Mara, gadis yang terbaring koma berbulan-bulan, terpaksa harus menerima tawaran sesuatu yang disebut "sistem", yang di mana dia harus pergi ke dunia novel untuk meningkatkan nilai baik antagonis sebagai ganti tubuh aslinya tersembuhkan perlahan. Hanya saja, sang target merupakan orang sangat sulit didekati, paranoid, dan dibenci banyak orang.
______
Suatu hari, Mara menyelesaikan tugasnya dan akan pergi. Tapi tiba-tiba dia ditangkap pria menakutkan yang telah dia jinakkan.
"Jangan berpikir kamu bisa memanjat jurang gelap yang telanjur kamu lompati sesuka hati!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan
Matahari pagi yang lebih terik dari biasanya, menyoroti hampir seluruh siswa yang tengah melakukan upacara bendera di lapangan sekolah hari ini. Barisan kelas-perkelas berjajar rapi memenuhi seluruh lapangan karena jumlah yang mencapai ratusan siswa.
Mara, yang berada di barisan belakang, masih saja terkena sorot matahari. Ia menahan kepalanya yang pening dengan pandangan buram tidak normal.
Sejak malam ia sudah merasa sakit kepala, tapi karena antusiasnya untuk sekolah setelah mengambil cuti karena cedera, ia tak peduli rasa sakit sepele itu dan langsung pergi. Tapi ia tak menyangka akan merasakan seluruh badan pegal dan kepala sakit tidak nyaman hanya dengan belasan menit berdiri di upacara ini.
Di tengah lapangan, upacara sampai pada pembacaan doa. Di tengah kesibukan dan perhatian pada upacara di depan, Mara, gadis itu tiba-tiba terjatuh pingsan mengagetkan beberapa orang yang berada di dekatnya.
Orang pingsan bukanlah hal aneh saat pelaksanaan upacara, jadi ada beberapa murid yang bertugas mengawasi, termasuk Ezel yang berada tidak jauh di sana.
Mara yang pucat berkeringat dikerumuni dan dibantu. Saat Ezel mendekat, ia terkejut bahwa itu Mara dan rasa cemas langsung membanjiri hatinya. Ia berkata keras dan menarik lebih banyak perhatian. "Biar aku saja yang membawanya!"
Tanpa ragu, Ezel langsung menggendong gadis pingsan itu di pelukannya dan berjalan lebih tergesa di tengah kerumunan memberi jalan lewat.
Tapi saat akan tiba di pintu keluar lapangan, tiba-tiba sosok yang lebih tinggi darinya menghalangi dari depan.
"Berikan padaku." Suara dingin itu menolak pembantahan.
".. apa?" Ezel yang sedang terdesak menatap orang itu bingung.
"Berikan, dia." Matanya mengarah pada wajah pucat gadis itu.
Apa-apaan orang aneh ini? Berikan Mara padanya? Ezel mengerutkan kening tidak senang. Ia tidak sedang ingin bermain-main dan harus segera membawa Mara ke ruang perawatan. "Minggir. Jangan halangi jalanku."
Ekspresi lelaki itu menjadi lebih dingin melihatnya segera berbelok untuk melewatinya. Ia segera mencengkeram kerah belakang membuat Ezel mundur.
"Sial, apa yang kau lakukan?!" Ezel berkata marah karena Mara di pelukannya hampir jatuh akibat tarikan itu.
Saat ia lengah, gadis itu langsung di ambil dengan mudahnya membuat Ezel terperangah. Sampai punggung orang itu pergi menjauh membawa Mara, Ezel menggertakkan gigi karena marah dan cemburu.
Saat ia akan menyusul, seseorang memanggil karena ada orang lain yang pingsan.
Ezel tak bisa menahan rasa kesalnya. Kenapa orang aneh itu tiba-tiba merebut Mara darinya?!
Di sisi lain, seorang dokter khusus ruang perawatan, melihat anak lelaki membawa gadis yang pingsan. Ia segera berdiri dan mempersilahkan untuk menidurkannya di brangkar.
"Sepertinya gadis ini mengalami demam sejak beberapa saat sebelumnya. Badannya cukup panas, dan dia juga mengalami dehidrasi," jelas dokter wanita muda itu setelah memeriksa.
Dia melihat anak lelaki itu menatap orang yang tengah berbaring dengan wajah tanpa ekspresi, tapi pandangannya tidak lepas. Apakah gadis ini pacarnya?
Tadinya ia akan mengusirnya dan membiarkan ia sendiri merawatnya, tapi tiba-tiba ada keributan di luar dan ternyata ada dua orang lain yang pingsan.
"Bisakah kamu menjaganya sebentar? Rawat dia, aku akan menangani siswa pingsan lainnya."
Berpikir anak ini pacarnya, mungkin lebih baik membiarkannya menjaga sendiri. Di sisi lain, ia merasa tidak nyaman dengan rasa dingin yang dipancarkan remaja itu.
"Ajarkan aku."
"Maaf?"
"Merawatnya."
Pikiran tidak nyaman itu langsung hilang karena merasa lucu. Ternyata dia hanya dingin di luar, tapi sepertinya hatinya sangat lembut kepada pacarnya.
"Baiklah. Kamu hanya perlu mengompresnya dengan air dingin di dahi atau leher untuk menurunkan suhu panas."
Rahan mendengarkan dengan serius dan mengangguk kecil.
"Jangan lupa beri pacarmu minum setelah sepenuhnya sadar."
"...Pacar?" gumam Rahan tanpa sadar. Tapi dokter wanita itu tidak mendengar dan langsung pergi keluar ruang yang dibatasi gorden itu.
Ruang itu menjadi sunyi. Rahan menatap wajah yang biasanya tersenyum cerah padanya, kini pucat dan berkeringat terlihat tidak nyaman sampai alisnya berkerut. Tanpa sadar ia mengulurkan tangan pada dahinya yang berkerut itu. Ia terkejut dengan suhu kulit panasnya. Tapi tiba-tiba kerutannya mengendur dan wajah pucatnya terlihat lebih nyaman.
Saat ia sadar tangannya dinginnya membuat gadis itu nyaman, ia perlahan meletakkan dengan lembut hampir menutupi setengah wajah Mara. Dan pipinya yang lembut bergesekan dengan jarinya. Rahan menekannya beberapa kali dan merasa itu menyenangkan.
Orang pingsan bukanlah tidur, dan Mara masih bisa mendengar samar ucapan dokter wanita itu meskipun dia seolah berada di alam bawah sadar, tentu saja ia merasakan perasaan dingin nyaman di dahinya dan sesuatu yang menusuk-nusuk pipinya.
Entah berapa lama, Mara akhirnya bisa membuka mata dengan di hadapkan gorden tinggi berwarna hijau. Dahinya terasa berat seolah ditindih sesuatu. Saat ia menyentuh, ternyata itu adalah sebuah telapak tangan lebar. Mara langsung dikejutkan dengan dua pasang mata yang entah sejak kapan menatapnya cukup dalam.
"Bangun?" Suara tanya itu sangat rendah nyaris berbisik.
Mara memutar ingatannya mencari alasan kenapa ia berada di sini. Ia langsung sadar ternyata dirinya pingsan saat upacara. Tapi kenapa tiba-tiba ada Rahan di sampingnya? Apakah dia yang membawanya?
Berpikir seperti itu, merasakan tangannya yang dingin berapa di dahinya entah berapa lama, dan memikirkan bagaimana Rahan menatapnya sepanjang ia pingsan, Mara merasa wajahnya memanas.
"Mengapa kamu di sini?" tanya Mara menghilangkan rasa canggungnya.
"Tidak boleh?" Mengingat seharusnya orang yang disukai gadis ini berada di posisinya sekarang, tatapan Rahan suram seketika.
Mara sudah tahu karakternya yang tidak bisa dimengerti dan rumit, dan dia langsung menggeleng untuk menyangkal. "Bukan seperti itu ... aku senang kamu berada di sini. Terima kasih."
Ekspresinya menjadi lebih baik. Mara menghela nafas lega.
"Minumlah." Rahan menyodorkan segelas air putih dengan hati-hati.
Mara merasa aneh dengan perhatiannya tiba-tiba. Ia minum dengan pikiran melayang. Tapi tiba-tiba ia tersedak dan hampir menjatuhkan gelas di tangannya. Untung saja Rahan segera mencegahnya. Sebagai gantinya, sepertiga air tumpah mengenai ujung celana Rahan dan sepatunya.
Mara terbatuk dengan wajah memerah panik. Ia merasa situasi ini deja vu. Tapi ekspresi Rahan tidak berubah, malah memperhatikannya sampai batuknya mereda.
"Maafkan aku." Mara melihat sepatunya basah dengan rasa bersalah. Ia langsung teringat dengan sepatu yang ia belikan untuk Rahan malam itu dan senyumnya mengembang. "Apa kamu sudah mencoba sepatu itu? Mengapa kamu tidak memakainya? Apakah tidak cocok?
"Sepatu apa?" Rahan bertanya balik dan awalnya tidak mengerti, tapi ia langsung teringat barang yang ia tendang dan entah sekarang berada di mana. Ekspresinya menggelap.
Suaranya keluar dengan rahang mengeras. "Kamu meninggalkan dengan ceroboh. Jangan mengambilnya kembali, aku sudah membuangnya."
Mara menatapnya tidak percaya. "Kenapa kamu membuangnya? Aku sengaja meninggalkannya karena sepatu itu memang aku beli untukmu."
"... apa?" Rahan tertegun.
Sepatu itu ... dibelikan untuknya? Pikirannya riba-tiba buntu.
"Sangat disayangkan jika kamu sudah membuangnya." Mara berkata sedih.
Pikiran negatif muncul lagi menyerang otaknya. Rahan berkata tidak senang. "Apa kamu mengasihaniku? Apa kamu menganggapku sangat miskin sehingga tak mampu membeli satu pasang sepatu pun?"
Mara langsung tahu bahwa harga dirinya terluka. Ia memegang satu jari telunjuknya dengan lembut. "Hei, jangan marah. Aku tidak pernah menganggap kamu seperti itu. Tidak bisakah kamu berpikir positif? Aku membelinya karena aku merasa sepatu itu sangat cocok denganmu. Tidak ada maksud lain."
Melihatnya hanya diam, Mara lega lagi. Ia menghela nafas dan cemberut. "Jika kamu sudah membuangnya, lupakan saja. Aku sudah memberikannya, jadi terserah kamu mau diapakan."
Jauh di dalam hatinya, tanpa sadar Rahan merasa lega karena tidak benar-benar membuangnya. Lalu, ke mana terakhir kali ia menendang barang itu?
Ia harus segera mencarinya saat pulang ke rumah nanti.
____
Lagi diserang tumpukan tugas, kalo udah senggang, aku update tiap hari, bahkan bisa sampai dua episode kok~ Mohon beri dukungannya♡
ganteng, gapura kabupaten, tiang listrik, bisa masak wkwkwk