Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1: Kehilangan dan Pertemuan
Langit sore di Jakarta memancarkan semburat oranye yang mulai memudar di atas gedung-gedung Universitas Merdeka Indonesia. Ruri berjalan lambat di sepanjang trotoar, kepalanya tertunduk. Di tangannya, tergenggam surat pemecatan beasiswanya yang kini tak lagi berarti. Surat itu kusut, hasil dari berkali-kali diremas dan dibaca ulang. Namun, isinya tak berubah. Beasiswanya dicabut, hak tinggal di asrama diambil, dan hidupnya kini bergantung pada nasib yang belum jelas arahnya.
Sebuah rumor yang tak ada kaitannya dengan dirinya telah menghancurkan segalanya. Foto lama dari masa kecil, saat dia dan Takeru berfoto di depan bangunan tua bekas penjajahan Jepang, tiba-tiba viral setelah Takeru mempostingnya beberapa tahun lalu. Dalam caption, Takeru menulis bahwa dia bangga menjadi keturunan Jepang dan mengagumi sejarah kakek-neneknya. Tidak ada yang memperhatikan bahwa Ruri hanya anak kecil yang kebetulan ada di foto itu—namun, namanya terseret.
“Mereka bahkan tak peduli aku tak terlibat,” gumam Ruri pelan, suaranya gemetar karena marah. "Aku... tak tahu harus bagaimana lagi."
Dia berhenti di depan gerbang kampus, menatap kosong ke langit yang mulai gelap. Takeru. Nama itu kembali membanjiri pikirannya. Sejak Takeru pergi ke Jepang demi mengejar mimpinya menjadi aktor, komunikasi mereka berangsur-angsur hilang. Nomor WhatsApp Takeru tetap ada di ponselnya, aktif, tapi pesan-pesannya hanya seperti teriakan di ruang hampa. Tidak ada balasan.
"Apakah aku harus coba hubungi dia lagi?" Ruri bertanya pada dirinya sendiri, tanpa harapan besar. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan membuka kontak Takeru. Dengan ragu, dia menekan ikon telepon. Nada sambung terdengar, memberi secuil harapan.
Namun, seperti sebelumnya, tidak ada jawaban. Hanya nada sambung yang seolah mempermainkan perasaannya. "Takeru, kau di mana sekarang?" Ruri bergumam sambil menutup telepon dengan frustrasi.
Kembali ke asrama, Ruri mendapati barang-barangnya sudah dipindahkan ke luar, diletakkan rapi di sudut halaman. Dengan dipecatnya dia dari beasiswa, hak tinggalnya di asrama pun dicabut. Saat berdiri di depan barang-barangnya, Ruri merasa dunia runtuh di sekelilingnya.
Namun, ketika semua tampak gelap, ada seberkas cahaya. Seorang nenek yang kebetulan mendengar ceritanya di kampus menawarkan tempat tinggal sementara. Rumah nenek itu memang sudah tua dan reot, tapi gratis—hanya ada satu syarat. Nenek itu akan pergi keluar negeri selama beberapa bulan dan membutuhkan seseorang untuk menjaga rumah selama dia pergi.
"Saya tidak punya pilihan lain, Nek. Terima kasih banyak." Ruri tersenyum kecil, mencoba menutupi kecemasannya. "Saya janji akan menjaga rumah dengan baik."
"Tak perlu khawatir, nak," jawab nenek itu dengan suara lembut. "Rumahku memang tua, tapi nyaman kok. Kau akan baik-baik saja."
Setelah perpisahan dengan nenek itu, Ruri akhirnya tiba di rumah tua yang dimaksud. Meski bangunannya terlihat rapuh, Ruri tetap bersyukur. Setidaknya ada tempat untuk berlindung. Rumahnya terletak agak jauh dari keramaian, dikelilingi pepohonan dan semak-semak yang sedikit liar. Suasana hening menguasai udara sore itu.
Ruri menghela napas panjang, lalu mulai menata barang-barangnya di dalam rumah. "Ini... cukup baik," gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hati.
Namun, ketika malam tiba, suasana rumah yang sunyi berubah menjadi sedikit aneh. Suara angin berdesir pelan, membuat dedaunan di luar gemerisik samar. Ruri yang sudah berbaring di tempat tidurnya, merasa sedikit tidak nyaman. Dia mendengar suara langkah kaki pelan dari arah ruang tamu.
“Ah, mungkin hanya angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri. Namun, langkah kaki itu terdengar lagi, lebih jelas.
Dengan ragu, Ruri bangun dan berjalan ke ruang tamu. Apa yang dia lihat membuatnya tertegun. Seekor kucing hitam, duduk di tengah ruangan, matanya yang kuning menyala seolah menembus gelap. Ruri terdiam beberapa detik, menatap kucing itu.
"Hei, kucing?" Ruri berjongkok, mencoba untuk melihat lebih dekat. "Dari mana kamu masuk?"
Kucing itu tidak bergeming, hanya menatap Ruri dengan tatapan tajam yang tidak biasa. Ruri mengulurkan tangannya, mencoba mengusap kepala kucing itu, namun kucing hitam itu melompat mundur dengan anggun, membuat Ruri tersentak mundur.
"Apa kau lapar?" tanya Ruri, sedikit tersenyum. Dia berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang mungkin bisa dimakan oleh kucing itu. Namun, ketika dia kembali dengan semangkuk kecil susu, kucing hitam itu sudah tidak ada di sana.
“Kemana dia pergi?” Ruri menoleh ke sekeliling, merasa sedikit bingung. Jendela dan pintu rumah tertutup rapat, tidak ada celah bagi kucing itu untuk kabur. Namun, kucing hitam itu seolah lenyap begitu saja.
Dengan perasaan campur aduk antara heran dan lelah, Ruri memutuskan untuk kembali ke kamar. Malam itu, dia tertidur dengan pikiran berkecamuk tentang hari-harinya yang semakin sulit. Namun, entah kenapa, bayangan kucing hitam itu terus menghantui pikirannya.
___
Di sudut lain, kucing hitam itu mengintip dari atap, matanya berkilat dalam gelap. Tubuh mungilnya lantas perlahan menghilang berubah menjadi kabut asap berbaur sempurna dalam remangnya cahaya bulan.
Angin malam berhembus lembut, membawa serta suara dedaunan yang berdesir, seolah mengisyaratkan bahwa kisah yang sebenarnya baru saja dimulai.
Ruri belum tahu, tapi kehidupan yang dia pikir hancur justru mungkin membawa dirinya ke arah yang berbeda—arah yang tak pernah dia duga sebelumnya.