Halwa mencintai Cakar Buana, seorang duda sekaligus prajurit TNI_AD yang ditinggal mati oleh istrinya. Cakar sangat terpukul dan sedih saat kehilangan sang istri.
Halwa berusaha mengejar Cakar Buana, dengan menitip salam lewat ibu maupun adiknya. Cakar muak dengan sikap cari perhatian Halwa, yang dianggapnya mengejar-ngejar dirinya.
Cakar yang masih mencintai almarhumah sang istri yang sama-sama anggota TNI, tidak pernah menganggap Halwa, Halwa tetap dianggapnya perempuan caper dan terlalu percaya diri.
Dua tahun berlalu, rasanya Halwa menyerah. Dia lelah mengejar cinta dan hati sang suami yang dingin. Ketika Halwa tidak lagi memberi perhatian untuknya, Cakar merasa ada yang berbeda.
Apakah yang beda itu?
Yuk kepoin cerita ini hanya di Noveltoon/ Mangatoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Cakar Vs Aldian
Mobil Cakar sudah melaju menuju salon tempat Halwa bekerja. Sepanjang jalan Cakar tetap memantau keberadaan Halwa, siapa tahu Halwa pulang dengan berjalan kaki mengingat ia ketinggalan Hp dan dompetnya.
"Halwa-Halwa, kamu selalu membuat orang khawatir. Kenapa juga kamu ini pelupa, padahal usia masih muda? Padahal baru tadi pagi aku menegur dia karena dia lupa menutup jendela kamar yang ada barang-barang Seli, tapi kini lupanya justru terulang kembali." Cakar berbicara sendiri memikirkan Halwa yang pelupa.
Mobil Cakar terus melaju membelah jalan menuju salon Male dan Female. Dua puluh menit kemudian, mobil Cakar tiba di depan salon itu, tapi sayangnya salon sudah sepi dan sepertinya tidak ada lagi tanda-tanda ada orang di dalam.
Cakar bingung, lalu kembali melajukan mobilnya pelan. Keluar dari tempat itu dan kembali ke jalan. Matanya tidak henti bergulir mencari sosok Halwa siapa tahu masih ada di halte. Ketika matanya tertuju ke halte sebrang, Cakar melihat bayang Halwa di sana dan seseorang di samping mobil yang berhenti di pinggir halte sebrang jalan itu.
"Halwa, itu Halwa. Dan siapa pria yang menemani Halwa itu? Wahhh sialan, mobil itu ternyata mobil milik Letda Aldian Bahari." Cakar langsung dibakar api cemburu ketika ia melihat mobil Aldian berada di sana.
"Apa dia sedang merayu Halwa? Ah sialan, sepertinya si Halwa mau masuk ke dalam mobil Danton tidak laku itu. Aku harus mengejarnya," cicit Cakar seraya melajukan mobilnya kencang menuju belokan untuk putar arah. Setelah belok, Cakar semakin memainkan gas mobilnya dengan kencang, sehingga mobilnya mampu menghentikan mobil Aldian yang baru saja akan beranjak dari sana.
Suara klakson memenuhi jalan, Aldian seketika menghentikan mobilnya. "Apa-apaan orang itu, gila kali ya?" umpat Aldian emosi seraya membuka pintu mobil dan keluar. Bersamaan dengan itu Cakar juga keluar, kalau bukan sudah malam, wajah Cakar kini memerah menahan marah.
"Danton."
"Cakar."
Keduanya saling menyebut nama lawannya masing-masing dengan wajah yang sama-sama tegang. Melihat mobil Aldian yang tiba-tiba berhenti, dan mobil suaminya yang seketika muncul menghadang mobil Aldian, Halwa turun kembali dari mobil Aldian, dia menghampiri keduanya yang mulai saling mendekat.
"Bang Cakar, kenapa tiba-tiba menghadang jalan saya? Bagaimana kalau saya tidak sempat ngerem, bisa jadi saya menyeruduk mobil kamu?" tegur Aldian sedikit meninggi, ia pun sebenarnya kaget dan kesal, kenapa Cakar tiba-tiba harus datang, padahal ia sangat menantikan momen di mana ia bisa duduk lama di dalam mobil bersama Halwa, perempuan yang dikagumi sekaligus disukainya, setelah tadi menunggu setengah jam lebih merayu Halwa untuk naik mobilnya.
"Maaf Danton, saya memang dari halte sebrang sana sudah melihat istri saya di halte ini, lalu masuk ke dalam sebuah mobil, saya awalnya tidak yakin kalau ini mobil Danton, itu sebabnya saya buru-buru ngegas mobil saya dan menghadang Anda. Saya mohon maaf Danton, telah membuat Anda terkejut," balas Cakar sedikit berbohong, padahal dari sebrang halte sana, ia sudah mengenali mobil Danton Aldian.
"Oh, baiklah. Apakah Bang Cakar mau jemput istrinya? Sejak tadi lho dia menunggu angkot yang tidak muncul-muncul. Lalu saya datang dan menawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang, sayangnya dia menolak. Sampai setengah jam lebih dia menolak saya antar dengan alasan mau nunggu angkot, lalu barusan terpaksa dia menerima tawaran saya untuk diantar pulang karena malam semakin larut, sedangkan kamu sebagai suaminya saja tidak juga muncul." Letda Aldian memberikan penjelasan yang membuat Halwa lega, sebab apa yang dikatakan Letda Aldian tidak dilebih-lebih atau dikurang-kurangkan.
"Siap, Danton, saya minta maaf karena telah membuat Danton mengkhawatirkan istri saya. Sekali lagi minta maaf, dan saya ucapkan terimakasih karena Danton sudah menawarkan bantuan untuk mengantar istri saya," balas Cakar yang pada akhirnya mengucapkan terimakasih dan meminta maaf.
"Ok. Saya peringatkan untuk kamu, lain kali usahakan sensitif dengan istrinya, dia tadi sudah sangat ketakutan. Dia ketinggalan barang-barang pentingnya sampai dia kesusahan mau pulang. Harusnya kamu bersyukur, dia itu perempuan yang teguh pada pendiriannya. Dia tidak mau diantar saya pulang, mungkin karena terlalu menghargai kamu. Atau juga takut akan kemarahanmu," tandas Aldian seraya menatap Cakar sejenak.
"Kalau kejadian ini terulang kembali, saya siap menampung istri kamu," ucapnya sebelum memasuki mobil membuat Cakar terbelalak.
"Terimakasih banyak Mas." Halwa menyempatkan berterimakasih setelah tadi tersadar dari rasa kagetnya karena kedatangan mobil Cakar yang menghadang mobil Aldian. Ia merasa lega karena sudah mengucap terimakasih pada Aldian yang sejak tadi menunggunya di halte itu.
Aldian melajukan mobilnya perlahan seraya menatap kaca spion belakang, berharap bayangan Halwa masih ada di sana. Jujur saja ia kecewa dengan kedatangan Cakar yang tiba-tiba. Padahal ia berharap bisa mengantar Halwa sampai rumah, dengan begitu Aldian bisa berlama-lama dengan Halwa. Aldian begitu menyukai sosok Halwa, gadis cantik yang sederhana tapi punya pendirian yang teguh.
"Seandainya saja aku tidak terlambat datang ke kota ini, bisa jadi akulah pendamping hidupnya perempuan itu," sesalnya seraya menambah kecepatan mobilnya menuju rumahnya.
Setelah mobil Aldian menjauh, Cakar tersadar, ia seakan baru saja ditampar. Ucapan terimakasih Halwa pada Aldian pun terdengar sangat menggetarkan hatinya dan mengoyak dadanya yang sesak. Apa betul ia tidak sensitif terhadap Halwa seperti apa yang dikatakan Aldian tadi?
"Halwa, masuk!" perintahnya seraya ia pun masuk lalu segera menyalakan mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Hingga tidak terasa mobil sudah tiba di depan rumah. Cakar memasukkan mobil itu ke dalam halaman rumah. Setelah terparkir dengan baik, Halwa turun dan segera memburu pintu. Rasa sesak di dadanya sudah tidak tahan bergelayut dan ingin segera ia tumpahkan dengan tangisan.
"Halwa," panggil Cakar seraya menyusul Halwa ke atas.
Di dalam kamar, entah kenapa tangis Halwa pecah, dia menumpahkan rasa sedih dan kesal juga takutnya saat menunggu tadi di halte, di sini di kamar ini.
Kesedihan Halwa bukan karena hal itu saja, tangisnya seakan sudah dirafel sejak dari sebelum-sebelumnya. Dari awal perlakuan Cakar, sikap dinginnya Cakar, kemarahan Cakar yang tidak jelas termasuk kemarahan Cakar yang tadi pagi, seketika mengundang tangisan Halwa semakin pecah dan terisak di sofa sembari menelungkupkan wajah.
"Halwa kamu jangan menangis, bukankah kamu sekarang sudah tiba di rumah dan selamat. Ayo bersihkan diri kamu. Lagipula kenapa kamu sampai lupa Hp dan dompet kamu di meja rias. Barang penting bisa lupa," omelnya meski kali ini omelannya tidak bernada bentak.
Halwa semakin kencang saja menangis, jujur saja dia amat takut saat tadi di halte sebelum Aldian datang.
"Sudahlah, aku minta maaf karena tidak lebih awal menghampiri kamu. Yang penting kamu selamat. Sekarang bersihkan tubuh kamu, kamu pasti lengket badannya."
Halwa berdiri dari sofa setelah mendengar ucapan Cakar yang justru membuat dadanya sesak dan kesedihannya makin menjadi. Bukannya dilembutin atau dihibur, tapi justru diomeli.
Halwa menuju lemari meraih baju ganti, lalu menuju meja rias mengambil semua alat make-upnya, isaknya masih terdengar, lalu ia bergegas menuju pintu.
"Halwa, mau ke mana? Mandi di kamar mandi ini. Lagipula aku sedang bicara baik-baik sama kamu, tapi kamu justru menangis. Bukankah aku sudah meminta maaf sama kamu?"
"Lepasin aku, Mas. Mulai sekarang tidak usah pedulikan apa-apa tentang aku. Betul kata Danton kamu itu, kamu memang tidak pernah sensitif dengan keadaan aku. Bayangkan, aku sangat ketakutan saat di halte tadi. Beruntung ada Danton kamu yang tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menawarkan aku bantuan untuk mengantar pulang. Tapi demi kehormatan kamu, aku dengan kuat menolak bantuannya. Namun, aku terpaksa menerima tawaran dan kebaikannya, karena aku sudah cukup lama menunggu di sana."
Halwa menjelaskan seraya membuka pintu kamar dan keluar. Ia menuju tangga dan menuruninya. Kali ini dia akan mandi di kamar mandi bawah dan akan tidur di kamar bawah, kamar yang diperuntukkan untuk tamu dan keluarga Cakar yang datang.
Entah kenapa, kali ini Halwa begitu sangat sedih dan tidak bisa menahan lagi tangisan dan unek-uneknya terhadap Cakar. Halwa memilih menghindari Cakar dan menenangkan diri dulu di kamar bawah.
"Halwa, apa-apaan sih kamu? Aku minta maaf karena tidak peka terhadapmu. Halwa." Percuma Cakar menggedor pintu kamar mandi bawah, yang terdengar dari dalam justru kini tangisan Halwa yang semakin kencang dan menyedihkan.