Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8
"What the—!" Rania mengumpat kesal dalam hatinya, dosa apa yang telah ia perbuat sehingga bertemu dengan dokter yang sedikit kurang waras.
"Cepatan milihnya, tinggal masuk galau amad!" celetuk Rayyan enteng, berdiri dengan santuy seraya memasukkan kedua tangannya di saku celananya.
"Saya nggak mau milih, itu pilihan sesat! Saya mau tidur di kamar bawah aja, di bawah pasti ada kamarnya 'kan?"
"Ada, kamar pembantu, itu kamar mbok Ijah kalau sekali-kali nginep di sini, kamu mau tidur sama pembantu?"
"Cepet pilih, Ran, pilih kamar aja lama, tinggal masuk, mau yang kanan atau yang kiri?" Rayyan menyeringai tipis, cukup menarik menggoda anak orang.
"Maunya yang bukan kamar kamu," jawab Rania putus asa.
"Masuk Ran!" Rayyan gemas sendiri melihat gadis itu kebingungan.
"Dokter duluan, saya belakangan," jawab Rania kekeh pendirian. Salah masuk bisa-bisa jadi santapan dokter kurang belaian, sungguh meresahkan.
"Barengan aja, kata orang, masuknya barengan, keluarnya barengan, lebih nikmat," kata Dokter Rayyan senyum-senyum tidak jelas.
Rania jelas menangkap perkataan ambigu tersebut, dirinya merasa harus lebih waspada menyikapi dokter di sampingnya.
"Apapun pilihan saya, Dokter nggak boleh ikut masuk, dan harus milih kamar satunya, atau kalau nggak?"
"Kalau nggak apa? Makanya jangan salah pilih, dijamin kamu nggak mau keluar, karena kamar aku terlalu nyaman, apalagi ada aku yang jagain di sampingnya siapapun pasti betah!" ujarnya tersenyum.
"Haish ... menyesatkan sekali!" gumam Rania seraya mendekati pintu dengan warna yang sama.
Rania menimbang-nimbang mana yang akan perempuan itu masuki. Dengan segenap hati, dan bismilah dalam hati Rania membuka pintu yang kanan. Seketika ia dibuat terkesan karena kamarnya begitu rapi dan bersih. Luas, cukup nyaman, dan—nuansa harum sekali.
"Selamat kamu salah masuk kamar!" Rayyan tiba-tiba menyusul dari belakangnya dengan senyuman di wajahnya.
"Hah, maksudnya? Ini kamar Dokter? Oke kalau begitu saya tidak jadi di sini, saya mau sebelah saja," ujarnya mendadak gusar.
"Ra, aku ke sini cuma bawain koper kamu doang, istirahat lah, jangan lupa besok bangunin aku, dan siapkan semuanya," kata Rayyan sembari berjalan keluar. Meninggalkan Rania yang masih sedikit syok, untung saja tadi hanya prank salah kamar, kalau tidak sudah pasti ceritanya akan sedikit beda.
Gadis itu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menuju ranjang. Menata pakaian pada tempatnya, dan semua buku belajar, laptop. Peralatan make up yang tidak boleh terlewatkan sedikit pun. Setelah semuanya selesai, Rania masih merasa ada yang kurang, ia pun baru menyadari ponsel miliknya masih di tangan Dokter Rayyan.
"Gimana ngambilnya ya?" gumam Rania berpikir.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk dari luar, Rania yang tengah fokus langsung tertuju pada atensi Dokter Rayyan yang menyerukan namanya.
"Ra!" panggilnya dengan gedoran pintu yang menggema.
Rania yang tengah santai di atas ranjang, mendekati pintu dengan malas.
"Iya, Dok, kenapa? Mau balikin handphone ya?" tebaknya penuh harap.
"Pingin banget dibalikin handphonenya ya, nanti aku balikin, ada syaratnya. Keluar cepet!"
"Ke mana Dok? Saya mau persiapan buat besok, saya nggak mau ke mana-mana."
"Ya udah di rumah aja, cepetan keluar!"
Rania pun keluar dari kamar, mengekor Dokter Rayyyan dengan penuh tanda tanya. Rupanya pria itu menuju dapur.
"Kamu bisa masak?"
"Nggak!" jawab Rania begitu saja.
"Owh ... ya sudah nggak pa-pa, makan malam kita delivery aja ya?"
"Saya nggak lapar, emangnya Dokter mau makan apa?"
"Apa aja, asal bisa buat saya kenyang.
"Nasi goreng mau?"
"Emang bisa?"
"Bisa lah, cuma nasi goreng doang itu sih gampang, masakan yang aneh-aneh baru nggak bisa."
"Ya udah tolong buatin ya, aku lapar," ujarnya penuh harap.
"Sekali ini doang tapi ya, besok-besok jangan minta lagi, masa suruh nyiapin makanan kamu juga." Rania menggerutu kesal.
"Sedikit menggerutu banyak bekerja Ra!"
Perempuan itu menggulung rambutnya dulu menjadi satu, membuat leher jenjangnya terekspos nyata, tanpa sadar pria tiga puluh tahun itu menatap tanpa berkedip. Untung saja pakaian Rania malam ini cukup sopan, piyama berlengan pendek dengan celana panjang bermotif keroppi, namun tetap saja otaknya penasaran dengan isi di dalamnya. Hahaha.
Rania menyiapkan bahan-bahannya. Rayyan menunggu di meja makan seraya asyik bermain ponselnya. Diam-diam memperhatikan Rania yang tengah sibuk sendiri. Gadis itu terlihat cekatan mengeksekusi bahan yang ada.
"Ra, kamu biasa lakuin ini? Maksud aku masak di dapur kaya gini?"
"Biasa sih nggak, kadang-kadang aja kalau lagi pengen, aku 'kan anak rantau Dok, masak buat sendiri mah kecil."
"Cocok dong!" celetuk Rayyan ngasal.
"Cocok apa Dok?" tanya Rania menatap penuh tanda tanya.
"Cocok jadi—asisten saya, skil kaya gini perlu juga 'kan?"
"Dok, kenapa Dokter tidak tinggal dengan orang tua Dokter? Kenapa malah milih tinggal sendiri, 'kan nggak enak."
"Dienakin aja, Ra, 'kan tinggalnya bareng sama kamu?"
Eh!!