Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelajaran dari Pizza Terakhir
Setelah malam penuh tawa dan obrolan tentang ketakutan yang tak terduga di restoran pizza, Ethan dan Zoe mulai semakin sering menghabiskan waktu bersama. Setiap pertemuan membawa mereka lebih dekat satu sama lain, dan Ethan merasa dirinya mulai lebih terbuka terhadap Zoe. Namun, ada satu hal yang selalu menghantui pikirannya, perasaan yang makin berkembang di hatinya setiap kali mereka bertemu.
Malam itu, mereka kembali bertemu di restoran pizza yang sama, tempat favorit mereka. Ethan sudah sampai lebih dulu, duduk di sudut biasa sambil melihat-lihat menu, meskipun dia tahu pasti apa yang akan mereka pesan. Zoe, seperti biasa, terlambat sedikit. Bukan karena lupa waktu, tapi karena dia sempat mampir ke toko es krim sebelah untuk membeli beberapa scoop es krim yang katanya "wajib banget dicoba."
“Aduh, Eth! Maaf ya aku telat,” Zoe berkata sambil meletakkan es krim di atas meja. “Aku harus banget beli es krim ini, sumpah enak banget!”
Ethan hanya tersenyum. “No problem, Zo. Lagi pula, aku udah hafal kebiasaan kamu yang satu ini.”
Zoe tertawa kecil sambil duduk. “Iya ya, kebiasaan jelekku memang banyak. Tapi tenang aja, Eth, aku tetap Zoe yang keren!”
Ethan menggelengkan kepala sambil tertawa. “Kamu selalu Zoe yang keren, itu gak pernah berubah.”
Pelayan datang membawa pizza pesanan mereka, dan obrolan santai pun dimulai lagi. Zoe, yang tidak pernah bisa berhenti bicara, dengan antusias menceritakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi di tempat kerjanya. Ethan, di sisi lain, lebih banyak mendengarkan, sesekali menyelipkan komentar atau tawa saat cerita Zoe benar-benar konyol.
“Ada satu temanku di kantor, si James, yang selalu ngelupain password komputer. Dan yang lebih konyol lagi, dia nyatet semua password-nya di sticky notes terus ditempel di layar komputernya! Gimana bisa ya, dia gak sadar kalau itu sebenernya bikin lebih gampang buat orang lain nge-hack komputernya? Aku sampai ketawa setiap kali ngeliat sticky notes-nya nambah lagi,” Zoe menjelaskan sambil tertawa.
Ethan tertawa kecil, tapi kemudian mengernyitkan alis. “Kamu gak kasih tau dia buat nggak nulis password di situ?”
“Udah! Tapi James itu keras kepala banget. Dia bilang, ‘Ini cara paling praktis, Zoe. Password manager aja bikin ribet.’ Yaudah, aku biarin aja deh. Kalau laptopnya di-hack, dia bakal belajar pelajaran berharga,” Zoe menjawab sambil mengunyah pizza.
Ethan terkekeh. “Kadang memang orang harus belajar dengan cara sulit.”
Zoe mengangguk setuju. “Benar banget. Eh, ngomong-ngomong soal belajar, aku lagi mikir buat ambil kursus yoga. Katanya bisa bikin pikiran lebih tenang dan tubuh lebih fleksibel. Kamu pernah coba yoga, Eth?”
Ethan menatap Zoe dengan senyum aneh. “Aku? Yoga? Kayaknya nggak cocok deh. Aku lebih suka kegiatan yang lebih... diam. Mungkin meditasi.”
Zoe tertawa keras. “Kebayang kamu duduk di matras yoga, mata tertutup, terus disuruh nyium lutut. Udah, Eth, aku rasa yoga nggak bakal jadi teman terbaikmu.”
Ethan ikut tertawa. “Iya, aku rasa juga begitu. Tapi meditasi sepertinya ide yang lebih masuk akal. Duduk diam, menarik napas, dan biarkan pikiran mengalir.”
Zoe tersenyum nakal. “Eh, tapi kalau kamu jadi jago meditasi, mungkin kamu bakal tenang banget setiap saat. Bisa nggak ya kamu berhenti jadi terlalu serius terus?”
Ethan tersenyum. Dia tahu Zoe selalu bercanda tentang sifat introvertnya, tapi Ethan menyadari bahwa Zoe punya maksud baik. “Mungkin. Tapi tetap, aku yakin aku butuh waktu lebih lama buat kayak kamu yang bisa santai di situasi apa pun.”
Zoe meletakkan pizza-nya dan menatap Ethan serius sejenak. “Kamu tau, Eth, aku sebenarnya gak sesantai yang kamu kira. Aku juga mikirin banyak hal. Kadang aku cemas soal apa yang orang lain pikir tentang aku. Aku cuma belajar buat nggak menunjukkannya aja.”
Ethan terdiam. Zoe yang selalu ceria ternyata punya sisi yang lebih dalam dari yang dia kira. “Aku gak nyangka kamu bisa merasa kayak gitu. Kamu selalu terlihat... kuat.”
Zoe tersenyum lebar. “Itu karena aku gak suka ngabisin waktu untuk hal-hal yang bikin stres. Kamu tahu kan, hidup itu singkat. Jadi, kenapa nggak nikmatin aja hal-hal yang ada sekarang?”
Ethan merasa apa yang Zoe katakan itu benar. Terkadang, dia terlalu memikirkan hal-hal kecil yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Dia tahu, waktunya bersama Zoe selalu menjadi momen yang berharga, tapi perasaannya terhadap Zoe membuatnya semakin bingung. Apakah dia harus mengungkapkannya sekarang? Atau biarkan saja perasaan itu mengalir seperti biasa?
“Zo, kamu pernah mikir soal...” Ethan mulai berbicara, tapi kalimatnya terputus. Dia tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Zoe menatapnya penasaran. “Apa, Eth? Kamu tiba-tiba jadi serius banget.”
Ethan mengambil napas dalam. “Pernah mikir soal... hubungan kita? Maksudku, kita sering bareng, ngobrol, dan selalu ketawa. Aku cuma... ya, penasaran aja.”
Zoe memiringkan kepala, seperti mencoba memahami arah pembicaraan Ethan. “Maksudmu, hubungan kita yang sekarang?”
Ethan mengangguk. “Ya, maksudku... kadang aku merasa ada yang lebih dari sekadar teman di antara kita. Tapi aku nggak tahu apakah itu cuma perasaanku atau kamu juga merasakan hal yang sama.”
Zoe tersenyum tipis, menatap Ethan dengan mata yang sedikit berbeda kali ini. “Eth, kamu tahu nggak, aku selalu merasa nyaman sama kamu. Dari awal kita sering bareng, aku tau kamu adalah orang yang bisa bikin aku tenang. Tapi, soal perasaan... aku belum pernah benar-benar mikir soal itu. Kamu, kita, ya... selalu kayak begini, santai, gak ada tekanan.”
Ethan merasa sedikit cemas, tapi juga lega mendengar Zoe bicara. “Jadi... kamu nggak ngerasa ada yang berubah?”
Zoe tertawa pelan. “Mungkin ada, mungkin enggak. Tapi yang jelas, aku suka apa yang kita punya sekarang. Aku nggak mau buru-buru nentuin apa-apa. Kita bisa nikmatin aja perjalanan ini, kan?”
Ethan tersenyum lega. Zoe selalu punya cara untuk membuat hal-hal yang rumit jadi terdengar sederhana. “Kamu benar. Aku terlalu banyak mikir.”
Zoe mengangkat alis. “Lihat kan? Kamu bener-bener butuh yoga! Atau setidaknya, meditasi. Kamu bisa mulai belajar untuk nggak terlalu serius, Eth.”
Ethan tertawa. “Ya, mungkin aku memang perlu belajar dari kamu soal itu.”
Malam itu berakhir dengan tawa, seperti biasa. Meskipun perasaan Ethan masih sedikit campur aduk, dia tahu satu hal, bersama Zoe, setiap momen akan selalu terasa berharga, dan mungkin itulah yang paling penting untuk saat ini.
Dan, siapa tahu? Mungkin perasaan itu akan tumbuh seiring waktu, atau mungkin, mereka akan tetap seperti ini, menjadi sahabat yang saling memahami tanpa perlu banyak bicara.
Yang jelas, Ethan siap menjalani semuanya, perlahan-lahan, seperti pizza terakhir yang selalu mereka simpan untuk dimakan dengan penuh nikmat di akhir obrolan.