Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Di Balik Pintu Tertutup
Adara menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang kerja Arga. Wajahnya mungkin tak menunjukkan kegugupan, tetapi hatinya berdetak kencang. Dia telah bekerja sebagai sekretaris pribadi Arga selama beberapa bulan, namun tetap saja, sosok dingin dan tegas pria itu membuatnya merasa waswas setiap kali harus masuk ke ruangannya. Ada aura berbeda yang melingkupi pria itu—keangkuhan sekaligus karisma yang sulit diabaikan.
"Masuk," terdengar suara dari dalam, tegas dan tanpa ragu. Adara menggenggam gagang pintu dan membukanya, melihat Arga duduk di balik meja kerjanya yang besar, wajahnya tenggelam dalam tumpukan berkas.
"Kamu memanggil saya, Pak?" tanya Adara sambil melangkah masuk dan menutup pintu perlahan. Suara pintu yang tertutup terasa mengunci udara di dalam ruangan. Ia bisa merasakan atmosfir yang berbeda; sunyi dan tertutup. Mereka berdua, hanya ada mereka di ruang yang sempit itu.
Arga mengangkat pandangan dan menatap Adara. Mata kelamnya seperti menembus, seolah sedang menilai seluruh keberadaan Adara. Ia mengangguk, kemudian menoleh ke berkas di depannya sebelum berbicara, "Ada beberapa dokumen penting yang perlu kamu revisi. Aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun dalam proposal ini."
"Tentu, Pak," jawab Adara. Ia berjalan ke meja, mengambil berkas yang diberikan Arga, dan membuka lembar pertama. Namun, tatapan mata Arga yang terus mengawasinya membuat Adara merasa aneh. Ada sesuatu yang lain di balik tatapan itu, seolah bukan hanya sekadar perintah pekerjaan.
Suasana semakin mencekam ketika Arga bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati Adara. Pria itu berdiri hanya beberapa langkah darinya, cukup dekat hingga Adara bisa mencium aroma khas yang melekat pada Arga. Keharuman maskulin dan elegan yang membuatnya merasa semakin kecil di hadapan pria itu.
"Saya akan segera menyelesaikan ini, Pak," ucap Adara, mencoba mengalihkan perhatian dari kehadiran Arga yang begitu mendominasi. Namun, Arga tetap berdiri di sana, menatap Adara tanpa berkedip.
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Adara," katanya dengan suara lembut, tetapi tegas. Ia menundukkan kepala sedikit, membuat tatapan mereka sejajar. Adara merasa jantungnya berdetak semakin cepat, dan matanya perlahan mengangkat untuk menatap balik Arga. Wajah pria itu begitu dekat, dan sorot matanya memancarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
"Apa yang ingin Anda tanyakan, Pak?" Adara berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun rasa gugupnya hampir tak terkendali.
Arga terdiam sejenak, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Adara. Dalam jarak yang begitu dekat, pria itu terlihat lebih manusiawi—bukan hanya seorang CEO yang dingin dan angkuh, melainkan seseorang yang memiliki perasaan, meskipun sering disembunyikan di balik sikap keras dan tak peduli.
"Kamu sudah bekerja di sini cukup lama," kata Arga perlahan. "Aku ingin tahu... apakah kamu pernah merasa tidak nyaman bekerja bersamaku?"
Adara terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menatap mata Arga dengan kebingungan, berusaha mencari tahu maksud di balik pertanyaan tersebut. "Tidak, Pak. Saya merasa cukup nyaman bekerja di sini. Saya menghargai profesionalisme Anda."
Arga mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tidak berubah. "Begitukah? Karena beberapa kali aku memperhatikan... tatapanmu berbeda. Seolah-olah kamu menyembunyikan sesuatu dariku."
Adara merasakan wajahnya memanas. Tatapan yang berbeda? Apakah Arga menyadari perasaannya yang tersembunyi? Ia telah berusaha sebaik mungkin menjaga profesionalitas, tetapi rupanya Arga memiliki ketajaman yang bisa membaca hal-hal yang tersembunyi.
"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat Anda merasa tidak nyaman," ucap Adara dengan suara lirih. Ia menundukkan pandangannya, menghindari tatapan intens Arga.
Namun, bukannya mundur, Arga justru mendekat. Pria itu mengulurkan tangan dan mengangkat dagu Adara, memaksanya untuk menatapnya langsung. "Jangan menunduk. Aku ingin melihat ekspresimu, Adara."
Jantung Adara serasa hampir berhenti. Sentuhan tangan Arga begitu hangat dan lembut, jauh berbeda dari bayangan sosok pria yang sering dilihatnya di ruang rapat atau saat memimpin pertemuan perusahaan. Tangannya yang besar dan kuat terasa begitu kontras dengan sikap dinginnya. Kali ini, tatapan mata pria itu mengirimkan getaran yang sulit diabaikan. Arga menatapnya seolah-olah hanya ada mereka berdua di dunia ini.
"Pak...," bisik Adara, mencoba menyuarakan sesuatu, tetapi kata-katanya tercekat di tenggorokan. Tak ada yang bisa ia katakan. Semuanya terjebak dalam tenggorokannya bersama dengan ribuan emosi yang bergejolak.
"Adara," ujar Arga dengan nada suara yang lebih lembut. "Aku tidak ingin hubungan ini hanya tentang pekerjaan. Aku tahu ini mungkin salah, tapi... aku mulai melihatmu bukan hanya sebagai sekretarisku."
Pernyataan itu membuat Adara tertegun. Ia merasa hatinya berdetak begitu cepat, dan ia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya. Selama ini, ia selalu berusaha menjaga jarak dan mengendalikan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya. Namun, mendengar Arga mengungkapkan hal tersebut membuat pertahanan yang dibangunnya perlahan runtuh.
"Pak, ini... ini tidak benar," jawab Adara akhirnya. Ia berusaha menguatkan dirinya, menatap mata Arga dengan tegas. "Anda adalah atasan saya. Kita memiliki batasan yang seharusnya tidak dilanggar."
Arga terdiam mendengar kata-kata Adara. Ada kilatan kecewa di matanya, tetapi kemudian ia mengangguk pelan, seolah menerima keputusan Adara. "Aku mengerti. Mungkin aku memang terlalu memaksakan diri."
Tanpa menunggu jawaban Adara, Arga berbalik dan berjalan kembali ke mejanya. Pria itu kembali mengambil tempat di kursinya dan memandang ke luar jendela, memberikan kesan bahwa ia sedang merenungi sesuatu yang mendalam. Adara merasa hatinya tergores. Ia tahu bahwa keputusannya adalah yang terbaik untuk menjaga profesionalisme, namun ada bagian dari hatinya yang terluka melihat ekspresi kecewa di wajah Arga.
Setelah beberapa saat, Adara memberanikan diri untuk bicara lagi. "Maafkan saya, Pak. Saya hanya ingin semuanya berjalan sesuai dengan batas profesional."
Arga mengangguk tanpa menoleh. Suaranya terdengar datar saat ia berkata, "Kamu benar, Adara. Maafkan aku jika perasaanku membuatmu tidak nyaman."
Adara merasakan kepedihan di hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Hanya ada sunyi yang menyelimuti ruang itu, seakan-akan tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Suasana di antara mereka kini berubah, bukan lagi sekadar hubungan kerja, melainkan sebuah perasaan yang menggantung, menanti untuk dituntaskan.
Akhirnya, Adara berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu. Saat ia menutup pintu, hatinya terasa begitu berat. Ia menyadari bahwa, di balik pintu tertutup itu, telah terjadi sesuatu yang mengubah hubungan mereka selamanya.
Adara menyandarkan punggungnya ke dinding luar ruangan Arga. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan ini takkan mudah terhapus. Di balik pintu tertutup itu, ia menyadari bahwa hatinya telah jatuh—dan tak ada jalan kembali.