Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Permohonan yang Sia-Sia
Suasana di ruang pertemuan itu tegang. Pak Budi, dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, berlutut di hadapan Rangga. Ia memohon dengan suara bergetar, "Pak Rangga, saya mohon… berikan saya kesempatan. Saya akan menjual rumah ini, semua yang saya miliki, untuk melunasi hutang saya."
Rangga duduk tegak di kursinya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia menatap Pak Budi dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun rasa iba. Udara di ruangan itu terasa begitu dingin dan mencekam. Hening sejenak menyelimuti ruangan, hanya suara napas Pak Budi yang terdengar berat dan terengah-engah.
"Saya sudah memberikan Anda cukup waktu, Pak Budi," kata Rangga, suaranya dingin dan tegas. "Anda telah menunda pembayaran selama berbulan-bulan. Saya tidak bisa terus mentolerir hal ini."
"Saya mohon, Pak Rangga," Pak Budi kembali memohon, suaranya semakin lirih. "Saya akan menjual rumah ini. Saya akan melakukan apapun untuk melunasi hutang saya." Air mata mulai membasahi pipinya, mengalir di antara kerutan wajahnya yang tampak semakin tua.
"Rumah? Itu tidak cukup, Pak Budi," jawab Rangga, suaranya tetap dingin. "Hutang Anda sudah terlalu besar. Saya tidak tertarik dengan rumah Anda."
Pak Budi tertunduk lesu. Ia merasa putus asa. Ia telah melakukan segalanya, mencoba segala cara, namun semuanya sia-sia. Ia merasa telah sampai pada titik terendah dalam hidupnya. Ia merasa telah gagal sebagai seorang ayah, ia merasa telah gagal melindungi keluarganya.
Di luar ruangan, Lusi menunggu dengan perasaan cemas. Ia telah mendengar percakapan ayahnya dengan Rangga melalui celah pintu. Ia mendengar bagaimana ayahnya memohon dengan sangat, bagaimana ia menawarkan untuk menjual rumah mereka, namun Rangga tetap keukeuh menuntut pembayaran penuh.
Kemarahan dan kekecewaan mulai menguasai hati Lusi. Ia merasa marah kepada ayahnya, yang telah menyembunyikan masalah ini selama berbulan-bulan. Ia merasa dikorbankan, masa depannya yang cerah kini terancam oleh hutang ayahnya. Ia merasa telah kehilangan kepercayaan kepada ayahnya.
Setelah pertemuan itu, Lusi menghampiri ayahnya. Ia menatap ayahnya dengan tajam, "Papa, kenapa Papa tidak memberitahuku lebih cepat? Kenapa Papa harus menyembunyikan semuanya dariku?" Suaranya bergetar menahan amarah.
Pak Budi tertunduk lesu. Ia tidak mampu menatap mata putrinya. Ia merasa bersalah, ia merasa telah mengecewakan putrinya. "Maafkan Papa, Lusi," katanya lirih. "Papa tidak ingin kau khawatir."
"Khawatir? Papa pikir aku tidak akan khawatir jika Papa menjual rumah kita? Papa pikir aku tidak akan khawatir jika masa depanku terancam?" Lusi semakin marah. "Papa egois! Papa hanya memikirkan diri sendiri!"
Pak Budi terdiam, tidak mampu membantah ucapan putrinya. Ia tahu bahwa putrinya benar. Ia telah bertindak egois, ia hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan dampaknya pada keluarganya.
Lusi menghela napas panjang. Ia merasa sangat kecewa dan marah kepada ayahnya. Namun, ia juga merasa kasihan kepada ayahnya. Ia tahu bahwa ayahnya sedang mengalami masa-masa sulit. Ia mencoba untuk menenangkan diri, mencoba untuk berpikir jernih.
"Baiklah, Pa," kata Lusi, suaranya lebih lembut. "Kita akan menghadapi ini bersama-sama. Kita akan mencari solusi terbaik. Tapi, Papa harus berjanji, tidak akan pernah menyembunyikan apapun lagi dariku."
Pak Budi mengangguk, meneteskan air mata. Ia memeluk putrinya, menyesali kesalahannya. Ia berjanji akan selalu terbuka kepada putrinya, dan mereka akan menghadapi masalah ini bersama-sama. Namun, bayangan Rangga dan hutang yang membengkak masih menghantuinya. Masa depan keluarga mereka masih diliputi ketidakpastian.