Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Begitu sampai di rumah sakit, aku segera bergegas menuju UGD untuk menemui Naura, anakku yang sedang sakit.
Di sana, aku melihat Bu Anita, guru Naura, yang tampak cemas dan khawatir. Aku tidak bisa menahan sedih melihat keadaan anakku.
"Astaghfirullah, Naura... Kenapa, Nak?" ucapku dengan air mata yang mulai menetes.
"Naura tadi pingsan, Bu Rania," jawab Bu Anita dengan suara parau.
Aku menatap wajah Naura yang tertidur dengan wajah pucat dan tampak lesu. Tangannya yang kecil dipasangi selang infus, membuat rasa sakit di hatiku semakin memuncak.
Ini adalah saat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya; melihat anakku yang tadi sehat penuh semangat, kini terbaring lemah di rumah sakit.
Mendengar suaraku yang lirih, Naura pun perlahan membuka matanya. Dia menatapku sambil tersenyum kecil, berusaha menenangkan hatiku yang gundah.
"Mamah..." ucapnya lemah.
Aku merasa bahwa ada begitu banyak pertanyaan yang menggelisahkan di benakku, mengapa ini bisa terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana kalo nuara harus rawat inap?
Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat demi anakku, memberikan dukungan moral dan perhatian yang dia butuhkan.
Di tengah rasa sedih yang menggelayut, aku mencoba tersenyum padanya, mencoba memberikan keberanian agar dia bisa lebih cepat pulih.
Aku mengelus lembut wajah Naura,.."iya nak, mamah ada di sini bersamamu" seruku
ini, jangan khawatir," bisikku sambil berusaha menahan air mata. Melihat anakku yang lemah di ranjang rumah sakit membuat hatiku terasa hancur.
Bu Anita berdiri di sampingku, memberikan dukungan moral. "Naura sangat kuat, Ibu Rania. Dia pingsan karena kelelahan dan dehidrasi, kami langsung membawanya ke sini," jelasnya dengan nada suara yang menenangkan.
Sambil terus menggenggam tangan Naura yang dingin, aku memperhatikan setiap alat medis yang terhubung di tubuhnya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang segera berakhir.
Naura, dengan segala kekuatannya, mencoba memberikan senyum yang memberi kekuatan, meskipun matanya tampak sayu.
"Ibu... maafkan Naura, tidak bilang kalau Naura lelah," ucap Naura dengan suara yang hampir tak terdengar. Hatiku semakin pilu mendengar pengakuan itu.
"Tidak apa-apa, sayang. Yang penting sekarang kamu cepat sembuh," jawabku, mencoba memberikan semangat. Aku mengusap pelan rambutnya dan berdoa dalam hati agar Naura segera pulih.
Saat aku tiba di rumah, ibu Anita bergegas pamit pulang. Sebelum dia pergi, aku tidak lupa menyampaikan terima kasih karena sudah menjaga Naura.
Tidak lama kemudian, dokter datang untuk memberikan penjelasan tentang kondisi Naura. Mendengar penjelasannya, aku cukup terkejut. Selama ini, Naura tak pernah mengeluhkan pusing atau sakit lainnya, hanya saja ia sering mengeluh sakit perut.
Aku tidak menyangka, bahwa ternyata perut Naura ini bukan masalah sepele, tapi lebih kompleks.
"Naura adalah anak yang kuat, Ibu Rania. Usus buntu ini bisa sangat menyakitkan," ujar dokter itu.
Aku merasa gelisah dan khawatir. "Dok, lalu apa tindakan yang perlu kita ambil?"
"Operasi, Bu Rania," jawab dokter itu tegas. Mendengar kata operasi, panik seketika menghampiriku.
Aku berusaha menenangkan diri sambil berpikir positif untuk kesembuhan anakku tercinta ini. Bagaimanapun, Naura adalah anak yang kuat dan aku yakin dia akan mampu melewati cobaan ini.
Aku menatap wajah cantik putriku yang penuh harapan dan kesakitan. Sementara ia membalas tatapan dengan mata berkaca-kaca.
"Lakukan yang terbaik, dokter," pinta ku dengan perasaan yang mencampuradukkan antara cemas dan optimis.
"Baik Ibu Rania, besok pagi operasi akan dilaksanakan.Nak Rania, jangan makan dari jam satu malam ya, Ibu?" Dokter itu mengingatkan kami dengan lembut.
"Siap, dok," sahutku mantap, mencoba memberikan semangat bagi putriku.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Biar suster yang memindahkan nak Naura ke Bangsal," kata dokter itu sebelum pergi.
"Terima kasih banyak, Dok," ucapku penuh terima kasih, berharap segala sesuatu berjalan dengan lancar.
Naura meringis kesakitan lagi. Aku bisa melihat keringat dingin yang mengucur di wajahnya dan aku yakin bahwa rasa sakit itu pasti luar biasa.
Dokter segera menyuntik obat untuk mengurangi rasa sakitnya. Meskipun hanya beberapa jam, tapi setidaknya itu bisa membuat Naura merasa lebih baik dan bisa beristirahat sejenak sebelum operasi.
Sambil mengikuti suster yang membawa Naura ke ruang VVIP, aku mencoba menelpon mas Adnan. Kali ini, untungnya, ia mengangkatnya. Aku bersyukur, karena aku benar-benar membutuhkan dukungan dari suamiku di saat-saat genting seperti ini.
Aku ["Mas Adnan, Rania lagi di rumah sakit Cahaya Bunda. Tolong segera kesini setelah meeting!" ]ucapku dengan nada mendesak.
Mas Adnan ["Aduh, Rania! Bisa gak sih jangan ganggu dulu? Aku lagi meeting nih,"] balas Mas Adnan, terdengar kesal.
Aku [ "Meeting terus dari tadi. Ini penting, Mas!"]
Mas Adnan [ "Emangnya kenapa? Apa urgensi-nya?" ]tanyanya, tidak mengerti.
Aku ["Aku gak mau berdebat, Mas. Tolong, ini serius. Aku mohon, segera ke sini ya?"] pintaku dengan nada mengharap.
Mas Adnan [ "Gak janji," ] jawabnya singkat, kemudian dengan tegas menutup ponselnya.
Frustrasi, aku mencoba menelefonnya lagi, namun kali ini tidak ada jawaban. Sungguh, dia sangat menyebalkan di saat-saat seperti ini.
Kupegang erat ponselku, lalu kemasukkan kembali ke dalam tas. Aku berniat menelepon lagi setelah tiba di bangsal. Begitu sampai di sana, suster langsung keluar menyambutku.
Aku segera mengabari Sonya dan Sumi bahwa aku berada di rumah sakit.
Mereka langsung panik dan merasa sedih, sangat berbeda dengan respon Mas Adnan. Kenapa dia malah tidak menunjukkan kepedulian sama sekali? Apakah ini hanya masalah ego atau sesuatu yang lebih dalam?
Aku menghela nafas dan memutuskan untuk menelfon ibuku, adekku, serta ibu dan bapak mertuaku. Meski kutahu kedua mertuaku tinggal di Bali, tak mungkin datang ke sini, tetapi setidaknya aku sudah memberi tahu mereka tentang keadaan Naura.
Dan benar saja, mereka memang tak bisa ke sini, tapi aku maklum. Sementara itu, ibuku dan adek akan segera menyusul. Aku merasakan kepala mulai berdenyut karena banyaknya pekerjaan yang menumpuk.
"Bagaimana aku harus menjaga Naura di rumah sakit, sementara pekerjaanku menanti?" gumamku dalam hati.
Namun, aku tak boleh lemah. Semua ini pasti bisa kulewati dengan cinta dan kekuatan hati. Naura, ibu akan selalu ada di sisimu.
"Mah..." lirih Naura. "Iya nak," jawabku sambil menoleh ke arah Naura.
"Papah mana, Mah? Naura mau sama Papah."
Pikiran dan rasa cemas mulai menyergapku. Naura memang sangat dekat dengan ayahnya. Aku berusaha untuk tenang dan menjawab,
"Papah masih kerja, nanti Mamah telepon ya."
"Sekarang, Mah," tuntut Naura dengan wajah tidak sabaran.
Kuputuskan untuk menelfon suamiku, Mas Adnan, lagi. Namun, tidak ada jawaban dari sana. Aku mencoba kembali menekan nomornya, kali ini akhirnya diangkat.
Mas Adnan [[ "Hallo?" ]suara yang datang dari seberang membuat hatiku berdegup kencang, seolah dunia berhenti sejenak.
Aku sangat kaget bukan main, yang mengangkat teleponnya adalah suara perempuan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
"Siapa ini?" desahku dalam hati, merasa ada yang tidak beres. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan dalam benakku.
Apakah Mas Adnan sedang bersama perempuan lain? Mengapa telepon suamiku diangkat oleh orang yang tak kukenal? Apakah seharusnya aku khawatir? Tapi, bagaimana jika ini hanyalah kesalahpahaman semata? Aku memandangi Naura yang menatapku dengan wajah polosnya, dan kembali pada suara perempuan di seberang telepon.
Saat itu, aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk kami semua. Aku memutuskan untuk mengambil langkah berani untuk mencari tahu lebih dalam, demi kebahagiaan keluarga kecil kami.
****