Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 : Ara mau nikah!
Ara menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Dia belum bisa bilang sama Mama kalau dia pulang bareng keluarga Saka.
Setelah kejadian kemarin, Saka kini lebih banyak diam namun tidak bisa lepas dari sisi Ara. Liana mengusulkan untuk Ara selalu dekat dengan Saka. Liana tahu ada yang terjadi pada anak sulungnya itu selain trauma.
"Maaf kalau ibu nyusahin kamu, Ara. Dari kecil Saka memang sudah melalui banyak hal berat dan mungkin saja menakutkan baginya. Tapi ibu tidak menyangka dampaknya akan seperti ini. Ibu merasa ikut andil dalam kesalahan ini."
"Tidak apa-apa, Ibu. Saya...tadinya juga takut. Tapi, melihat ada orang lain yang harus dibantu, saya bisa jadi lebih berani."
"Bagaimana dengan Mahesa? Teman kamu itu kelihatannya sayang banget sama kamu."
"Kami baik-baik saja, Mahesa sudah jadi teman saya sejak kecil. Saya yakin dia pasti paham."
Ara berhenti bicara dan melihat jendela mobil yang dikemudikan Devin. Mungkin pesawat Mahesa malah sudah lebih dulu sampai daripada mereka.
Ara kembali memandang Saka yang jiwanya masih belum terisi penuh. Dari genggaman tangan Saka, Ara tahu dia benar-benar membutuhkannya.
"Are you alright?" tanyanya pada Saka.
"Yes, i'm fine. Cuma...berasa sangat lelah."
"Kamu bisa nge-charge dari sini." Ara menggerakkan genggaman tangannya yang terpaut bersama Saka.
"Bagaimana caranya?"
"Coba bayangkan ada segenggam cahaya mengumpul di telapak tanganku, cahaya itu bisa mengalir perlahan ke tanganmu sedikit demi sedikit. Rasanya hangat. Mengalir sampai ke pusat kehidupanmu. Di sini." Ara menunjuk dada Saka sambil tersenyum.
"Ilmu apa itu? Kok aku baru tahu?"
"Trust. Believe. Kedengarannya mustahil dan khayal saja kan? Tapi aku percaya itu semua. Manusia punya kapasitas yang lebih dari badan fisik yang terlihat dari luar ini."
Saka memandang genggaman tangan mereka berdua. Kepercayaan yang dulu sempat hilang karena rasa takut, kini sudah bertemu jalan mula. Kini mereka tinggal menyusuri jalan sesuai peta hati agar tidak tersesat.
"Kepalamu masih sakit?"
Saka menggeleng. "Dulu, hanya dengan memikirkanmu saja kepalaku bisa sakit. Apalagi menyentuhmu. Kenapa sekarang bisa tidak apa-apa?"
"Apapun itu sesuatu yang jahat akan menyerang sisi lemah dari manusia. Ketika kamu goyah, mereka menyusup. Hati dan iman yang kuat. Kita perlu itu."
Ara menunduk. Merasa malu dengan dirinya sendiri yang dulu membiarkan ketakutan menguasainya selama itu. Ara baru menyadari kenapa dia harus ketemu Saka. Berkali-kali dan mengulang-ulang perasaan yang sama.
Entah kenapa bayangan Kakeknya berkelebat di dalam pikiran Ara. Kakeknya yang sedang tersenyum di balik jenggot putihnya yang panjang. Kakeknya yang berjalan dengan tongkat di tangan kanan. Kakeknya yang sering membelai rambutnya dengan sayang.
...* * * * *...
Setelah mengantar Liana pulang ke rumah dan Ara yang pergi pulang naik taksi online, Saka duduk berdua bersama Devin di rumahnya. Saka merasa ini saatnya jujur kepada Devin untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu.
"Oh my GOD! Risty bisa melakukan itu sama kamu, Kak?"
"Ya. Aku nggak tahu isi rekaman di ponselnya seperti apa, tapi dia bilang dia bisa pakai itu untuk ngancurin aku dan Ara kalau aku tidak memenuhi keinginannya. Dia ngancam akan membatalkan film Ara kalau aku nggak nurut."
"Sepertinya benang merahnya mulai kelihatan ya. Apakah dia juga yang bikin kamu mimpi buruk? Karena kamu bilang dia bisa masuk ke rumah ini malam-malam. Ngapain malam-malam dia ke sini? Wah, bener-bener. Kamu harus ati-ati sama dia, Kak."
Saka mengangguk cepat.
"Aku perlu pindah rumah dulu untuk sementara. Aku sudah bicarakan ini dengan Ara. Rumah itu hanya aku, kamu, dan Ara yang tahu, Vin. Sampai semua kasus selesai. Oke?"
Devin mengangguk setuju.
...* * * * *...
Sarah memandang foto bapak dan ibunya dalam potret hitam putih. Bapak yang berjenggot dan ibu yang bersanggul. Ibunya sudah berpulang ketika Sarah berusia lima belas tahun.
Sarah adalah anak tunggal. Itulah yang membuatnya selalu merasa trenyuh ketika memandang foto pernikahannya dengan Agung. Hanya ada bapak di tengah-tengah mereka berdua. Ibunya tidak sempat melihatnya menikah.
"Ara mau nikah."
Sarah seperti tertampar ratusan buket bunga ketika Ara tiba-tiba menemuinya di kamar setelah beberapa hari tidak pulang. Sarah yang tadinya sedang duduk mengoleskan masker wajah kini berdiri dengan wajah separuh beres.
"A...apa? Kamu bilang apa, Ra?"
"Ara. Mau. Nikah."
"Serius kamu? Kamu nggak demam, kan?" Sarah mengusap dahi anaknya yang terkesan habis kesambet penunggu pohon kangkung itu. "Sama siapa?"
"Mas Saka."
Lengkap sudah keterkejutan Sarah. Dia menangkupkan kedua tangannya di mulut sambil berjingkat pengen terbang.
"Serius? Akhirnya? Ya, kan. Apa Mama bilang. Perempuan itu bukan pacarnya Saka. Baiklah. Kapan lamarannya?"
"Besok."
"Kok besok?! Kita belum siap-siap, Ara. Belum pesen seragam, pesen katering, pesen oleh-oleh, pesen dekor, ngabarin sodara-sodara."
"Nggak perlu, Ma. Cuma keluarga inti saja yang datang. Nggak perlu serepot itu. Cukup masakan Mbok Siran saja sudah mumpuni. Kita bikin romantis dan minimalis."
Ara tersenyum lebar memperlihatkan gigi kelincinya. Sarah manggut-manggut tanda setuju.
"Akhirnya anak Mama paling tua mau nikah jugaaa...ya Allah...berkah ini luar biasa." Sarah mengguncang-guncang bahu Ara sampai Ara jadi kocak.
Sarah memeluk Ara sambil mengelus-elus punggungnya. "Apa yang bikin kamu dan Saka akhirnya mau menikah?"
"Kami mau melawan kuasa jahat."
"Hah? Tunggu, tunggu...Mama masih belum paham. Jelasin dulu, duduk sini Ara." Sarah menggandeng tangan Ara menuju pinggir tempat tidur.
Ara menghela nafas panjang. Here we go. Cerita yang bakalan panjang dan terkesan di luar nurul tapi betulan kejadian.
"Ma...Ara mau cerita tapi tolong enyahkan dulu penolakan demi penolakan dari pikiran Mama ya. Kita sepakat dulu, Mama mau menerima semua cerita Ara dengan ikhlas dan apa adanya."
Sarah berdecak gemas, tidak sabar dengan cerita Ara. "Iya, iya, Mama percaya sama kamu."
"Ara...melihat pintu besar warna emas dan Ara narik Mas Saka dari sana. Mama ingat dulu Ara pernah tersesat di dalam pintu yang terbakar? Pintu itu sama dengan yang Ara lihat di pikiran Mas Saka. Warna emas itu hanya ilusi, di baliknya, pintu itu hitam serupa jelaga. Kenapa Ara bisa lihat itu lagi?"
Sarah terdiam sesaat. Yang dikatakan Alan benar. Sarah menimbang-nimbang apakah akan menceritakan tentang kakeknya Ara atau tidak.
"Ara juga lihat Kakek. Kakek Sagara." lanjut Ara.
Sarah menatap Ara dengan perasaan campur aduk.
"Kakekmu...pernah bilang sama Mama kalau beliau nutup mata batin kamu untuk sementara sejak kejadian Si Kutu Kupret itu. Tapi kakekmu tidak bilang kenapa. Katanya biar kamu tenang dulu."
Ara berkedip cepat. Keluarganya tidak tahu kalau Ara mengalami trauma pasca kejadian itu. Ara memutuskan untuk keluar rumah selama sebulan dengan alasan pekerjaan.
Apakah Kakeknya tahu? Kakeknya tahu sebelum beliau meninggal?
Sarah meneruskan kata-katanya.
"Kamu dan Alan pasti paham apa artinya. Sejak kecil kalian beda sendiri. Suka lihat yang aneh-aneh. Kalau emosi kalian tidak stabil, jiwa kalian juga tidak aman. Kejadian Kutu Kupret itu pasti sudah bikin kamu terguncang. Ada yang kamu sembunyikan dari Mama, kan?"
Ara berdehem. "Ara bisa atasi masalah Ara sendiri. Kakek mungkin cuma ingin melindungi Ara."
"Itulah sebabnya Mama sering marah sama kamu. Kamu nggak pernah mau jujur sama Mama. Baru kali ini aja kamu mau cerita."
"Ara...mau bantu Mas Saka untuk memulihkan diri, Ma. Bisa dibilang...dia ada sesuatu yang membuatnya seperti orang yang sedang sakit. Kalau Ara ingin membantunya, Ara harus...sedekat mungkin dengannya, sesering mungkin bersamanya, dan sepenuh jiwa dan raga ikhlas bersamanya. Jadi..."
Ara tersendat sesaat ketika Liana memintanya untuk menikahi Saka.
"...jalan yang terbaik adalah menikah. Dengan begitu, tidak ada pihak yang merasa dipermalukan atau terjadi kesalahpahaman di mata masyarakat dan keluarga besar."
Sarah tersenyum tipis. Tidak menyangka putri sulungnya sudah berpikir sejauh itu untuk melindungi nama baik keluarga.
"Tapi kamu cinta kan sama dia?"
"Ara nggak tahu cinta yang Mama maksud seperti apa. Tapi...Ara punya cinta Ara sendiri."
"Baiklah. Mama paham."
"Terima kasih, Ma."
Dua ibu dan anak itu sama-sama tersenyum. Meskipun dilalui dengan banyak drama dan tarik ulur, akhirnya hati Ara merasa siap untuk melangkah menuju cahaya. Bersama Saka.
"Cie...jadi juga si Ranger Pink nikah."
Alan berdiri di ambang pintu sambil bersandar di dinding.
"Kebetulan kamu datang, Ranger Hitam. Ada yang perlu kita bicarakan."
Ara merangkul pundak adiknya sambil menyeretnya ke ruang tengah lalu duduk berdua di sofa.
"Lan, Mas Saka itu kalau ketemu aku, mikirin aku, badannya jadi sakit semua, terutama jantung dan kepalanya. Dia sehat, sudah periksa medis tapi nggak ketemu ada penyakit apa. Kecuali masalah psikisnya ya. Nah, kemarin setelah aku tutup pintu emas itu, sakit kepalanya hilang. Tapi jantungnya masih sering ngilu. Tenaganya seperti tersedot habis padahal nggak ngapa-ngapain."
"Kolesterol kali'"
Ara menepak bahu adiknya itu agar tetap berjalan di garis tema dan berhenti bercanda.
"Kamu bisa liat siapa yang bikin dia kayak gitu?" tanya Ara serius.
"Bisa. Tapi mungkin nggak mau ngaku. Suruhan nggak bakalan mau nyebutin nama masternya. Lagian buat apa dicariin sih, Mbak? Cukup dihilangkan trus bikin benteng baru aja 'napa?"
"Orang jahat kayak gitu perlu dikasih pelajaran."
"Tumben kamu mau ngelawan, biasanya kamu cuma jago sembunyi."
"Kata Pak Doni, hidup itu bagaikan bertarung di atas ring tinju. Kena pukul itu sakit. Tapi kalau kita cuma bertahan, nggak nyerang, kita bakalan kena pukulan terus. Udah sakit kena pukulan, nggak dapat poin. Ambyar. Jadi, menyeranglah sambil bertahan."
"Siapa Pak Doni?" Alan bertanya dengan polosnya.
Ara terdiam sambil menatap adiknya yang planga-plongo itu. "Bapak-bapak ronda. Dahlah. Besok kita ke makam Kakek."
"Ngapain? Jangan minta yang aneh-aneh!"
Kali ini Ara menepak kepala Alan. Alan mengaduh protes. Tepakan di bahu sepertinya nggak manjur untuk mengembalikan nalar Alan.
"Ziarah. Doain leluhur. Tradisi kayak gitu lumrah kan sebelum diadakan pernikahan. Parah lu, masa' iya aku minta-minta ke makam."
"Kamu yakin menikah ini tujuannya buat bantu Mas Saka? Kamu pernah bilang menikah itu perlu cinta loh. Bukan bakti sosial."
Ara terdiam sesaat. Matanya bergerak kiri kanan menyiapkan jawaban apa yang pas.
"Kamu harus nyentuh, nyium, meluk, trus..."
Ara membekap mulut Alan yang mulai los dol itu.
"Beli rem mulut dulu sana. Di pasar, sepuluh ribu tiga. Kalau nggak ada, beli lem tikus aja. Dasar semprul!"
Ara meninggalkan adiknya yang masih melongo.
"Aku kan cuma nanya. Soalnya besok aku juga bakalan kayak gitu sama Dista. Kalau nggak siap-siap ntar kamu kaget, Mbak..."
"DIAM!! Lakukan saja tugasmu! Urusan lain nggak perlu dibahas dulu!"
Ara menuding Alan di sela-sela hentakan kakinya. Alan menggaruk kepalanya sambil bersungut-sungut.