bahkan hubungan yang aku pahami, lain dari hubungan yang kamu pahami.
Kamu tidak salah.
Aku yang salah mengartikan semua kedekatan kita.
Aku yang begitu mengangumimu sejak kecil perlahan menjelma menjadi cinta, hingga salah mengartikan jika apa yang kamu lakukan untukku sebulan terakhir waktu itu adalah bentuk balasan perasaannku.
Terima kasih atas waktu sebulan yang kamu beri, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan layaknya seorang kekasih dan memilikimu.
Tolong jangan lagi seret aku dalam jurang yang sama, perasaanku tulus, aku tidak sekuat yang terlihat. Jika sekali lagi kamu seret aku kejurang permainan yang sama, aku tidak yakin bisa kembali berdiri dan mengangkat kepala.
This is me, Bee Ganendra.
I'm not Your Baby Bee Qiss anymore
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Unik Muaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sketsa
Kamarku penuh dengan sketsa, poster dan action figur Gaara dan Sukaku, salah satu tokoh anime di Naruto Jepang.
Jangan tanya kenapa, karna semua pasti karna nama dia.
Goresan garis-gari dari pencil yang aku pegang mulai menggores kertas putih bersih di depanku. Dengan teliti aku mulai menggambar garis sekunder lalu mulai mebalkan garis-garis sketsa yang sudah benar.
Brak ...
Belum juga selesai gambaranku, aku mendengar suara sesuatu yang jatuh cukup nyaring hingga aku terperanjat dan buru-buru berlari kearah balkon kamarku. Ini pasti ulah dari pemilik kamar sebelahku, Chaka. Saudara kembarku yang hobi masuk kekamarku dari balkon dari pada lewat pintu kamar.
"TWIN!!! APA YANG JATUH!."
Itu teriakan melengking Bunda dari bawah.
"CHAKA BUN!!!" Aku balas berteriak.
"KESANDUNG BUN!!!" Chaka ikut berteriak.
Aku tertawa lepas, melihat posisi Chaka yang terjatuh terjerembab di lantai balkon.
Chaka berdiri, menatapku dengan tatapan kesalnya. aku malah semakin tertawa dan bertepuk tangan heboh.
"Twin ..." geramnya.
"Udah tau sekarang musim hujan, licin. Bukannya lewat pintu yang bener malah lewat balkon, otak pintarmu cuma berfungsi kalo mikir pelajaran aja ya?."
Chaka berdecak kesal dan berjalan begitu saja memasuki kamarku.
Teringat dengan buku sketsaku yang belum selesai, buru-buru aku berlari kearah meja belajar dan menutup buku sketsaku sebelum Chaka melihatnya.
"Udah tahu lo ngegambar Dia kan?, kalo enggak Gaara si Kasekage atau Sukaku."
Mataku memelototinya, kali ini giliranku yang kesal dengannya.
Chaka mengetahui apa yang aku lakukan bukan hanya karna kami kembar, tapi karna kebiasaanku dan beberapa poster yang terpasang di kamarku adalah karyaku sendiri.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Pintu kamarku tiba-tiba diketuk sebelum terbuka lebar.
"Hai kids" sapa Ayah sembari melangkah masuk diikuti Bunda dan Abangku, Abang Ar.
Aku menoleh pada Chaka, yang ternyata juga menoleh padaku dan mengangkat kedua bahunya paham kenapa aku menatapnya.
Ayah dan Bunda sudah duduk di kasurku, sehingga aku menarik tangan Chaka untuk ikut naik keatas kasurku dan duduk bersama mereka berdua, sedangkan Abang Ar berdiri tidak jauh dari Bunda.
"Ayah mau bicara sesuatu?" Tanyaku.
Ayah mengangguk dan mengusap rambutku, "Bukan hanya Ayah, Bunda dan Abang juga" jawab Ayah.
"Mau kasih hadiah lagi karna udah lulus Junior high School?" Tanyaku dnegan antusias.
"Hadiah terus" tegur Bang Ar sembari duduk di samping Chaka.
"Lalu?."
Bagaimana aku tidak penasaran, tidak biasanya mereka bertiga masuk bersamaan kekamar kami. Jika ada yang mau dibicarakan biasanya di ruang keluarga, kamar Ayah dan Bunda atau jika penting seperti kami melanggar perintah Ayah dan Bunda, pasti langsung dipanggil keruang kerja Ayah.
Bunda dan Ayah memang tidak terlihat keras dan diktator, tetapi mereka begitu tegas dan penuh disiplin dalam mendidik kami.
Aku duduk dengan tegap, menatap Ayah dan Bunda bergantian.
"Seperti dua tahun lalu, Bunda dan Ayah mau mempertanyakan apa keputusan kalian setelah ini?" Tanya Bunda, "tetap mau memilih kelas akselerasi atau bagaimana?."
Chaka merik padaku, begitupun dengan aku.
"Jika kami minta kalian jangan ikut kelas aksel bagaimana?" Kali ini Ayah yang bertanya.
"Kenapa?" Tanya Chaka sembari mengerutkan kening.
"Biar kalian bisa menikmati hidupnya masa-masa sekolah" jawab Bang Ar.
"Tap ..."
"Bunda dan Ayah sudah bangga kok dengan prestasi kalian" potong Bang Ar, "sekarang tinggal nikmati masa sekolah dan ikut bebagai lomba, entah itu akademik atau non akademik."
"Kan nanggung Bang ..."
Chaka mulai memprotes, sehingga terjadilah perdebatan kecil antara Bang Ar dan Chaka.
Aku hanya diam mendengarkan perdebatan mereka, Bang Ar juga pernah ikut Akselerasi dan Abang Ar lulus diusia lima belas tahun. Saat taman kanak-kanak hanya satu tahun, lalu SD lima tahun, SMP dua tahun dan saat SMA Bang Ar memilih untuk tidak ikut kelas akselerasi. Jadi semua penjelasan Bang Ar yang pastinya dari pengalam hidupnya dapat aku pahami.
"Aku reguler aja" ucapku membuat Chaka dan Bang Ar menghentikan perdebatan mereka.
Semua menoleh kearahku, sehingga aku menyengir dengan senyum lebarku.
"Aku kan cuma mau ikutan Bang Ar yang bisa loncat-loncat kelas, jadi tujuanku selesai meniru Bang Ar. Tapi kalo Chaka mau ikut kelas Aksel silahkan, Bi mau ngerasain giman tidur di kelas karna bosan."
"Alasan yang terakhir gak masuk akal Bi."
Aku hanya mengangkat bahu dengan wajah tidak perduli.
Ayah tertawa kecil, menarikku dalam dekapannya dan menghujani puncak kepalaku dengan ciuman.
Alasan sebenarnya, karna tujuanku ingin sama dengannya sudah terwujud.
*-*
Apa enaknya masuk kelas reguler?, tidak ada ... yang ada aku mengantuk, dan begitupun dengan Chaka dan Daniel yang yang lebih parah dariku, mereka berdua tidur di kelas. Sehingga sempat dihukum berdiri bahkan keluar kelas untuk mencuci muka hingga sekarang belum balik juga.
"Bilqis!."
Aku yang semula menggambar sesuatu menghentikan gerakanku dan mendongak menatap kedepan kelas, pada guru yang baru saja memanggil namaku.
"Kamu mulai tadi kayaknya gak dengerin juga" ucapnya dengan senyum lebar namun terlihat mencurigakan, dan kalimat yang beliau katakan adalah kalimat satir. "Kedepan silahkan selesaikan soal yang tidak bisa Yardan selesaikan."
Aku melirik sejenak pada siswa yang berdiri di depan kelas sembari ikut menatapku, lalu beralih pada soal yang guru tulis di papan.
tanganku bergerak, mengetuk-ngetuk meja dengan cepat, menghitung jawaban dari soal yang guruku berikan, aku malas untuk maju karna semua pasti akan memperhatikanku.
"BILQIS!, APA KA ..."
"Nilai b sama dengan empat Bu" jawabku memotong kalimat teriakannya.
Semua menatap kearahku, berbagai bisikan aku dengar namun aku tidak perduli dengan apa yang dibicarakan mereka.
Guru tadi malah tersenyum lebar padaku sehingga aku kembali memutuskan untuk menyelesaikan gambarku di buku sketsaku.
"Benar!" Serunya terdengar bahagia, "ayo Yardan kerjakan gimana caranya, jawabannya sudah dijawab Bilqis barusan."
Peroses pembelajaran terus berlanjut, begitupun dengan aku yang melanjutkan menyelesaikan gambarku di buku sketsaku.
Tepat saat bell istirahat dan guru keluar.
Brak ...
Aku tersentak kaget karna bunyi gebrakan itu begitu tiba-tiba, cukup nyaring, dan yang digeprak adalah mejaku.
Kututup buku sketsaku dan mengangkat kepala ingin tahu siapa yang sudah mengangguku dengan menggeprak mejaku.
Seorang siswa dengan nama Gladis yang tertempel di dadanya menatapku dengan sengit.
"Lo berani mempermalukan Yardan?, kamu gak tau dia siapa?."
Gladis di depanku itu berbicara dengan nyolot, terlihat begitu angkuh dengan gaya tangannya yang berkacak pinggang.
"Enggak" jawabku singkat.
"Dia itu anak Vincent Fernandes, bernai-beraninya lo buat dia malu. Udah gak dengerin guru ngajar, sibuk nulis-nulis, emangnya lo nulis apa?, jangan sok deh."
Sret ...
Belum sempat aku memegang buku sketsaku Gladis sudah menarik buku sketsaku.
"Kembalikan" pintaku mencoba setenang mungkin.
"Ih ... Lo wibu?!" Serunya lalu tertawa ngakak, "tapi ini sepertinya cowok ya?, ini siapa?, pacar lo?, ih ... udah pacaran aja lo, hahahaa ...."
Aku berdiri hendak mengambil buku sketsaku di tangannya tetapi Gladis menghindar dan berlari sembari melempar-lempar buku dengan siswa dan siswi yang lain.
Sudah tidak bisa lagi menahan emosi, aku berlari kencang, menendang kursi kearahnya hingga Gladis terdorong keloker lalu menjadikan kursi itu pijakan agar aku bisa meloncat dan meraih buku sketsaku sebelum jatuh ketangan anak lain.
Aku mendengus kesal, melihat ada beberapa ketas yang terlipat.
Kubalikkan badanku dan menatap nyalang pada seisi kelas.
"Kalian salah sasaran, gue bukan siswi yang gampang dibuli" desisku penuh tekanan.
"Dasar cewek so ..."
Tak ...
Aku menepis tangan Gladis dan memutar lengannya lalu menguncinya kebelakang.
"Ahhh!!!" Gladis beteriak melengking.
"Aku bisa saja mematahkan tanganmu" ucapku sebelum mendorongnya begitu saja.
Lebih baik aku mencari Chaka dan Daniel, gara-gara mereka meninggalkanku aku jadi terlibat perselisihan yang membosankan ini.
"Tunggu."
Aku menghentikan langkah tepat sebelum keluar dari kelas, seorang siswa berdiri di depanku dan menjulurkan kertas yang aku kenali itu adalah hasil gambarku.
"Sepertinya ini punya lo, salam kenal gue Yardan."
Kuambil kertas di tangannya dan menoleh pada Gladis sebelum melangkah dengan lebar dan ...
Brak ...
Kesal bukan main, aku layangkan buku sketsaku pada pipinya.
*-*