Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PATAH YANG KESEKIAN KALI
Sore itu, Annisa sengaja pulang lebih awal. Setelah menjemput Clara dari sekolah, ia memutuskan untuk mengajaknya belanja bulanan di supermarket. Begitu tiba di sana, Clara tampak antusias, matanya berbinar melihat berbagai rak yang penuh makanan dan produk kebutuhan sehari-hari.
“Tante, kita mau beli apa aja?” tanya Clara sambil memandang Annisa dengan mata penasaran.
“Kita mau beli sayur, daging, dan kebutuhan lainnya buat isi kulkas dan dapur,” jawab Annisa lembut sambil mengusap kepala Clara. “Kamu mau bantu Tante pilih sayur?”
Clara mengangguk bersemangat, lalu mereka berjalan ke bagian sayuran. Annisa mengambil seikat bayam dan brokoli, lalu menyerahkannya pada Clara untuk dimasukkan ke dalam keranjang.
“Clara suka brokoli, kan?” tanya Annisa sambil tersenyum.
Clara mengangguk, meskipun raut wajahnya terlihat agak malu-malu. “Iya, Tante. Kalau dimasak sama keju, enak.”
Annisa tertawa kecil, merasa senang melihat Clara mau berbagi keinginannya. “Oke, nanti Tante masak pakai keju, ya.”
Mereka melanjutkan belanja dengan menuju bagian daging. Annisa mengambil beberapa potong ayam dan daging sapi, lalu Clara membantu meletakkannya di keranjang. Di bagian makanan ringan, mata Clara langsung tertuju pada rak penuh biskuit dan cokelat.
“Tante, boleh gak beli biskuit ini?” Clara menunjuk ke arah kaleng biskuit kesukaannya, sambil menatap Annisa dengan mata penuh harap.
Annisa tertawa pelan. “Boleh, tapi satu aja, ya. Kita pilih yang besar, jadi bisa makan beberapa kali.”
Clara mengangguk dengan senang hati. Ia memilih kaleng biskuit yang besar dan memasukkannya ke dalam keranjang dengan hati-hati. Setelah itu, mereka berpindah ke bagian susu dan kebutuhan lainnya. Annisa memastikan stok susu, keju, dan mentega untuk persediaan seminggu ke depan.
Setelah selesai berbelanja, Annisa dan Clara berjalan menuju kasir. Sambil menunggu giliran, Clara menarik lengan Annisa pelan.
“Tante Annisa, kenapa Tante selalu baik sama Clara?” tanya Clara tiba-tiba dengan wajah polos.
Pertanyaan itu membuat Annisa tertegun sejenak, tapi ia langsung membalas dengan senyuman lembut. “Karena Tante sayang sama Clara. Tante mau Clara bahagia dan sehat.”
Clara tersenyum, lalu mengangguk pelan, seolah puas dengan jawabannya. “Terima kasih, Tante,” gumamnya pelan.
Setelah selesai membayar, Annisa menggandeng tangan Clara dengan lembut saat mereka berjalan menuju mobil, membawa kantong belanjaan sambil bercanda dan tertawa kecil di sepanjang perjalanan. Meski Clara belum sepenuhnya membuka hati, Annisa tetap sabar dan menikmati setiap momen sederhana bersama gadis kecil itu.
•••
Annisa sedang menata belanjaan di rumah ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melirik layar dan melihat nama ibunya muncul. Sambil tersenyum, ia mengangkat telepon itu dan menyapa lembut.
“Halo, Bun?”
“Annisa, kamu kapan ada waktu buat pulang ke rumah? Tante Nadira mau undang kita semua buat acara lamaran dan pernikahan Nadine,” suara ibunya terdengar semangat dan ceria, membuat Annisa merasa hangat.
“Oh, Nadine bakal nikah? Kapan acaranya, Bun?” tanya Annisa sambil tersenyum lebar, senang mendengar kabar bahagia itu.
“Dua minggu lagi. Jadi acara lamarannya minggu depan, nikahnya minggu depannya lagi. Semua keluarga besar bakal kumpul, jadi kamu pasti harus datang. Udah lama kamu gak ketemu mereka, kan?” kata bundanya sambil tertawa pelan.
Annisa berpikir sejenak. “Iya, Bun. Insya Allah aku bakal datang. Nanti aku atur jadwalnya biar bisa izin dari kantor. Terus, apa yang harus aku bawa?”
“Gak usah bawa apa-apa, kamu cukup datang aja. Yang penting kumpul bareng keluarga. Oh, sama jangan lupa, kalau bisa ajak Damian,” bundanya menambahkan, nada suaranya sedikit berharap.
Annisa terdiam sejenak. Damian? Meski sulit baginya untuk membayangkan mengajak Damian ke acara keluarga, apalagi pernikahan, ia berusaha tetap tenang menjawabnya. “Nanti aku coba bicarakan, Bun.”
Setelah obrolan singkat lainnya, Annisa menutup telepon dengan pikiran bercampur aduk. Kabar pernikahan Nadine membuatnya senang, tapi ia tak bisa menepis kegelisahan saat membayangkan kehadiran Damian di acara itu.
Sambil menghela napas, Annisa mulai merencanakan apa saja yang perlu dipersiapkan, meski di dalam hati ia berharap Damian bisa bersikap baik dan mendukung, setidaknya selama pernikahan sepupunya nanti.
Setelah Annisa selesai menata belanjaan dan memastikan Clara bermain dengan nyaman di ruang tengah, ia duduk di meja makan, merenung tentang panggilan dari bundanya. Acara pernikahan Nadine bukanlah acara biasa bagi keluarga besarnya. Nadine, sepupu yang sangat dekat dengannya sejak kecil, hampir seperti saudara kandung sendiri. Ia tahu acara itu akan penuh kebahagiaan, tetapi juga penuh tanya dari kerabat mengenai kehidupan rumah tangganya dengan Damian.
Annisa melirik jam tangan, menyadari bahwa Damian mungkin sudah akan pulang dalam beberapa jam ke depan. Ia ingin berbicara dengannya, tapi tak tahu bagaimana harus memulai. Sambil berpikir, ia teringat akan pernikahan Nadine, semua kenangan saat mereka tumbuh bersama, dan bagaimana sepupunya itu selalu menjadi pendukung terbesarnya, bahkan di tengah kehidupan pernikahannya yang tak mudah.
Malam pun tiba, dan seperti yang ia duga, Damian akhirnya pulang. Annisa langsung berdiri dan menyapanya pelan.
“Mas Damian, kamu udah makan malam?” tanyanya sambil menawarkan senyuman lembut.
Damian hanya menatapnya sekilas sambil melepas jasnya dan meletakkannya asal di kursi. “Belum. Aku makan di luar aja, ada acara yang harus dihadiri,” jawabnya singkat.
Annisa merasa ada jeda untuk menyampaikan maksudnya, jadi ia mencoba memanfaatkan kesempatan itu. “Mas, aku mau bilang sesuatu… dua minggu lagi, sepupuku, Nadine, akan menikah. Bundaku menelepon tadi, mereka mengharapkan kita hadir di sana.”
Damian mendengus pelan, seakan tak tertarik. “Lagi-lagi acara keluargamu. Aku gak yakin bisa ikut. Banyak pekerjaan yang harus diurus.”
Annisa mencoba menahan rasa kecewa dan berkata lebih lembut. “Aku tahu, tapi mereka benar-benar ingin kita datang. Lagipula, sudah cukup lama kita gak ikut kumpul keluarga bersama. Paling tidak, hanya beberapa hari, Mas.”
Damian menatapnya dengan datar, lalu menghela napas. “Apa kamu gak ngerti? Aku punya tanggung jawab besar di kantor. Aku gak bisa sekadar pergi ke acara yang… ya, bukan urusan penting buatku.”
“Tapi ini penting buatku, Mas,” Annisa menjawab pelan, suaranya hampir berbisik. “Sepupuku itu seperti saudara sendiri. Pernikahannya adalah momen besar dalam keluargaku. Mungkin... ini kesempatan kita untuk memperbaiki semuanya.”
Damian menyipitkan matanya, tatapannya kini berubah tajam. “Kenapa kamu terus berpikir kita bisa memperbaiki ini? Aku sudah bilang dari awal, aku menikah denganmu untuk satu alasan, Annisa. Kamu bukan Arum, dan aku… aku gak pernah minta lebih.”
Annisa terdiam, kata-kata Damian seperti sembilu yang mengiris hatinya. Namun, ia menelan perasaan itu dan mencoba tetap tenang. “Aku tahu, Mas, tapi aku juga butuh kamu untuk ini. Aku gak bisa menjelaskan pada keluargaku kenapa kamu selalu absen, kenapa kamu seolah tidak pernah menjadi bagian dari hidupku.”
Damian terdiam, tatapannya berpindah ke arah lain, terlihat tidak nyaman. Setelah beberapa detik, ia berucap, “Lakukan saja yang terbaik untuk membuat mereka senang, Annisa. Aku gak peduli apa yang keluargamu pikirkan soal aku.”
Annisa hanya bisa tersenyum pahit, merasa semakin tak berdaya di hadapan suaminya. Namun, ia tetap berusaha untuk tidak menyerah sepenuhnya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan pergi sendiri,” ujarnya dengan suara hampir patah. “Tapi aku harap suatu saat kamu bisa mengerti, Mas, bahwa aku juga butuh seseorang yang mendukungku, setidaknya di momen-momen penting.”
Damian tidak menjawab, hanya mengambil kunci mobilnya kembali dan beranjak pergi, meninggalkan Annisa dalam hening dan kekecewaan. Annisa berdiri di sana, meresapi kata-katanya sendiri. Meski Damian memilih pergi, ia bertekad akan hadir dalam pernikahan Nadine dengan hati yang kuat, membawa dirinya sendiri, bahkan jika harus tanpa Damian di sisinya.