Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Pertolongan Pertama
Dokter Guna langsung turun dari motor Kirana dengan gerakan cepat namun tetap terukur. Tas medisnya yang sudah usang tergantung di pundaknya sementara wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh. Tanpa membuang waktu… ia melangkah masuk ke dalam pondok dan melepas sepatu di depan pintu dengan refleks yang sudah terbiasa.
Di dalam pondok Kakek Sapto masih duduk di samping pemuda itu dengan kedua tangannya erat memegangi tongkat kayunya. Matanya tak lepas dari wajah pucat pemuda itu yang terbaring tak berdaya. Setiap tarikan napas yang berat dari pemuda itu seolah membuat jantung Kakek Sapto ikut berdegup kencang.
Ketika Dokter Guna muncul di ambang pintu, Kakek Sapto langsung menoleh dan wajahnya yang semula tegang perlahan mencair. "Terima kasih sudah datang Dok…," ucapnya dengan suara parau namun penuh harap. Ada getaran halus di ujung kalimatnya seolah beban berat yang ia rasakan sedikit terangkat.
Dokter Guna mengangguk singkat dan matanya langsung beralih ke pemuda yang terbaring di atas dipan. "Tidak apa-apa Pak... Ini memang tugas saya…," jawabnya sambil mendekat. Suaranya tenang namun ada ketegasan yang terpancar dari setiap kata yang diucapkannya.
Dokter Guna meletakkan tasnya lalu segera berlutut untuk memeriksa pemuda itu. Setelah beberapa saat memeriksa lalu raut wajahnya berubah serius. "Kita harus membawanya ke rumah sakit. Lukanya cukup serius… terutama di kepalanya."
Kakek Sapto tampak ragu namun sebelum ia bisa menyetujui, pemuda itu mengerang pelan. Matanya sedikit terbuka meski terlihat lemah. Ia mendengar percakapan mereka.
"Tidak... Saya jangan dibawa ke rumah sakit..." suaranya serak nyaris tak terdengar.
Dokter Guna menatapnya heran. "Tapi kau butuh perawatan lebih lanjut. Kalau tidak lukamu bisa semakin parah."
Pemuda itu menggeleng pelan dan napasnya tersengal. "Tolong... Jangan biarkan mereka tahu aku masih hidup..."
Kakek Sapto dan Dokter Guna saling bertukar pandang. Sepertinya keduanya memahami betapa serius permintaan pemuda itu. Ada ketakutan dalam matanya dan sesuatu yang lebih dalam dari pada sekadar menolak perawatan medis.
Akhirnya Dokter Guna menghela napas panjang. "Baiklah… Aku akan mengobatimu di sini tapi kau harus beristirahat total. Jika ada tanda-tanda memburuk… kami tidak punya pilihan selain membawamu ke rumah sakit."
Pemuda itu mengangguk lemah. Dengan hati-hati Dokter Guna mulai membersihkan dan membalut luka pemuda itu. Pakaiannya yang basah dan kotor sudah diganti oleh Kakek Sapto dengan pakaian seadanya. Namun luka di kepalanya tampak lebih parah seperti bekas pukulan benda tumpul yang membuatnya masih kesulitan membuka mata.
Dokter Guna merapikan peralatannya dan berdiri setelah selesai mengobati pemuda itu. "Saya akan kembali besok untuk melihat perkembangannya. Sementara itu… jangan biarkan dia banyak bergerak."
-----
Kirana menawarkan diri untuk mengantar Dokter Guna pulang. Suasana di dalam pondok masih tegang setelah pemuda itu mendapatkan pertolongan pertama. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi wajah-wajah yang lelah namun penuh perhatian. Kirana menghampiri Kakek Sapto yang sedang duduk di kursi kayu dekat tempat tidur pemuda itu. "Kek… Kirana mengantar Pak Dokter dulu ya. Nanti Kirana langsung pulang," ucap Kirana dengan lembut sambil mengambil tangan Kakek Sapto untuk memberikan salim. Suaranya terdengar tenang meski di dalam hatinya masih ada kegelisahan yang tersisa.
Kakek Sapto memandang Kirana dengan tatapan penuh kasih sayang. Tangannya yang kasar namun hangat mengelus kepala Kirana dengan lembut. "Iya Nak… Hati-hati di jalan. Jalan masih licin karena hujan tadi," ujarnya dengan suara berat namun penuh perhatian. Matanya kemudian beralih ke Dokter Guna yang sedang membereskan peralatan medisnya. "Dok… mohon bantuannya selalu. Mohon bisa dikontrol sewaktu-waktu. Saya khawatir ada yang fatal di tubuh pemuda itu," ucap Kakek Sapto dengan suara yang terdengar terharu. Meski terlihat tenang namun kekhawatiran masih menggelayut di wajahnya.
Dokter Guna mengangguk perlahan dan wajahnya menunjukkan ekspresi yang serius namun penuh empati. "Iya Pak… Saya akan selalu memantau ke sini. Tolong rawat dan pantau juga ya Pak…," ujar Dokter Guna dengan senyum yang menenangkan. Suaranya lembut seolah mencoba meredakan kecemasan yang terpancar dari Kakek Sapto dan Kirana.
Kirana mengangguk dan matanya berpindah antara Kakek Sapto dan Dokter Guna. "Terima kasih banyak Pak Dokter. Kami sangat berterima kasih atas bantuannya," ujarnya dengan tulus.
Dokter Guna tersenyum lagi dan kali ini lebih hangat. "Tidak perlu khawatir Kirana… Ini tugas saya. Yang penting kalian tetap tenang dan pantau kondisinya. Jika ada perubahan segera hubungi saya," ujarnya sambil mengangguk pada Kirana dan Kakek Sapto.
Kirana mengangguk lagi lalu memandang Kakek Sapto. "Kek… Kirana pergi dulu ya. Jangan lupa istirahat Kek. Jangan terlalu lelah," ucapnya dengan suara penuh perhatian.
Kakek Sapto mengangguk dengan senyum kecil menghiasi wajahnya yang lelah. "Iya Nak… Kamu juga hati-hati," pesannya dengan penuh kehangatan.
Kirana tersenyum lalu mengangguk. "Iya Kek... Kirana akan hati-hati." Ia kemudian berpaling ke Dokter Guna. "Pak Dokter… mari kita pergi."
Dokter Guna mengangguk lalu mengikuti Kirana keluar dari pondok. Udara malam yang dingin menyambut mereka dan hujan rintik-rintik mulai turun lagi. Kirana menghidupkan mesin motornya dan Dokter Guna naik di jok belakang motor Kirana.
Perjalanan mereka berlanjut dalam keheningan yang nyaman dan hanya diisi oleh suara mesin motor dan rintik hujan. Kirana merasa lega bisa membantu meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran untuk pemuda yang terluka itu. Namun dengan bantuan Dokter Guna dan Kakek Sapto, ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
----
Udara malam terasa sejuk namun pikiran Kirana masih dipenuhi oleh kecemasan. Tangannya erat memegang stang motor sementara matanya sesekali melirik ke belakang melalui kaca spion. Kirana memastikan Dokter Guna duduk dengan nyaman. "Pak Dokter… terima kasih sekali lagi. Kami benar-benar tidak tahu harus berbuat apa tanpa bantuan Bapak," ujarnya dengan suara bergetar halus penuh rasa syukur yang dalam.
Dokter Guna yang duduk di belakang menghela napas pelan. "Kirana… Ini adalah panggilan saya sebagai dokter. Yang penting kalian tetap tenang dan pantau kondisinya dengan baik. Jika ada yang tidak beres maka jangan ragu untuk menghubungi saya."
Kirana mengangguk pelan dengan mata tetap fokus pada jalan yang hanya diterangi cahaya rembulan yang mengintip dari balik awan. "Iya Pak Dokter… Kami akan berusaha sebaik mungkin," jawabnya dengan suara lirih namun penuh tekad. Ia merasa lega mendengar kata-kata Dokter Guna meski kegelisahan masih menggelayuti hatinya.
-----
Sesampainya di rumah Dokter Guna… Dokter Guna turun dari motor dengan perlahan. Tubuhnya terlihat lelah namun tetap tegar. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan secarik kertas berisi resep obat. "Tebus ini besok pagi ya… Pastikan dia meminumnya sesuai jadwal yang sudah saya tulis," ujarnya sambil menyerahkan kertas itu kepada Kirana.
Kirana menerima resep itu dengan kedua tangan dan matanya menatap Dokter Guna penuh hormat. "Berapa yang harus saya bayar Dok…?" tanyanya dengan suara ragu. Ia tahu bahwa biaya pengobatan tidaklah murah apalagi saat ini ia tidak membawa uang.
Dokter Guna tersenyum kecil dan wajahnya terlihat hangat di bawah cahaya lampu teras rumahnya. "Tidak usah Kirana... Yang penting dia selamat dan cepat pulih," ujarnya dengan suara penuh ketulusan.
Hati Kirana langsung menghangat mendengar jawaban itu. Matanya berkaca-kaca namun ia berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. "Terima kasih Dok... Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Dokter…," ucapnya dengan suara bergetar penuh emosi.
Dokter Guna mengangguk lalu menepuk pundak Kirana dengan lembut. "Kamu yang sabar Kirana… Jika ada yang bisa saya bantu lagi… jangan sungkan untuk datang."
Kirana mengangguk lagi dan kali ini dengan senyum kecil menghiasi bibirnya. "Iya Dok... Kirana akan selalu ingat pesan Dokter."
Setelah mengucapkan salam perpisahan… Kirana kembali menaiki motornya dan melaju perlahan meninggalkan rumah Dokter Guna. Udara malam yang semula terasa dingin kini seolah menghangat oleh rasa syukur yang mengisi hatinya. Meski begitu bayangan pemuda misterius itu masih terus menghantui pikirannya. Siapa dia? Dari mana asalnya? Dan mengapa dia bisa hendak dibunuh?
Kirana menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. "Satu masalah selesai tapi masih banyak yang harus dihadapi," gumamnya pelan dan suaranya hampir tak terdengar di tengah desiran angin malam.
-----