Aleena Salmaira Prasetyo adalah anak sulung dari keluarga Prasetyo. Dia harus selalu mengalah pada adiknya yang bernama Diana Alaika Prasetyo. Semua yang dimiliki Aleena harus dia relakan untuk sang adik, bahkan kekasih yang hendak menikah dengannya pun harus dia relakan untuk sang adik. "Aleena, bukankah kamu menyayangi Mama? Jika memang kamu sayang pada Mama dan adikmu, maka biarkan Diana menikah dengan Angga". "Biarkan saja mereka menikah. Sebagai gantinya, aku akan menikahimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukankah Kamu Calon Istriku?
"Nona, apa anda sudah selesai?".
Bibi bertanya pada Aleena yang masih berada dikamar mandi untuk membersihkan diri.
Didalam, Aleena sedang berada dibawah shower. Dia meringis merasakan pedih disekujur tubuhnya ketika air mulai membasahi lukanya.
"Aleen, ingatlah selalu rasa sakit dari luka yang sudah kamu terima selama ini. Kamu tidak perlu merasa bersalah karena sudah meninggalkan rumah itu. Ingat kalau kamu sama sekali tidak berhutang apapun pada mereka"
Aleena bicara pada dirinya sendiri dengan derai air mata yang bercampur air dari shower.
Dia kembali memejamkan mata dan mengingat bayangan mendiang kakeknya
"Aleen, maafkan kakek karena tidak bisa lagi melindungimu. Apapun yang terjadi, kamu adalah cucu Kakek. Kakek ingin melihat kamu bahagia. Bagaimanapun caranya. Hiduplah untuk dirimu sendiri"
Aleena membuka matanya dan mematikan shower.
"Kakek, kali ini aku akan hidup seperti keinginan kakek. Aku akan menjalani hidupku sendiri tanpa mengkhawatirkan orang lain. Aku janji kalau aku akan hidup bahagia"
Aleena bicara dengan penuh tekad sambil mengepalkan tangannya dan sorot mata penuh keyakinan.
"Non, apa nona baik-baik saja?".
Bibi bertanya dari luar kamar mandi karena Aleena belum juga keluar.
"Aku sudah selesai, Bi. Aku tidak papa. Bibi tidak perlu terlalu khawatir".
Aleen tersenyum lembut agar bibi tidak terlalu khawatir padanya.
Mata Bibi berkaca-kaca namun dia tidak mengatakan apapun lagi.
"Kalau begitu biar Bibi obati dulu lukanya. Pasti Nona kesakitan sekali saat lukanya terkena air", ujar Bibi dengan berlinang air mata.
"Bi, aku benar-benar tidak papa. Aku bisa obati sendiri lukaku. Sebaiknya Bibi istirahat saja"
"Bibi akan istirahat setelah mengobati luka Non Aleen"
"Baiklah"
Aleen sama sekali tidak ingin membuat bibi khawatir, namun bibi tidak bisa melakukan itu dan bersikeras mengobati luka aleen terlebih dahulu.
Air mata bibi mulai mengalir lagi ketika dia mengoleskan obat pada luka Aleen.
"Bibi, kenapa Bibi menangis?"
Aleena bertanya pada bibi dengan nada bicara yang lembut.
"Nona sangat cantik dan baik. Tapi kenapa Nona harus menerima semu ini? Ini sama sekali tidak adil. Maafkan Bibi. Bibi selalu merasa bersalah setiap kali Nona mendapat perlakuan buruk dari tuan Bastian. Jika saja tuan besar masih ada… Nona tidak akan memiliki banyak bekas luka seperti ini".
Bibi bicara dengan derai air mata yang terus mengalir dipipinya. Dia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi Aleen.
"Bibi tidak perlu minta maaf. Selama ini hanya Bibi yang aku miliki. Jika tidak ada Bibi dirumah itu, aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa bertahan sejauh ini. Sekarang aku berterima kasih karena Bibi mau ikut denganku keluar dari rumah itu. Kuharap Bibi bisa mengatakan apapun yang. Bibi butuhkan padaku".
"Terima kasih, Non".
Momen haru antara Aleen dan pembantunya berakhir setelah bibi selesai mengoleskan obat pada luka Aleena. Mereka pun langsung istirahat setelah melalui waktu yang panjang dirumah Aleen.
...****************...
Kesokan paginya. Aleena bangun dan diam menatap satu set baju yang dia kenakan kemarin.
"Aku meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mungkin pergi ke kantor dengan baju ini?", gumam Aleena melihat dress tanpa lengan dengan luaran bolero yang memiliki beberapa bercak darah akibat lukanya.
Tok tok tok
"Non, apa nona sudah bangun? Bibi sudah siapkan sarapan. Tuan Dev juga sudah menunggu dimeja makan".
Bibi bicara pada Aleen dari balik pintu. Dia menjelaskan situasi pagi ini.
"Iya, Bi. Sebentar lagi saya akan turun".
Aleena pun menanggapi dari balik pintu, lalu kembali berpikir untuk menyelesaikan masalahnya.
"Sudahlah, aku bersihkan bercak darahnya saja. Nanti saat pulang dari kantor, aku bisa membeli beberapa set pakaian".
Aleena pun mengambil baju itu dan membawanya ke kamar mandi. Dia mencuci bagian bercak darahnya lalu mengeringkannya dengan hair dryer.
Tidak butuh waktu lama untuk Aleen mengeringkan pakaiannya. Setelah itu dia langsung turun ke meja makan.
Dev menatap Aleen yang berjalan menuruni tangga dengan dahi berkerut. Ekspresi wajahnya yang aneh membuat Aleen merasa tidak percaya diri dengan penampilannya.
"Kenapa Dev menatapku seperti itu? Apa aku terlihat aneh? Pasti karena bajunya yang terlihat kusut"
Aleen bicara dalam hati sambil memeriksa penampilannya sendiri. Dia mengerucutkan bibirnya karena kecewa.
"Selamat pagi, Dev".
Aleen menyapa Dev terlebih dahulu sebelum dia duduk disalah satu kursi dekat Dev.
"Selamat pagi. Apa tidurmu nyenyak?", Dev balik bertanya dengan senyum yang ramah.
"Iya, berkatmu aku tidak perlu tidur dijalanan setelah meninggalkan rumah".
Aleen menanggapi dengan senyum tipis dan sikap acuh tak acuh.
"Eum… Apa kamu akan pergi ke suatu tempat".
Dev bertanya lagi setelah memperhatikan penampilan Aleen.
"Iya. Aku harus pergi ke kantor. Kantorku sedang sibuk karena besok akan kedatangan direktur baru dari cabang luar negeri. Aku harus menyiapkan beberapa dokumen yang mungkin akan digunakan sebagai referensi perkembangan perusahaan kami".
Aleen sedikit menjelaskan tentang keadaan kantornya saat ini.
"Kalau begitu aku akan mengantarmu. Kita juga harus pergi ke suatu tempat terlebih dahulu".
"Pergi kemana?"
Dev bicara dengan sikap yang tenang sambil menikmati sarapannya. Dia juga tidak menjelaskan tempat tujuannya pada Aleen, dan membiarkannya berpikir sendiri mengenai tempat tujuannya.
"Apa kamu sudah selesai sarapan?"
"Iya"
"Kalau begitu kita berangkat sekarang sebelum jalanan jadi macet".
Dev dan Aleen pun. beranjak pergi meninggalkan meja makan setelah mereka selesai.
"Bi, aku pergi dulu ya"
"Iya, Non. Hati-hati!"
Aleena pamit terlebih dahulu sebelum pergi, lalu dia berjalan keluar rumah mengikuti Dev yang sudah keluar terlebih dahulu.
Begitu Aleena keluar rumah, terlihat Dev yang sudah berdiri didepan pintu mobil. Dia membukakan pintunya untuk Aleena.
"Terima kasih".
Dev hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasih dari Aleena. Mereka pun mulai berkendara meninggalkan rumah.
"Dev, apa kamu belum mulai bekerja?".
Aleena bertanya terlebih dahulu agar suasana diantara mereka tidak canggung.
"Besok aku akan mulai bekerja. Hari ini aku harus kembali kerumah orang tuaku untuk mengatakan rencana pernikahan kita".
Aleena tersentak mendengar jawaban Dev.
"Oh iya, pernikahan. Aku lupa mengenai hal itu" ,
Pikir Aleena yang lupa akan ajakan pernikahan Dev.
"Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba wajahmu pucat? Apa kamu sakit?", tanya Dev heran setelah melihat perubahan Aleen.
"Tidak. Aku sama sekali tidak sakit. Mungkin… karena mobil ini cukup panas".
Aleen menanggapi dengan canggung pertanyaan Dev.
Sedangkan Dev yang mendengarnya langsung mendongak setelah untuk memeriksa AC didalam mobil.
"AC mobilnya sudah dinyalakan. Bagaimana kamu bisa merasa ini panas?".
Aleen hanya diam dan tidak menanggapi lagi ucapan Dev. Dia merasa malu sendiri dengan jawaban asal yang dia berikan.
Tak berselang lama mereka tiba disebuah pusat pertokoan.
Aleen menoleh kesana kemari setelah dia turun dari mobil.
"Dev, kenapa kita datang kemari?", tanya Aleen dengan raut wajah bingung.
"Mencari beberapa barang yang kamu butuhkan. Maaf karena terlambat menyadarinya".
Aleen menatap Dev dengan seksama.
"Dev, kenapa kamu sangat baik sekali padaku? Padahal kita belum lama kenal".
Dev tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan Aleen.
"Kenapa kamu masih menanyakan hal itu? Tentu saja karena kamu calon istriku. Bukankah wajar bagiku untuk memenuhi semua kebutuhan istriku?"