Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjelasan Castilo
Mendengar pertanyaan dari anaknya, Castilo sempat tercenung sejenak. Matanya menatap lekat wajah anaknya yang lebih dominan mirip Ibunya. Castilo hanya kebagian bola mata yang condong ke warna biru, hidung sama postur tubuh Erik.
Tak lama setelah tercenung, senyum laki-laki gagah itu terkembang sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana yang dia kenakan.
"Mereka berdua bukan anak Ayah," jawab Castilo begitu santai, tapi sangat mengejutkan bagi Erik.
"Bukan anak Ayah? Maksudnya bagaimana?" Erik butuh penjelasan yang lebih.
"Apa selama kamu melihat berita tentang Ayah, kamu pernah mendengar Ayah bercerita atau mengatakan Dave dan Morgan adalah anak Ayah?" Castilo melempar pertanyaan balik, membuat Erik seketika berpikir.
"Kalau kamu perhatikan baik-baik, Ayah tidak pernah sekalipun menyebut nama mereka sebagai anak ayah."
"Bagaimana mungkin? Kelihatannya, mereka sering berkeliaran di perusahaan? Mereka juga selalu merasa bangga mengatakan kalau mereka adalah putra ayah," ucap Erik tak percaya begitu saja.
Castilo masih tersenyum. Dia mengerti, hal ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjelaskan secara terperinci.
"Ayah hanya membiayai hidup mereka, sebagai obat rindu karena ayah tidak bisa membiayai hidup kamu selama kita pisah. Tapi, ayah tidak memperlakukan mereka dengan spesial. Kamu jangan terlalu percaya, dengan semua yang dikatakan mereka di depan kamera. Semua tidak seperti yang kamu lihat, Nak."
Erik mengangguk, mencoba mengerti, meski dalam benaknya masih kebingungan.
"Kamu penasaran juga dengan dua wanita yang mengaku mantan istri saya?" terka Castilo dan anggukan yang ditunjukan Erik membenarkannya.
Castilo menghela nafas panjang dan menatap ke arah lain.
"Ayah memang pernah menikah dengan dua wanita itu. Tapi pernikahan kita tidak berjalan mulus karena Ayah memang tidak pernah menginginkannya."
"Kalau ayah tidak menginginkannya, kenapa bisa menghasilkan dua anak?" Erik semakin bingung.
"Kan Ayah sudah bilang, kalau mereka bukan anak ayah. Justru karena kehadiran anak-anak itulah, semakin meyakinkan Ayah pernikahan itu harus segera diakhiri. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa hamil sedangkan ayah sama sekali tidak pernah menyentuh mereka selama pernikahan. Kedua wanita itu melakukan segala cara untuk meraih simpati Nenek kamu."
"Nenek?"
"Yah, orang tua Ayah," jawab Castilo. "Mereka berusaha dengan keras untuk masuk ke dalam keluarga Castilo."
Erik terpaku sejenak. Nampak sekali kalau dia sedang berpikir.
"Apa nenek tidak menyukai ibu?" tebak Erik.
Castilo tersenyum tipis. "Dulu, nenek menentang hubungan Ayah sama Ibu. Namun, karena Ayah sangat tergila-gila sama Ibu kamu, makanya Ayah nekat menikahi ibu kamu di usia Ayah baru dua puluh tahun dan ibumu tujuh belas tahun."
"Astaga!"
Castilo kembali tersenyum lebih lebar. "Dulu, cuma Daddy, Kakekmu, yang merestui hubungan Ayah dan Ibumu. Mommy melarang keras. Bahkan sampai kamu lahir pun Mommy masih tidak memberi restu. Hingga pada akhirnya Mommy sakit parah dan memaksa Ayah untuk pulang."
"Lalu, Ayah pulang untuk menikah?" terka Erik lagi dan Castilo langsung mengangguk.
"Ayah dipaksa. Tapi percayalah. Selama menikah, Ayah sama sekali tidak menyentuh mereka. Karena Ayah tahu, bagaimana perjuangan Ayah untuk mendapatkan Ibu kamu."
Erik pun terharu mendengarnya.
"Terus, bagaimana ceritanya Ayah bisa menikah dua kali? Apa dua wanita itu menggunakan cara yang sama untuk mendapat restu Nenek?"
Castilo mengangguk. Tebakan Erik sama sekali tidak meleset.
"Ayah sendiri juga kaget, kenapa Ibu bisa percaya sama istri Ayah yang bernama Victoria. Padahal cara yang dilakukan Victoria hampir sama dengan yang dilakukan Natalia. Tapi Mommy masih saja termakan omongannya."
Erik tersenyum lebar. "Lalu, apa sampai sekarang, Nenek masih membenci Ibu?"
Castilo menggeleng dengan hati yang menghangat. Dia merasa senang, karena dengan obrolan ringan seperti ini, menjadikan dirinya bisa lebih dekat dengan sang anak.
"Tidak. Malah dia ingin bertemu dengan Ibumu dan minta maaf. Mungkin setelah Ayah ngasih kabar tentang kalian, Nenek kamu akan langsung terbang ke sini."
Erik mengangguk lega. Meski begitu, masih ada yang mengganjal dalam benak pemuda itu, sembari menatap kartu hitam yang masih dia pegang.
"Apa ibu sudah tahu semuanya?" Erik kembali bertanya sembari menatap Ayahnya.
Castilo kembali mengangguk.
"Yah, tadi Ayah sudah memberi tahu semuanya. Biar bagaimanapun, Ayah harus memberi penjelasan. Seandainya rumah yang dulu tidak ada yang membakar, mungkin kamu dan Ibumu tidak akan pernah mengalami nasib buruk," ucap Castilo penuh sesal.
Erik tersenyum tipis. Dia hanya bisa membayangkan peristiwa kebakaran itu. "Apa kebakaran yang terjadi dulu, benar-benar direncanakan, Yah?"
Sebelum menjawab, Castilo melangkah dan berpindah duduk di tepi sofa yang ada di kamar tersebut. Erik pun terpaksa mengkutinya biar dia bisa mendengar jawaban sang Ayah dengan jelas.
"Kalau tidak direncanakan, tidak mungkin ada kejanggalan. Orang yang disuruh membakar rumah kalian, kurang teliti. Kemungkinan besar, mayat yang ditemukan dalam kebakaran itu adalah keluarga tuna wisma yang sedang mencuri. Mereka terkunci dari luar pada saat kebakaran itu terjadi."
Erik terdiam dengan isi kepala mencerna ucapan sang Ayah. "Jadi, Ayah tahu siapa yang melakukannya?"
"Mudah bagi Ayah untuk mencari dalangnya, Nak."
"Kenapa Ayah tidak meringkusnya?" protes Erik sampai membuat Castilo kembali tersenyum.
"Ayah sengaja tidak mengungkapnya karena Ayah harus menemukan kalian terlebih dahulu. Ayah harus memastikan kalau kalian masih hidup dan dalam keadaan aman. Karena akan sangat bahaya jika para musuh Ayah tahu kalau kalian masih hidup."
"Musuh Ayah? Ayah punya musuh?" Erik terkejut mendengarnya.
"Banyak. Mereka kebanyakan pura-pura baik di depan Ayah tapi saat di belakang Ayah, mereka akan melakukan apapun untuk menghancurkan Ayah. Maka itu, Ayah diam-diam mencari kalian karena mereka tahu kalian itu kelemahan Ayah."
Erik mengangguk paham. "Tapi apa mereka juga tahu kalau kita masih hidup?"
"Tidak," jawab Castilo. "Mereka sangat yakin kalau kalian sudah menjadi korban kebakaran itu. Apa lagi, hampir dua puluh tahun, Ayah tidak menemukan kalian, membuat mereka semakin yakin kalau kalian sudah tidak ada."
Erik tersenyum mendengarnya.
"Maka itu, mulai sekarang, kamu harus hati-hati. Setelah ini, akan banyak orang bermuka dua dihadapanmu. Kamu harus pintar-pintar memilih orang yang kamu percaya. Apa lagi jika kamu nanti menduduki posisi Ayah. Kamu harus siap segalanya."
"Menduduki posisi Ayah?" Erik tak mengerti.
"Iya. Nanti pada saatnya, kamu akan menjadi presdir, menggantikan posisi Ayah."
"Apa aku bisa?" Erik terpaku. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Bisa nggak bisa, kamu harus siap, Nak. Sekarang tugas kamu hanya belajar. Tidak perlu memikirkan hal lain lagi karena itu urusan Ayah."
Erik bingung. Dia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Lalu sekarang, apa rencana Ayah selanjutnya?"
Castilo tersenyum, menatap lekat sang anak. "Yang pasti, besok Ayah akan mengenalkanmu kepada seluruh dunia."
"Hah!"