Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecelakaan
Reyhan memasuki rumahnya dengan langkah berat. Rumah ini terasa begitu hampa. Sejak Mira ‘pergi’, segalanya berubah.
Biasanya, ada suara langkah kakinya yang sibuk menyiapkan sesuatu, ada aroma masakan hangat yang memenuhi udara, ada tawanya yang selalu menyambutnya pulang, sekalipun ia tak pernah menggubrisnya.
Kini?
Yang ada hanya kesunyian yang menyiksa.
Reyhan menatap ruang tamu yang tak berubah sejak terakhir kali Mira berada di sini. Sofa itu, tempat Mira biasa duduk sambil menunggu kepulangannya. Meja kecil di sudut ruangan yang penuh dengan bingkai foto pernikahan mereka, sebelum ia membuang semuanya.
Tangannya mengepal. Ia benci rumah ini. Ia benci kenangan yang terus menghantuinya.
Baru saja ia hendak menuju kamarnya, ponsel di sakunya bergetar.
Bimo.
Reyhan mendengus sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.
“Apa?” tanya Reyhan dingin, nyaris tanpa emosi.
Namun, di balik nada datar itu, dadanya mulai bergemuruh, firasat buruk membisikkan sesuatu yang tak ingin ia dengar.
Di seberang sana, napas Bimo terdengar memburu, seperti dia baru saja habis berlari. Suaranya bergetar, ragu, namun tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang membungkusnya.
“Rey…” Ia seperti menelan ludah sebelum melanjutkan, membuat setiap detik terasa menyiksa.
“Mira masih hidup.”
Reyhan tercekat.
“Apa?” ulangnya pelan, hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri.
Sesuatu yang dingin menjalar ke dalam tubuh, seperti hantaman angin yang membuat nyalinya runtuh. Bimo tak memberi waktu untuk mencerna sepenuhnya.
“Mira mengalami kecelakaan,” katanya dengan suara yang lebih serius. “Dia bersama Hendi saat itu. Sekarang dia dirawat di rumah sakit.”
Seolah ada petir yang menyambar dari langit cerah, kepala Reyhan berdengung, pikirannya serasa runtuh.
"Mira... masih hidup?" gumam Reyhan, lebih kepada dirinya sendiri, mencoba mengurai kenyataan yang terasa ganjil ini.
“Iya, bos,” jawab Bimo tanpa ragu, seperti palu godam yang memaku fakta ke relung jiwa.
“Dia belum mati.” Kata-kata itu menghantam, membuat tubuh ini gemetar tanpa kendali.
Ponsel yang ia genggam hampir saja terlepas dari tangan. Selama ini, ia menjalani hari-hari yang penuh kekosongan, tenggelam dalam kesedihan yang dalam.
Tapi sekarang, bagaimana ia harus menghadapi ini?
Reyhan menelan ludah, berusaha menenangkan diri, tapi napasnya terasa sesak, pikirannya berputar tanpa kendali.
Jika Mira masih hidup, apa artinya semua luka dan kehilangan yang ia alami selama ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa dia bersama Hendi, pria yang selama ini ia pikir tak lagi punya urusan dengan hidup kami?
Bimo masih berbicara, tapi Reyhan bahkan tak mendengarnya lagi. Dunia di sekitarnya.seperti memudar, sementara satu fakta sederhana berdiri di tengah kehancuran itu.
'Mira masih hidup.'
Selama ini, ia tenggelam dalam kesedihan, dalam penyesalan karena merasa telah kehilangan Mira selamanya. Tapi sekarang…
Dia masih hidup.
“Mereka dirawat di mana?” tanyanya cepat, suaranya lebih tegas.
Bimo menyebutkan nama rumah sakit dengan nada hati-hati, tapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, Reyhan sudah menutup telepon.
Ia berbalik, berlari keluar rumah tanpa berpikir dua kali.
Di perjalanan, tangan Reyhan menggenggam setir dengan erat. Napasnya memburu, pikirannya kacau.
Mira masih hidup.
Gadis itu, yang selama ini ia pikir sudah meninggalkannya selamanya, ternyata masih ada di dunia ini.
Harusnya ia marah. Harusnya ia merasa tertipu karena semua orang membiarkannya berpikir bahwa Mira sudah mati. Tapi saat ini, hanya satu hal yang ada di benaknya— Ia ingin melihat Mira.
Ia harus memastikan dengan matanya sendiri.
Mobilnya berhenti dengan kasar di depan rumah sakit. Tanpa menunggu, ia keluar dan berjalan cepat ke dalam, mencari informasi tentang Mira.
Begitu ia mendapatkan nomor kamar Mira, langkahnya semakin cepat. Ia hampir berlari di lorong rumah sakit, melewati perawat dan dokter yang menatapnya dengan heran.
Saat sampai di depan kamar itu, tangannya tiba-tiba berhenti di gagang pintu.
Dadanya berdebar keras.
Ia menghirup napas dalam sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan.
Dan di sana, di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat dan perban di lengannya, Mira terbaring.
Reyhan merasa jantungnya diremas.
Tubuh Mira tampak lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Ada luka di pelipisnya, bibirnya pecah-pecah, tangannya masih diinfus. Gadis itu tampak begitu rapuh.
Di sisi ranjang, Hendi duduk dengan ekspresi tegang, sementara seorang perawat sedang memeriksa kondisi Mira.
Mereka berdua menoleh saat Reyhan masuk.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Hendi langsung berdiri, ekspresi wajahnya berubah tajam.
Reyhan tidak menggubrisnya. Matanya hanya tertuju pada Mira.
Langkahnya perlahan mendekati ranjang itu.
Mira belum sadar. Napasnya teratur, tetapi wajahnya masih tampak kesakitan.
Reyhan mengulurkan tangan, tapi ragu-ragu.
Ia ingin menyentuhnya, ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi. Bahwa Mira benar-benar masih hidup.
Perasaan yang ia kubur selama ini, yang ia sangkal dengan keras, kini muncul ke permukaan dengan begitu menyakitkan.
Ia sudah kehilangan Mira sekali.
Dan kini, Tuhan memberinya kesempatan kedua.
Namun, apakah Mira masih ingin bersamanya setelah semua yang ia lakukan? Setelah semua kebencian yang ia timpakan pada gadis ini?
Perasaan bersalah, penyesalan, dan keinginan untuk memiliki Mira kembali berputar di kepalanya, mencabik-cabik hatinya.
Tanpa sadar, suara lirih keluar dari bibirnya.
“…Mira.”
Untuk pertama kalinya sejak lama, ia memanggil nama itu bukan dengan amarah, bukan dengan kebencian, tapi dengan ketakutan akan kehilangan.
Mira masih di sana, tapi apakah ia masih bisa menggenggamnya?
"Mira...." Reyhan berdiri di samping ranjang, jari-jarinya nyaris menyentuh jemari Mira yang lemah. Matanya menelusuri wajah wanita yang dulu selalu ia abaikan, kini terbaring dengan kulit pucat, bibir kering, dan tatapan kosong.
Saat kelopak mata Mira perlahan terbuka, Reyhan merasa dadanya sesak.
Akhirnya… Mira sadar.
“Mira…” Reyhan memanggilnya dengan suara lirih, nyaris berbisik, seolah takut menyakiti wanita itu jika suaranya terlalu keras.
Mata Mira menatap lurus ke arahnya. Tetapi ada sesuatu yang membuat Reyhan menggigil.
Tatapan itu hampa.
“…Siapa kamu?”
Dada Reyhan seperti ditinju.
Detik itu, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Suara detak jantungnya terdengar begitu keras di telinganya.
Mira tidak mengenalinya.
Reyhan menatap wanita itu, mencari tanda bahwa ini hanya lelucon, bahwa Mira hanya menggodanya. Tetapi tidak ada kehangatan di mata itu. Tidak ada rasa marah, benci, atau bahkan kesedihan.
Hanya kosong.
“Mira, ini aku Reyhan. Aku—” suaranya terdengar serak, sedikit gemetar.
“Aku tidak mengenalmu.”
Reyhan merasa tubuhnya limbung, seolah kakinya tak lagi bisa menopang berat tubuhnya.
Hendi yang berdiri di dekatnya langsung sigap dan mendekati Mira, wajahnya berubah serius.
“Kepalamu sakit?” tanyanya lembut.
“Aku… aku tidak ingat.... Ashhh kepalaku sakit sekali...” Mira memejamkan mata, tangannya meraih pelipisnya dengan lemah.
Reyhan menelan ludah dengan susah payah.
Tidak.
Ini tidak bisa terjadi.
Mira tidak bisa melupakannya.
Hendi segera beranjak ke pintu, suaranya penuh urgensi saat berbicara dengan perawat di luar.
“Panggil dokter sekarang. Kondisinya tidak baik.”
Sementara itu, Reyhan masih terpaku.
Mira benar-benar tidak mengenalinya.
Tangannya mengepal, kukunya menancap dalam ke telapak tangannya, mencoba meredam emosi yang berkecamuk. Apakah ini hukuman baginya? Setelah semua yang ia lakukan, setelah semua penyesalan yang kini menyesaki dadanya, apakah ini balasan yang harus ia terima?
Dokter datang beberapa menit kemudian. Seorang pria berjas putih dengan stetoskop tergantung di lehernya segera memeriksa kondisi Mira. Ia mengajukan beberapa pertanyaan sederhana, nama, tempat, dan waktu, tetapi jawaban Mira membuat hati Reyhan semakin hancur.
“Aku tidak ingat… Aku tidak tahu siapa kamu...”
"Hendi... Siapa dia?" Mira menunjuk ke arah Reyhan yang nampak sangat asing baginya.
"Mira... Dia Reyhan...."
"Hah? Siapa dia?"
Hendi meremas jemarinya dengan gelisah. Sementara Reyhan hanya bisa menatap wanita itu dengan ekspresi kosong.
“Pasien mengalami amnesia akibat cedera kepala,” dokter akhirnya berkata setelah memeriksa rekam medis Mira. “Kita tidak bisa memastikan apakah ini akan berlangsung sementara atau permanen. Tetapi yang terpenting sekarang, jangan memaksanya untuk mengingat.”
Kata-kata itu menusuk jantung Reyhan seperti belati.
Jangan memaksanya untuk mengingat?
Bagaimana bisa ia tidak memaksa?
Bagaimana bisa ia hanya berdiri di sini, melihat Mira yang bahkan tidak tahu siapa dirinya?
“Mira,” Reyhan berbisik, mencoba lagi. “Coba lihat aku sekali lagi. Aku suamimu.”
Tetapi wanita itu hanya menatapnya tanpa emosi.
“Maaf… aku tidak mengenalmu.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Reyhan merasakan sakit yang tidak bisa ia definisikan. Bukan kemarahan, bukan kebencian, bukan kesedihan biasa.
Ini lebih dari sekadar luka.
Ini kehancuran.
Reyhan mundur beberapa langkah, tangannya terangkat untuk menutupi wajahnya yang bergetar.
Bimo, yang baru saja datang, menatap sahabatnya dengan prihatin.
“Rey, ayo keluar sebentar.”
Tapi Reyhan tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa meninggalkan Mira.
Karena jika ia pergi sekarang, mungkin Mira tidak akan pernah mengingatnya lagi.
Atau mungkin… Mira memang tidak pernah ingin mengingatnya.
Dan itu adalah kenyataan yang paling menyakitkan.
Bersambung...