Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan
Prang!
Gelas di tangan Seira terjatuh secara tiba-tiba, tak ada angin ataupun orang, tapi benda itu terlepas dengan sendirinya dari tangan. Beling berserakan di lantai, Seira termangu lantaran baru saja ia hendak meminum air di dalamnya.
Tangannya gemetaran, dadanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Sedikit sesak seolah-olah diremas dengan kuat. Ia pegangi dan sedikit menepuk-nepuknya. Beralih pada perut yang juga bereaksi, Seira menarik napas pendek-pendek demi mengurangi rasa sakit dan sesak. Peluh bermunculan dan terus menetes layaknya sumber air.
Tangan mengudara mencari kursi yang berada di dekatnya, perlahan melangkah dan menyandarkan tubuhnya di pada kursi tersebut. Mendengar suara benda jatuh, Bi Sari yang baru saja datang bersama seseorang lekas berlari mendatangi dapur.
"Ya Allah, Non! Kenapa?" Ia memekik seraya menghampiri Seira yang tengah kesusahan menahan sakit yang menusuk-nusuk perut.
"Sa-sakit, Bi. Perut aku sa-sakit," lirihnya kesakitan.
Seira membuka-tutup matanya sambil menggigit bibir. Tangan kanan meremas daster di bagian perut yang terasa melilit.
"Ya Allah, gimana ini?" Bi Sari panik. Melirik lantai yang bertabur pecahan beling dengan nanar.
"Ada apa, Bi?" Seseorang yang bersama Bi Sari menerobos masuk mendengar suara wanita paruh baya itu.
"Den ...." Bi Sari menangis sambil menatap orang tersebut.
"Ya Allah, Sei!"
Seira hampir kehilangan kesadaran, dan sebelum itu ia gegas mengangkat dan membawanya keluar rumah.
"Cepat buka pintunya, Bi!" titahnya panik.
Bi Sari buru-buru membukanya, dan duduk menunggu Seira. Wanita hamil itu semakin lemas, hanya rintihan lemah saja yang terdengar dari bibirnya. Napasnya tersengal, tapi terdengar sangat lemah.
Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan halaman rumah Bi Sari.
"Non, kenapa tiba-tiba jadi begini?" rintih Bi Sari sambil mengusap-usap rambut Seira yang lembab karena keringat.
"Sa-sakit, Bi. Perut aku ... sakit," lirih Seira nyaris seperti bisikan.
Si pengemudi semakin dalam menginjak pedal gas, mempercepat laju mobilnya. Menyalib kendaraan lain yang melaju lebih pelan. Beruntung di daerah tersebut tersedia puskemas yang menerima pasien dua puluh empat jam.
Mobil berhenti di depan gedung putih itu, langkah yang diambil penolong Seira cepat dan lebar. Membuka pintu belakang dan mengangkat tubuh yang semakin lemah itu. Membawanya masuk ke dalam UGD seraya meminta dokter segera menanganinya.
"Ya Allah, Non. Kenapa bisa sampe begini?" Bi Sari masih saja menangis, menutup wajah dengan kedua tangannya. Terisak hingga bahunya terguncang.
"Sudah, Bi. Kita doain aja mudah-mudahan Sei nggak kenapa-napa."
Mendengarnya Bi Sari mendongak, bertatapan dengan pemilik manik teduh yang merangkul bahunya tanpa segan.
"Makasih, Den. Bibi nggak tahu kalo Aden tadi nggak dateng. Bibi bersyukur banget," ucap Bi Sari yang kembali menutup wajahnya.
"Itu udah jalan dari Allah, Bi. Emang aku udah niat jenguk kalian hari ini, dan kebetulan ini aku juga nggak nyangka sama sekali." Bi Sari mengangguk.
"Sekali lagi makasih, Non Sei udah nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Satu-satunya orang yang dianggap mampu menjaga udah ngebuang Non Sei gitu aja. Cuma karena terlambat hamil dan hari itu juga Non Sei mau kasih kejutan sama Tuan, tapi takdir punya kehendak lain. Ini udah jadi jalannya," ungkap Bi Sari dengan sisa isak tangisnya.
Sosok yang tak lain adalah Fatih itu terenyuh, merasa iba pada wanita yang sehari-hari terlihat ceria itu. Nyatanya, ia tengah menanggung beban yang berat di pundaknya.
"Aku udah denger semuanya dari Mang Udin, kasihan sekali orang baik kayak Seira diperlukan buruk kayak gitu sama suaminya. Cuma laki-laki bodoh aja yang nyia-nyiain perempuan sebaik Seira," tuturnya sedikit menggeram di dalam hati.
Jiwa kelelakiannya merasa terpukul, sungguh ia benar-benar merasa malu.
Di tempat lain, Zafran masih bersimpuh di pinggir jalan depan rumah sakit. Menangis dan meratap seorang diri tanpa kawan yang menemani. Satu-satunya sahabat yang selalu bisa diandalkan, kini meninggalkannya.
Dalam keheningan malam, hanya desiran angin yang menerpa tubuhnya. Meninggalkan jejak dingin, tapi tetap saja tak membuat rasa panas di dalam dada Zafran mendingin.
"Zafran!"
Teguran dari sebuah suara menghentikan laju tangis Zafran di tengah malam buta itu. Ia menghening, menyusut air mata dan cairan hidung sebelum beranjak. Terlalu malu rasanya kedapatan sedang menangis sendiri.
"Tunggu! Kamu Zafran, 'kan?" Orang asing itu mengejar Zafran yang bergegas pergi tanpa melihat dirinya.
Gerimis masih turun, berupa rintik air yang berjatuhan ke bumi. Zafran tak menggubris, tapi orang itu pun tak menyerah untuk mengejarnya. Suara ketukan sepatu mereka terdengar nyaring meski kendaraan sesekali melintas.
"Tunggu!"
Ia berhasil mencekal lengan laki-laki itu, keduanya berhenti. Zafran belum ingin menoleh. Demi menuntaskan rasa penasarannya, orang asing tersebut berjalan memutari tubuh Zafran. Memperhatikan wajah lusuh laki-laki di hadapannya itu.
"Zafran? Oh, astaga! Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini," serunya riang gembira.
Bola mata Zafran membeliak menerima sebuah pelukan tiba-tiba dari orang asing tersebut. Aroma bunga dari tubuhnya menguar dan memabukkan. Perut yang belum terisi apapun sejak siang tadi, membuat kepalanya berdenyut. Ditambah bau parfum yang menyengat, semakin terasa berat.
"Minggir!"
Dengan kasar, Zafran mendorong tubuh itu hingga termundur beberapa langkah. Akan tetapi, sosoknya tidak terlihat marah justru tersenyum manis sekali.
"Kamu lupa sama aku?" tanyanya sambil berkedip mata genit. Telunjuknya menekan dada Zafran dengan tingkah manja.
Berdesir darah dalam tubuhnya, terlebih suara tawa itu terdengar sangat khas di telinganya. Dahi Zafran mengernyit, menatap sambil mengingat-ingat sosok di depannya itu.
"Siapa kamu?" Satu pertanyaan bodoh lolos begitu saja dari mulutnya.
Sosok itu mendengus, melipat tangan di perut sambil cemberut.
"Kamu tega banget lupain aku, padahal dulu kita deket banget. Pasti gara-gara dia kamu jadi lupa sama aku," ucapnya semakin membuat Zafran tenggelam dalam rasa bingung.
Zafran membelalak, tapi berikutnya ia meringis sambil memegangi kepala. Sosok itu menatapnya sambil melipat kulit dahi. Mendekat disaat sadar Zafran sedang kesakitan.
"Kamu kenapa? Kamu lagi sakit?" tanyanya cemas.
Ia bantu memegangi tangan Zafran agar tidak ambruk.
"Aku antar kamu pulang, ya. Rumah kamu masih di sana, 'kan?" ucapnya lagi sambil membantu Zafran berdiri.
Namun, laki-laki itu menepis tangannya, ada rasa tidak nyaman yang muncul memenuhi hati.
"Nggak usah, aku nggak mau pulang. Males, tinggalin aja aku sendirian. Lagian aku juga nggak inget siapa kamu," ucap Zafran mencoba untuk melanjutkan langkah, tapi sayang tubuhnya oleng hampir terjatuh.
Sigap sosok itu menopangnya, dan merangkulkan tangan Zafran di pundaknya.
"Kalo kamu nggak mau pulang ke rumah, ya udah ke rumah aku aja. Kamu kayaknya sakit gitu," katanya tidak menerima penolakan.
"Nggak usah."
"Kamu nggak bisa nolak, aku nggak bisa ngebiarin kamu yang lagi sakit sendirian di jalanan."
Zafran tak lagi menyahut, kepalanya semakin berat terasa dan pandangan mulai mengabur. Ia tak sadarkan diri.