Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WAKU DAN MAJALAH DEWASA
Sekar akhirnya pulang ke rumah, lebih tepatnya ke rumah mewah dan besar milik suaminya yang cukup untuk menampung setidaknya dua puluh anak yatim piatu, dia meletakkan kunci di mangkuk yang ada di atas meja di lorong. Rumah itu sunyi, sesuatu yang sudah biasa baginya. Sekar menyeret kakinya menuju kamarnya. Bahunya terasa pegal, lehernya kaku, dan pipinya masih memerah karena panas dari dapur.
Saat masuk ke kamarnya, dia melepaskan sepatu dan menendangnya ke samping. Setidaknya, hal itu tidak berubah—dia masih diperbolehkan memiliki kamar sendiri. Dia melepaskan ranselnya dan meletakkannya di atas tempat tidur untuk sementara. Dengan helaan lelah, dia duduk di depan meja rias dan menatap mangkuk ikan di sana sambil tersenyum kecil.
"Hei, Waku," katanya kepada ikan peliharaannya, meskipun sebenarnya itu hanyalah ikan mainan yang bisa diputar. Dengan helaan lain, dia mengangkat pandangannya ke cermin dan melihat bayangannya sendiri. Rasa kecewa melintas di wajahnya, membuatnya mengerutkan kening. Tatapannya kembali turun ke Waku. Selama ini, Waku adalah satu-satunya teman setianya. Dia pendengar yang baik dan perenang yang luar biasa.
"Aku yakin harimu lebih baik daripada hariku," ucap Sekar sambil mengetuk kaca mangkuk itu. Dia meraih Waku dari dalam mangkuk, memutar mesinnya, dan meletakkannya kembali. Kemudian, dia membungkuk untuk mengamati ikan mainan itu berenang di dalam air.
"Aku janji, apa pun yang terjadi pada kita, aku tidak akan pernah menjodohkanmu dengan orang asing," katanya tersenyum sambil duduk tegak. Sekar melepaskan ikat rambutnya, membiarkan rambut ikalnya tergerai bebas di pundaknya. Rambutnya terlihat berantakan akibat angin, matanya sedikit memerah, dan lingkaran hitam tampak jelas di bawah matanya. Ketika melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
"Sepertinya ini sudah pagi," gumamnya, kembali memandang Waku yang terus berenang kecil di mangkuk. Waku adalah hadiah yang diberikan Damar kepadanya saat mereka pergi ke pasar malam dulu, dan itu adalah satu-satunya "hewan peliharaan" yang berhasil dia "pelihara" hingga sekarang. Bagi mereka berdua, Waku adalah lelucon kecil yang selalu mengingatkan pada masa lalu.
Mengurus restauran peninggalan ayahnya berarti tidak pernah benar-benar punya kehidupan normal—mulai dari Mengecek stok bahan makanan saat pagi, bersih-bersih hingga larut malam, dan selalu bekerja saat waktu liburan. Waku tampaknya mengerti tekanan itu dan memaafkannya jika dia lupa memutar mesinnya selama satu atau dua hari.
Sekar mengetuk kaca mangkuk itu sambil memikirkan masa-masa sebelum pernikahan—saat dia masih belajar memasak, ketika memasak benar-benar bermakna, dan dia belum merasa terjebak seperti sekarang.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar, membuat Sekar memutar bola matanya. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja rias dengan frustasi.
"Pergi sana, aku sedang tidak ingin diganggu!" teriaknya.
“Apakah kamu terlalu sibuk untuk sekedar mengangkat telepon?” tanya Panji sambil mendorong pintu dan masuk ke kamar Sekar tanpa menunggu izin.
“kamu tahu siapa yang menelponku? Dika! Dia bilang kamu menyuruhnya membuat kulit lumpia sepanjang hari.”
“Aku tidak tahu apa keahliannya. Kenapa kamu mempekerjakan seseorang tanpa memberitahuku?” jawab Sekar, mengangkat kepalanya dan berbalik menghadap Panji.
“Aku sudah memberitahumu, ingat? Malam itu, saat aku masuk dan kamu sedang membuat semacam bubur kuning yang diblender.”
“Kamu bicara padaku saat blender sedang menyala?” Sekar memandangnya dengan tidak percaya.
“Intinya, apa yang sebenarnya terjadi malam ini? Kita punya pertemuan lagi dengan para investor,” kata Panji sambil menyilangkan tangannya di dada.
Sekar mengernyit dan memijat pelipisnya.
“Aku lupa,” jawabnya sambil berdiri. “Oh, dan ngomong-ngomong, terima kasih untuk bunga dan kartu ucapanya. Sangat puitis sekali,” tambahnya sambil berjalan menuju kamar mandi pribadinya.
“Hanya itu? Kita punya acara makan malam, Sekar,” Panji mengejarnya. “Aku terlihat seperti orang bodoh duduk sendirian sepanjang malam.”
Sekar membanting pintu kamar mandi di belakangnya, mengunci Panji di luar, lalu mulai melepas pakaiannya.
“Kamu tahu, aku punya kesibukanku sendiri, dan kamu pasti juga punya.”
“Bukankah sudah jelas, kamu pikir semua uang ini datang hanya karena aku tampan,” Panji menghela napas. “Dengar, kesepakatan ini berlaku dua arah. Jika aku membantumu, kamu juga harus membantuku.”
“Kalau kamu benar-benar ingin membantuku, maka kamu tidak akan berani mengirim pria asing ke dapur ayahku.”
Panji memutar matanya sambil bersandar ke pintu kamar mandi.
“Ayahmu sudah meninggal. Dia tidak punya dapur. Sekarang dapur itu milikmu, dan jangan lupa kalau kamu juga punya seorang suami.”
Pintu kamar mandi terbuka, dan Panji hampir jatuh sebelum akhirnya berbalik menghadap Sekar. Dia sudah berganti pakaian, memakai kaos yang kebesaran dan celana pendek longgar. Rambutnya diikat ke atas membentuk sanggul tinggi.
“Tidak, aku tidak punya suami. Yang aku punya hanyalah seorang majikan.”
“Kenapa kamu selalu memakai pakaian yang terlihat seperti berasal dari kotak sumbangan di tempat penampungan gelandangan?” tanya Panji sambil melirik pakaian yang dikenakannya.
Sekar mendesah sambil memutar matanya. "Ya ampun," katanya sambil menuangkan segelas air dari teko yang ada di atas meja.
"Maafkan aku, kalau aku tidak terlihat seperti model majalah dewasa, seperti sekretarismu" lanjutnya sambil berjalan melewati Panji menuju tempat tidur dan meletakkan gelas itu di nakas samping tempat tidurnya.
Panji menarik pinggang Sekar, membuat mereka berdiri berhadapan. "Menurutku, kamu bisa mengalahkan model-model itu," katanya.
Sekar memandangnya tidak percaya sambil mendorong dadanya, untuk menciptakan jarak. "Aku tidak akan pernah tidur denganmu. Aku tahu tipe perempuan yang kamu bawa masuk ke sini, dan aku bukan salah satu dari mereka."
"Masih belum," balas Panji dengan senyum licik.
"Tidak akan pernah," Sekar menegaskan.
Panji mengangkat bahu. "Jadi, katakan padaku," katanya sambil melihat sekeliling kamar Sekar yang berantakan, "Apa yang harus kulakukan dengan istri yang tidak pernah ada di rumah?"
"Aku juga tidak tahu. Apa yang harus kulakukan dengan suami yang selingkuh?" balas Sekar sambil berjalan pergi.
Panji mendesah, "Baiklah, aku menyerah dengan perempuan lain."
"Oh ya" Sekar berkata sambil membenahi tempat tidurnya. "Jadi sekarang kamu tertarik pada laki-laki? Aku akan pastikan berita itu tersebar besok, kamu kan orang yang sangat menarik perhatian."
Panji mengawasinya naik ke tempat tidur. "Kamu akan menjadi penyebab aku mati muda."
"Baiklah, aku juga akan memastikan asuransi jiwamu sudah diperiksa besok pagi," kata Sekar sambil memukul-mukul bantal sebelum merebahkan kepalanya. "Kamu tidak lupa pintu keluarnya, kan?"
Panji menyilangkan tangan sambil memandangnya dengan wajah cemberut.
"Besok pagi kita akan sarapan dengan keluargaku, pukul tujuh."
Sekar terperanjat. "Itu empat jam lagi!"
Panji tersenyum sambil berjalan menuju pintu. "Sebaiknya kamu mulai meminta Dika untuk bekerja keras."
Sekar mendesah keras sambil mengambil bantal cadangan dan melemparkannya ke pintu kamarnya sebelum pintu ditutup oleh Panji.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'