Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Kata-kata Tajam
Bagi Qing Qing, cerita Cinderella itu seperti menggambarkan dirinya. Bedanya, ia tidak memiliki saudara tiri, dan yang kejam padanya ketika tidak ada Papa, adalah Mama.
Memang kekejaman Mama tidak berupa pukulan fisik atau menyuruhnya melakukan pekerjaan kasar. Tetapi kata-kata yang tajam dan sindiran-sindiran pedas, bukankah itu salah satu bentuk kekejaman juga?
Qing Qing yakin, Mama tidak sayang padanya, bahkan membencinya. Karena setiap kali Mama melontarkan kata-kata yang menyakitkan hati, itu ketika Papa tidak ada di Indonesia. Sialnya, Papa lebih sering tidak ada.
Qing Qing benar-benar tidak mengerti apa kesalahannya. Ia merasa telah patuh, tidak pernah keluyuran, teman dekat di luar sekolah pun tidak ada. Ia juga selalu juara kelas, tidak membuat orang tuanya malu.
Tetapi ketika ia sekali lagi menyodorkan rapornya yang dihiasi angka delapan dan sembilan, Mama pernah berkata, "Percuma pintar pelajaran kalau nanti gak bisa cari duit."
Kalimat yang membuat hati Qing Qing terpukul. Pintar pun ia tidak diapresiasi, apalagi kalau ia bodoh.
Ia sering memandang iri sahabatnya Anita dipeluk-peluk gemas dan diciumi bundanya. Seingatnya, Mama belum pernah memperlakukannya seperti itu. Waktu kecil pun tidak, apalagi setelah ia beranjak remaja.
Jika ia bermanja-manja pada Papa karena kangen, dan karena ia tahu Papa sangat menyayanginya, Mama juga memarahinya.
"Kamu tuh udah gede, udah gak pantas ngelendot-ngelendot peluk cium begitu. Jaga sikap lah sedikit." Ujar Miranti sambil mengernyitkan kening tidak suka.
"Kan cuma ke Papa, Ma. Kalau ke orang lain, enggak kok," sergah Qing Qing.
"Meskipun Papa, tapi kamu tuh udah dewasa, gak pantas tahu!"
"Haiyah... biarlah, aku suka kok dipeluk Qing Qing. Kalau dia gak peluk, aku yang peluk," Bernard menengahi setengah kesal, sambil melingkarkan tangan Qing Qing ke lengannya, membuat mata Miranti yang bulat semakin melotot.
Saking bingungnya, Qing Qing pernah bertanya pada Wiratama, "Pak Wira, kenapa Mama gak sayang sama Qing Qing? Apakah karena aku anak perempuan? Apakah karena Mama maunya anak laki-laki? Atau karena sebetulnya aku anak yang tidak diharapkan?"
"Kenapa Qing Qing ngomong begitu?" Alih-alih menjawab, Wiratama balik bertanya.
"Semua yang aku lakukan selalu salah di mata Mama. Mama juga gak pernah peluk aku, tidak satu kali pun." Suara Qing Qing bergetar, dan Wiratama melihatnya mengerjap- ngerjapkan mata, tanda menahan tangis agar tidak hadir.
"Jangan berpikir seperti itu. Cara tiap orang menunjukkan kasih sayang itu berbeda-beda. Ada yang dengan sentuhan fisik, ada yang menempa dengan keras, untuk membentuk mental. Papa adalah yang menunjukkan dengan sentuhan fisik. Dan Mama yang menempa dengan keras."
Wiratama mencoba menjelaskan dengan bijaksana, meskipun ia tahu, yang dikatakan Qing Qing benar adanya. Bahwa Miranti tidak menyayanginya.
Tidak perlu orang pintar untuk melihat, bahwa Miranti tidak suka dan cemburu pada Qing Qing. Bahkan menyesal mengadopsinya.
Apalagi ketika Qing Qing tumbuh sejelita ini. Tubuhnya yang semampai dengan tungkai panjang saja, telah membuat Miranti merasa terancam. Belum lagi kecantikan dan keranumannya.
Qing Qing menggeleng, "Menurut aku, Mama bukan menempa mental aku, dia memang tidak suka sama aku. Apakah dulu dia gak pengen punya anak? Kenapa waktu hamil aku, dia gak gugurin aja?!" suara Qing Qing lirih.
Tangan Wiratama terangkat, hampir tidak tahan ingin mengelus rambutnya, menghibur dan mengatakan bahwa ia menyayanginya. Peduli setan ibunya, Qing Qing adalah sumber napasnya dan biji mata ayahnya.
Namun, tangan itu berhenti di udara. Sejak Qing Qing mendapat menstruasi, Wiratama telah menganggapnya wanita dewasa yang tidak boleh sembarangan disentuh. Dia harus tetap semurni awan. Karenanya, ia kembali menurunkan tangannya.
"Tuhan sudah nitipin Qing Qing di keluarga ini. Ada Papa yang sayang banget sama Qing Qing. Pak Wira juga udah anggap Qing Qing seperti anak sendiri. Anggap aja Qing Qing punya dua ayah, gimana?" Wiratama tersenyum tipis, menjawab pertanyaan Qing Qing dengan kalimat ambigu.
Qing Qing mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. "Aku pengen cepat-cepat lulus SMA dan ikut Papa, kuliah di Cina."
"Nah... begitu dong, itu baru Qing Qing yang bikin Pak Wira bangga." Wiratama mengacungkan dua jempol.
Senyum Qing Qing kembali terbit. Dan Wiratama mendesah lega melihatnya berjalan agak melompat-lompat ke kamarnya.
Sesampai di kamarnya, Qing Qing menutup pintu, dan air matanya meleleh begitu saja. Ia berhasil menahannya di rongga matanya tadi. Tetapi kini, ketika ia hanya seorang diri, ia tidak perlu menutupi kesedihan hatinya lagi.
Ia berjalan ke meja belajarnya, duduk di kursi, memutar kunci laci, lalu menariknya hingga terbuka.
Diambilnya sebuah buku bersampul merah muda. Anita bercerita bahwa dia punya diari untuk menumpahkan isi hati.
"Ketika kesal, bahagia, sedih, tulis saja semuanya, termasuk kalau ada cowok yang ditaksir." Ujarnya sambil terkikik, "Soalnya kan kita masih SMP, belum boleh pacaran, tapi kalau naksir-naksir boleh dong..."
Jadi, beberapa hari lalu Qing Qing membeli buku ini, ingin mengikuti yang dilakukan Anita. Diari itu masih kosong, ia belum menulis apa-apa di situ.
Tapi hari ini, ada air mata yang tumpah. Jadi, Qing Qing mulai menggoreskan pena di halaman pertama.
Satu bulan berikutnya, Wiratama tidak melihat Qing Qing murung lagi. Ia mengira, gadis itu telah mengenyahkan pikiran yang bukan-bukan dan berdamai dengan keadaan.
Namun, siang ini, ia melihat Qing Qing berdiri berhadapan dengan Miranti. Saling menatap. Belum pernah Wiratama melihat Qing Qing semurka itu, wajahnya merah padam, dibarengi air mata mengalir di pipinya.
"Kenapa Mama berani-beraninya buka-buka laci aku?" Qing Qing setengah berteriak.
Wiratama melihat ada sebuah buku tebal di tangan Miranti. Buku apa itu? Apakah novel porno? Karena itu Miranti marah dan Qing Qing tidak terima karena Miranti mengambil barang pribadinya?
"Mama gak punya hak!" Qing Qing berusaha merebut buku itu, tapi Miranti dengan cekatan menjauhkannya.
"Tentu saja Mama punya hak. Kamu sebagai anak yang sudah dewasa harus diawasi, jangan sampai berbuat yang enggak-enggak. Coba kalau Mama gak nemuin ini. Mau jadi apa kamu?" Miranti tidak kalah lantang berteriak, "Berani-beraninya kamu nulis benci Mama dan cuma sayang Papa!"
"Memang aku benci Mama. Mama juga benci aku kan? Kita gak perlu lagi saling berpura-pura." Qing Qing seolah bukan dirinya, melawan dengan berani, padahal selama ini ia selalu patuh.
"Aku cuma sayang Papa!" Imbuhnya dengan tegas. "Aku mau cepat-cepat lulus, mau minta sekolah SMA di Cina aja, gak usah nunggu kuliah, biar Mama gak ada temannya!"
"Huh!" Miranti mendecih sinis, "Mau ngapain ke Cina? Biar lebih leluasa menggoda, biar jadi bini kelima?"
"NYONYA!" Tak ayal, Wiratama berteriak mengingatkan. Miranti sungguh keterlaluan.
Sementara Qing Qing mendadak tertegun, menatap Miranti tak mengerti.
"Ap... apa maksud Mama?"
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author