“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Salam hangat semuanya ❤️
Saya ucapkan terima kasih banyak bagi yang sudah membaca karya sederhana ini 🙏😊.
Bila berkenan, tolong berikan rating bintangnya ya, Kak. Jangan yang jelek ya 🙏. Maaf sedikit maksa, cuma berharap dapat bintang yang bagus😊
Apalagi bila ada yang sudi memberikan komentar membangun, saya berterima kasih sekali.
Semoga kita semua sehat selalu, dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa ... Aamiin 🤍
...----------------...
Yasir membuka matanya, dia membalikkan badan menjadi berhadapan dengan sang istri. “Maksud mu apa, Dek? Kau tidak betah di sini?”
“Bukan, Mas. Aku hanya ingin mandiri, dimana kita sama-sama belajar untuk menjadi calon orang tua yang baik bagi anak kita kelak,” sanggah Nur.
“Lalu, kau ingin keluar dari rumah Ibuk, terus ngontrak gitu?” tanya Yasir, seraya menelisik raut sang istri yang belakangan ini selalu muram.
Nirma pun mengangguk, tak apalah ngontrak yang penting tidak serumah dengan sosok ibu mertua picik.
“Ngontrak? Kau ingin menjatuhkan martabat keluarga ku, iya? Belum ada sejarahnya kami mengontrak rumah,” nada suara Yasir naik satu oktaf.
Nirma masuk ke dalam dekapan sang suami, mengelus punggungnya berharap bisa meredakan emosi. “Aku sama sekali tidak berniat begitu, Mas. Cuma pengen aja merasakan hidup berdua denganmu sebelum direcoki anak kita. Kalau nggak ngontrak, ayo kita ajukan pinjaman ke bank, Mas. Biar bisa beli rumah.”
Netra Yasir memicing, dia memiliki ide brilian. “Daripada hutang bank, lebih baik kau datangi rumah ibumu! Mintalah pembagian harta warisan. ‘Kan ada kebun karet, ladang beserta rumah.”
Nirma melerai pelukan mereka, keningnya mengernyit. ‘Apa pantas aku menuntut harta warisan?’
Melihat raut sang istri yang meragu, Yasir tak tinggal diam. “Mas dengar, rumah di depan puskesmas desa mu ada yang mau dijual. Nanti kau yang beli bangunannya, biar Mas yang mengisi perabotannya sesuai selera mu. Dengan begitu kita juga memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki hubungan dengan ibumu,”
Otak Nirma langsung jalan. Demi keberlangsungan kedamaian hidupnya, ia harus melakukan sesuatu. Kalau nanti bisa satu desa dengan sang ibu, ‘kan dia tidak perlu merepotkan diri memasak. Tinggal datang makan di sana atau bawa menu pulang ke rumahnya.
Tak jauh berbeda dari Nirma, Yasir pun berpikir begitu. Dia sendiri ketagihan dengan olahan tangan mantan tunangannya, dengan begitu juga dirinya akan memiliki banyak kesempatan bertemu Amala.
“Bagaimana kalau ibuk tidak memperbolehkan kita pindah, Mas?” tanya Nirma.
Yasir mengecup pucuk kepala sang istri. “Kau tenang saja, biar itu menjadi urusan Mas.”
“Besok temani aku ke sana ya, Mas?”
“Siap!”
***
“Mak, tolong antarkan rantang ini ke rumah Wahyuni ya. Mala mesti cepat sampai kebun, agar tidak keduluan hujan.” Amala menutup rantang susun 2 yang berisi ikan sambal dan juga sayur daun ubi santan.
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan, tak lama lagi Mamak menyusul mu,” seru Mak Syam.
Hari ini waktunya menjual getah karet, maka dari itu Amala harus bergerak cepat. Selepas sholat subuh dirinya langsung berkutat di dapur, memasak menu yang kemarin dikasih bang Agam.
“Mamak juga mesti hati-hati, jangan lupa bawa air minum! Bekal sarapannya biar Mala yang bawa saja,” balas Amala, dia sedang mengoleskan gemuk di kaki meja makan agar semut tidak bisa naik.
Mak Syam mengangguk, dirinya baru selesai memindahkan sayur dari atas wajan. Membagi menu menjadi dua piring untuk makan siang dan malam.
Amala pun pergi sambil menuntun sepeda ontelnya. Dia membawa ember untuk wadah getah.
Mak Syam juga bergerak cepat agar bisa lebih awal menyusul serta membantu anak sulungnya.
Begitu sampai di kebun karetnya, Amala menyadap karet sambil mengutip getah hasil dari beberapa hari lalu. Kemudian Memeras gumpalan putih itu agar tak lagi berair. Nanti tugas ibunya mengumpulkan cairan getah yang baru saja dia deres, setelahnya akan diberi cairan senyawa agar merekatkan getah lainnya.
Dua jam kemudian, sepeda Amala sudah mengangkut hasil panen. Ada 5 ember berisi getah. Tempat duduk belakang telah dipasang kayu palang yang berguna membawa lebih banyak beban.
Mak Syam berjalan dibelakang Amala, dia membantu mendorong serta menarik sepeda kala melewati jalan berbukit.
“Alhamdulillah,” seru Mak Syam seraya mengusap keringatnya. Mereka sudah sampai di tanah lapang khusus tempat penimbangan.
Amala pun tersenyum lembut, netranya memandang sosok Zikri yang tengah mencatat hasil timbangan getah milik warga.
‘Apa bang Agam tidak ikut?’ tanyanya dalam hati. Biasanya pemilik usaha jual beli karet ini selalu hadir saat hari panen.
Kini Amala dan Mak Syam kembali menuntun sepeda berjalan pulang ke rumah. Sepanjang jalan wajah Mak Syam dan Amala terlihat sumringah, meskipun hasil panen kali ini tidak sebanyak biasanya, tetapi mereka tetap bersyukur.
“Mala, Mamak langsung ke sumur ya, mau bilas badan.” Mak Syam pun berlalu.
Amala menyandarkan sepedanya di bawah pohon nangka.
‘Kenapa pintu dapur sedikit terbuka?’
Kakinya menaiki undakan tangga, membuka pelan daun pintu dan mulai masuk.
Sorot matanya begitu dingin manakala melihat piring kotor berserakan di atas amben.
“Pelan-pelan Mas! Ah, jangan digigit nanti lecet ….” desahan itu terdengar begitu manja.
Dada Amala bergemuruh layaknya suara ombak menghantam batu karang, dalam senyap ia mendekati suara menjijikan itu lalu membuka tirai pintu. Matanya membulat sempurna melihat dua manusia tidak punya malu sedang bersenggama di atas tempat tidurnya, tanpa sehelai benangpun.
Amala kembali ke dapur, mengangkat dua ember air bekas cucian piring yang belum sempat dibuang oleh ibunya.
Dua insan sedang bira hi itu sama sekali tidak menyadari kehadiran si pemilik kamar. Mereka asik main kuda-kudaan.
BYUR.
“DASAR BINATANG!! ENYAH KALIAN DARI SINI!!”
Satu ember disiramkan ke badan Yasir. Sesudahnya ember pun dibanting.
Yasir begitu panik, sampai tak mampu bersuara. Ia langsung memungut baju yang berceceran.
"Mb_ak, Mala.”
BYUR.
Akh.
Amala menyiram Nirma dengan air yang terdapat biji cabai.
“KELUAR KALIAN!!”
Suara Amala menggelegar, dia seperti orang yang kehilangan akal.
Nirma berusaha menutupi aset nya dengan kedua tangan. Yasir sudah memakai kembali celana dalamnya yang basah. Mereka masih di atas ranjang basah yang porak-poranda.
Amala yang sudah kalap tak lagi bisa berpikir jernih. Hatinya dikuasai angkara murka, sebelah tangannya mengepal dan satunya lagi meraih gelas kaca berisi alat tulis.
Akh!
Yasir berteriak melengking menahan sakit, pelipisnya langsung benjol terkena lemparan.
“Amala!”
“Nur!”
“Nak, ada apa?”
Suara langkah kaki begitu gaduh, Agam terlebih dahulu sampai. Dia membalikkan badan menghentikan Mak Syam, Dhien dan juga adiknya.
“Tunggu di sana!” titahnya kepada mereka yang masih sampai pada batas antara dapur dan ruang tamu.
“CEPAT KALIAN BERPAKAIAN!” pekik Agam geram. Dia mendekati Amala, netranya tak sedikitpun melirik pasangan mesum.
“Jangan! Mamak panggil warga! Biarkan dua manusia laknat ini diarak!” Teriak Amala masih dengan napas memburu dan tangan terkepal, tatapannya begitu nyalang.
“Nur, kita keluar dulu,” kata Agam lembut, tetapi Amala tetap bergeming. Mau tak mau dia menarik sedikit kuat ujung baju si wanita. Amala menurut.
“Ya Allah, Nak.” Mak Syam menubruk badan Amala yang terasa dingin dan bergetar.
“Mak, carikan bensin atau minyak tanah. Mala mau membakar kamar! Mereka melakukan hal tak senonoh itu di kamar ku ... di tempat tidurku, Mak!!”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu