"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Awal mula
Hidup Ryan dulu tidak selalu penuh teror. Ia hanya remaja biasa, tenggelam dalam rutinitas sekolah. Nilai-nilainya tak buruk, tak juga cemerlang, cukup untuk membuatnya lulus tanpa masalah. Teman? Tak banyak. Hanya beberapa yang sesekali menghabiskan waktu dengannya di kelas, tanpa ikatan yang berarti.
Pagi itu, seperti biasa, alarm berdering keras pada pukul enam. Ryan membuka matanya perlahan, menatap langit-langit yang dipenuhi poster-poster band kesukaannya. Meja belajarnya berantakan dengan buku pelajaran bertumpuk bersama komik yang belum selesai dibaca.
"Ah... hari baru," gumamnya lemah, tanpa semangat. Tak ada yang istimewa dari hari ini.
Setelah mandi dan mengenakan seragam, Ryan turun ke dapur. Di meja makan, ibunya sudah duduk dengan ponsel di tangannya, sibuk dengan sesuatu yang tampak lebih penting daripada percakapan pagi.
"Bekalmu ada di atas meja," ucap ibunya tanpa menoleh.
"Iya, Bu," sahut Ryan sambil meraih kotak bekal dan memasukkannya ke dalam tas.
Di perjalanan menuju sekolah, earphone sudah menempel di telinganya. Musik, ya... musik selalu menjadi tempat pelariannya. Di tengah keramaian kota, lirik dan melodi menjadi perisai dari realitas yang semakin menyesakkan.
Sampai di sekolah, suasana ramai. Siswa-siswa berkumpul di depan gerbang, bercanda dan tertawa. Ryan, seperti biasa, menghindari keramaian itu. Dia memilih lorong belakang, lebih sepi, menuju kelasnya di lantai dua.
Di dalam kelas, Ryan memilih duduk di bangku dekat jendela. Pikirannya sering melayang jauh ke luar, melihat langit dan membayangkan dunia lain yang lebih tenang. Pelajaran demi pelajaran berlalu, tapi fokusnya tak pernah utuh.
Belakangan, ada sesuatu yang berubah. Teman-temannya mulai menjauh. Tatapan mereka dingin, tak lagi menyapa. Mereka berbisik-bisik di belakangnya, tertawa kecil, dan Ryan tahu itu tentang dia.
Di kantin suatu siang, saat ia makan sendirian, bisikan itu makin jelas.
"Itu Ryan, kan? Katanya aneh banget," seorang siswa berbisik, cukup keras untuk didengar.
"Iya, dia selalu menyendiri. Seram," jawab temannya sambil melirik ke arah Ryan.
Ryan menunduk, berpura-pura tidak mendengar, tapi hatinya terasa ditusuk. Di antara semua ini, ada satu sosok yang makin membuat hidupnya tak nyaman, Rei.
Anak perwira polisi, Rei selalu mendapat perhatian. Tubuhnya tinggi, atletis, dan selalu membawa aura dominan. Ia dikenal sebagai anak yang tak suka diganggu, dan lebih buruk lagi, suka mengganggu.
Suatu hari, saat Ryan berjalan di koridor, suara itu datang.
"Hei, Ryan!" suara keras Rei memanggilnya.
Ryan berhenti, ragu-ragu. Dengan enggan, dia menoleh.
"Ada apa?" tanyanya pelan, mencoba terlihat tenang meski hatinya berdegup kencang.
Rei mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kau selalu sendirian. Nggak bosan?"
Ryan mengangkat bahu. "Nggak juga."
Ivan, teman dekat Rei, muncul di samping. "Mungkin dia nggak punya teman," katanya, tawa kecil keluar dari mulutnya.
Ryan menunduk. "Aku baik-baik saja," jawabnya canggung, berusaha tersenyum.
Rei menatapnya tajam, tapi kemudian tertawa. "Kalau butuh teman, bilang saja. Kami akan senang bermain denganmu."
Ryan tak tahu apa yang harus dikatakan. Dia hanya mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan mereka. Sejak saat itu, interaksi mereka mulai sering, tapi bukan dalam bentuk yang diharapkan Ryan.
Sore itu, setelah kelas usai, Ryan sedang merapikan buku-bukunya ketika Ivan muncul tiba-tiba, berdiri di depannya dengan senyum licik.
"Mau ke mana, Ryan?" tanya Ivan, suaranya meremehkan.
"Pulang," jawab Ryan singkat, mencoba menghindar.
"Tunggu dulu, Rei mau bicara," Ivan menunjuk ke arah belakang. Rei berdiri di sana, bersandar di pintu kelas, tangan disilangkan di dada.
Ryan menelan ludah, merasa tak enak. "Apa?"
Rei berjalan mendekat, senyumnya tak menyenangkan. "Kau buru-buru? Ada yang penting?"
Ryan mencoba tetap tenang. "Nggak, aku cuma mau pulang."
"Tapi kami ingin ngobrol dulu," kata Rei, nadanya penuh ancaman.
Sebelum Ryan bisa bereaksi, Ivan sudah meraih tasnya, menarik dengan kasar. Tas itu terjatuh ke lantai, isinya berhamburan. Buku, pensil, dan kotak bekal yang belum sempat dibuka terlempar, makanan tumpah berceceran di lantai.
"Hei! Apa-apaan ini?" Ryan mulai protes, tapi suaranya terhenti saat Rei menatapnya tajam.
"Kau harus lebih berhati-hati," kata Rei, nada suaranya dingin. "Bekalmu jatuh, sayang sekali."
Ryan marah, tapi juga malu. "Kembalikan tasku," pintanya dengan suara yang bergetar.
Ivan tertawa keras. "Lihat, dia marah!"
Rei mendekat lebih dekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ryan. "Mau melakukan sesuatu?" tantangnya, suaranya seperti ancaman yang tak perlu disembunyikan.
Ryan mundur satu langkah. "Aku nggak mau masalah," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rei tersenyum sinis, lalu mengulurkan tas kosong ke Ryan. "Bagus. Ingat itu."
Dengan tawa kecil, mereka meninggalkan Ryan di sana, di tengah kelas yang kosong. Ryan menatap lantai, melihat makanannya berserakan, isi tasnya tergeletak tanpa ada yang peduli.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dengan tangan gemetar, dia berjongkok, mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan.
"Kenapa harus aku?" bisiknya pelan, suara itu hampir tenggelam dalam keheningan kelas.
Dia tahu, ini baru permulaan. Perundungan ini belum akan berakhir. Tapi bagaimana cara menghentikannya? Ryan tidak tahu.
Malam mulai datang saat Ryan akhirnya meninggalkan sekolah. Langit gelap, awan pekat menggantung rendah. Jalanan sudah mulai lengang. Ryan berjalan cepat, kepalanya tertunduk, seolah ingin menghindar dari semua orang. Setiap langkahnya terasa berat, seperti ada yang terus menekan punggungnya.
Hatinya masih terasa sakit. Apa yang baru saja terjadi masih berputar di kepalanya. Dia ingin berteriak, marah, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Semuanya terasa sia-sia.
"Kenapa aku?" gumamnya lagi, suara itu tenggelam dalam desahan angin malam.
Tak lama kemudian, dia sampai di rumah. Ryan masuk tanpa berkata apa-apa. Ibunya masih duduk di ruang tamu, wajahnya tenggelam di layar ponsel, sama seperti tadi pagi. Tak ada yang berubah.
"Kamu sudah pulang?" tanya ibunya tanpa menatapnya.
"Iya, Bu," jawab Ryan pendek. Dia langsung menuju kamarnya, menutup pintu dengan keras, mencoba mengurung diri dari semua hal yang membuatnya ingin lari.
Dia duduk di tempat tidur, melempar tasnya ke sudut ruangan. Isi tasnya sudah tak lengkap, bekalnya habis tercecer di sekolah. Dia menatap ke arah meja, buku-buku berserakan, poster band yang dulu memberi semangat kini hanya terasa hampa.
'Selalu begini,' pikirnya. 'Aku nggak bisa terus kayak gini.'
Ryan meraih ponselnya, melihat notifikasi yang tak begitu banyak. Pesan dari grup sekolah dan beberapa pemberitahuan lainnya yang tak penting. Tak ada yang menanyakan kabarnya, tak ada yang peduli.
Saat dia mulai membuka salah satu aplikasi, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Hei, pecundang," isi pesannya singkat. Nomor itu jelas tak dikenal, tapi Ryan tahu betul siapa yang mengirimnya.
Rei.
Ryan menggenggam ponselnya erat. Tangannya gemetar. Dia menatap pesan itu dengan campuran marah dan ketakutan.
"Pecundang," katanya berulang-ulang dalam hati. Kata itu terus menghantam pikirannya, seolah itu adalah satu-satunya hal yang pantas untuk dirinya.
Dia ingin membalas pesan itu, ingin melawan. Namun, apa gunanya? Rei selalu menang. Ryan tahu itu. Selalu.
Akhirnya, dia hanya melempar ponselnya ke kasur, rasa frustasi mendidih dalam dadanya. Setiap malam, ini terus terjadi. Setiap hari, hal yang sama berulang. Dihina, ditertawakan, dijatuhkan.
Sementara dunia di sekitarnya seakan tak peduli.
Hari berikutnya, Ryan tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Hatinya masih berat, tapi dia tidak ingin bertemu Rei lebih dulu. Dia memilih tempat duduk di sudut kelas, jauh dari pandangan orang lain.
Tapi pagi itu berbeda. Baru beberapa menit duduk, dia melihat sesuatu yang tak biasa. Di luar kelas, berdiri dua orang siswa dan siswi baru yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Penampilan mereka berbeda dari kebanyakan siswa lainnya, lebih... menyeramkan.
Salah satu dari mereka, seorang laki-laki dengan rambut abu-abu yang kontras dengan wajah nya yang pucat, Andree, menatap Ryan langsung. Tatapannya tajam, menusuk, dan membuat Ryan merasa tidak nyaman. Tapi Ryan tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Siapa mereka?
Ryan memalingkan wajah, mencoba tak memikirkan lebih jauh. Namun, perasaan aneh itu tidak hilang. Sepanjang hari, ia terus merasa seperti diawasi. Setiap kali dia menoleh, kedua siswa itu selalu ada di dekatnya, berdiri diam, seperti bayangan yang tak terhindarkan.
Ketika istirahat tiba, Ryan memutuskan untuk keluar sebentar, mencari udara segar di taman belakang sekolah. Tapi saat dia baru saja keluar dari koridor, suara familiar menghentikannya.
"Ryan," suara itu keras, penuh ejekan. Rei.
Ryan memejamkan mata sejenak, menahan napas. Ia tak ingin berhadapan dengan Rei sekarang, tidak hari ini. Namun, seperti yang selalu terjadi, ia tidak punya pilihan.
Dia berbalik. Rei berdiri di ujung lorong, bersama Ivan. Wajah mereka menyeringai, jelas sedang menikmati saat-saat ini.
"Ke mana, pecundang?" tanya Rei, mendekat dengan langkah santai.
Ryan menelan ludah, tubuhnya mulai tegang. "Aku cuma mau keluar sebentar."
"Keluar?" Ivan tertawa. "Kau pikir bisa kabur dari kami begitu saja?"
Ryan menunduk, tak tahu harus berkata apa. Tubuhnya terasa kaku, seolah semua energi terkuras hanya untuk berdiri.
Rei mendekat, terlalu dekat. Dia menepuk bahu Ryan dengan kasar. "Kami kan sudah bilang, kau bisa bilang kalau butuh teman. Kami selalu siap bermain."
Kata 'bermain' keluar dari mulut Rei seperti ancaman yang jelas. Ryan bisa merasakannya, dan perasaan takut itu makin mengikat.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja," ucap Ryan, suaranya hampir bergetar.
Tapi sebelum dia bisa melangkah pergi, Ivan meraih kerahnya. "Jangan buru-buru. Kami belum selesai."
Ryan tersentak, berusaha melepaskan diri, tapi Ivan terlalu kuat. Rei hanya menonton dengan tawa kecil di sudut bibirnya.
"Jangan buat masalah, Ryan," bisik Ivan di telinganya, dengan nada yang mengancam.
Ryan bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menyelimuti pikirannya. Namun, di saat yang sama, sesuatu di dalam dirinya mulai pecah.
Bukan ketakutan lagi. Kemarahan.
'Aku sudah cukup dengan semua ini,' pikirnya, kepalan tangan mulai gemetar.
Sebelum Ivan bisa mengatakan lebih banyak, Ryan menarik nafas dalam-dalam dan...
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂