Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 31
"Ja-Jangan bercanda!" Suara Gisela meninggi. Tidak menyangka jika kekhawatirannya menjadi nyata.
Dirga terkekeh. "Gis, aku ini seorang dokter. Jadi, mana mungkin aku bercanda soal keadaan pasien. Aku tidak mau merusak citra dokter."
"Oh, Ya Tuhan." Gisela mengusap wajahnya kasar. Ia frustrasi. Bahkan tubuhnya sampai gemetar karena banyak bayangan dan pikiran buruk yang menghantuinya.
"Kamu kenapa, Gis?" tanya Dirga bingung ketika melihat Gisela.
"Aku seorang pembunuh," gumam Gisela sangat lirih. Ia hendak pergi dari sana, tetapi Dirga langsung menahannya.
"Kamu mau ke mana?" Dirga menatap Gisela sangat lekat.
"A-aku—"
"Wanita sialan!"
Suara Abram yang begitu tinggi berhasil mengalihkan perhatian Gisela dan Dirga. Raut ketakutan tampak memenuhi wajah Gisela. Wanita itu mulai berjalan mundur ketika Abram hendak mendekat.
"Aku harus memberimu pelajaran!"
Tanpa memberi kesempatan, Abram mendorong tubuh Gisela sampai menempel tembok lalu mencekik wanita itu. Dirga yang terkejut atas apa yang dilakukan Abram pun langsung berniat menolong Gisela.
"Le-lepaskan aku." Suara Gisela mulai terputus karena wanita itu mulai kehabisan napas.
"Karena kamu, aku harus kehilangan anakku!" bentaknya sangat keras. Namun, sepersekian detik selanjutnya, Abram mengerang saat merasakan sebuah tendangan di kaki. Cekikan itu pun terlepas. Tubuh Gisela luruh ke lantai dan dengan segera wanita itu meraup oksigen secara rakus.
"Sialan!" Abram berdiri dan hendak memukul Dirga yang saat ini sudah berdiri di depan Gisela. Belum juga pukulan itu mendarat di wajah Dirga, dua orang keamanan datang dan langsung mencegah perkelahian itu.
Ketika memiliki kesempatan, Dirga pun memaksa Gisela agar segera pergi dari sana. Ia tidak mau wanita itu kembali berada dalam situasi berbahaya.
"Duduklah."
Gisela menuruti perintah Dirga. Ia duduk di kursi yang berada di ruangan Dirga lalu menenggak segelas air putih yang diberikan oleh lelaki itu dalam sekali teguk. Setelah dirasa cukup tenang, Dirga pun meminta Gisela menceritakan semuanya.
"Aku sudah menjadi seorang pembunuh," gumam Gisela.
"Tidak. Kamu bukan pembunuh. Tunggu sebentar." Dirga mengambil ponsel lalu menghubungi seseorang dan memintanya mengirimkan CCTV di mall tadi. Jujur, Dirga tidak percaya kalau keguguran itu karena perbuatan Gisela. Pasti ada kejadian di baliknya.
"Dir—"
"Sudah. Lebih baik sekarang kamu diam dan tenangkan pikiranmu. Aku yakin bukan kamu yang bersalah di sini. Aku sudah mengenal kamu sejak dulu dan paham bagaimana kamu," kata Dirga. Mulut Gisela pun tertutup rapat dan hanya helaan napas panjang yang terdengar berkali-kali keluar dari mulut wanita itu.
Ketika mendengar sebuah pesan masuk dan langsung mengambil ponselnya, tangan Dirga mencengkeram kuat ponsel tersebut ketika melihat rekaman yang barusan dilihatnya. Bahkan, hampir saja Dirga membanting benda pipih tersebut.
Melihat raut amarah yang terlihat di wajah Dirga membuat Gisela merasa heran. Gisela terperanjat kaget saat dagunya dipegang tiba-tiba oleh Dirga bahkan ia bisa merasakan ibu jari Dirga yang mengusap pipinya sangat lembut. Hal itu pun sontak membuat Gisela sedikit merasa terbuai.
"Apa, sih." Gisela secara kasar menyingkirkan tangan Dirga setelah ia kembali sadar.
"Dia menamparmu, Gis. Padahal kalian bukan lagi suami-istri, tetapi dia masih berani menamparmu. Memang lelaki brengsek." Tangan Dirga terkepal erat. Deru napasnya terdengar memburu seiring amarah yang menguasai dirinya.
"Aku tidak papa. Aku sudah membalasnya," ucap Gisela berusaha membuat Dirga tenang karena jika lelaki itu sudah dipenuhi emosi maka semua akan berbahaya.
"Balasanmu kurang. Aku harus memberi pelajaran padanya." Dirga beranjak bangun dan hendak pergi, tetapi Gisela langsung menahan lengan lelaki itu. "Jangan menahanku, Gis."
"Kalau kamu sampai berbuat macam-macam maka aku tidak akan segan-segan menjauh sejauh-jauhnya dari kehidupanmu."
Dirga mendes*hkan napas ke udara secara kasar. Jika sudah berbicara seperti itu maka artinya yang harus dilakukan oleh Dirga adalah menuruti keinginan wanita itu. Dengan kasar Dirga kembali menghempaskan tubuhnya di samping Gisela.