“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
“Bi, cepat ambil air atau minyak kayu putih!” titah Yasir, dia menepuk-nepuk pipi ibunya supaya sadar, mau mengangkat tak kuat sebab bi Atun bertubuh tambun.
“Apa yang kau lakukan, Juriah?!” Bi Atun histeris, sang adik menyiram wajahnya dengan segelas air dingin.
“Maaf, Mbak,” Juriah membantu mengelap baju sang kakak yang basah. Namun, tangannya langsung ditepis.
Yasir menopang tubuh berat ibunya, agar tidak lagi tumbang.
“Kau bercanda ‘kan, Yasir?” dia menatap penuh harap wajah sang anak, berharap apa yang tadi dia dengar hanyalah kabar burung.
Yasir menggeleng, ia juga sulit percaya. Rasanya kepalanya mau pecah, membayangkan berapa nanti kerugian yang wajib diganti.
Bi Atun berusaha duduk tegak, seketika matanya berkaca-kaca. ‘Apa ini yang dinamakan karma?’
Baru saja dia menertawakan sang besan, belum ada hitungan jam, nasibnya lebih sial.
Terdengar deru motor memasuki pekarangan rumah bi Atun, wanita paruh baya itu gegas berdiri hendak melihat siapa gerangan. Matanya melotot sempurna kala mendapati banyak orang turun dari motor.
“Jangan ada yang menggunakan kekerasan. Kita musyawarahkan baik-baik!” Pak Kades memberikan peringatan.
Warga pun mengangguk, walaupun hati mereka masih diliputi emosi.
"Silahkan masuk, semuanya!” Pak Kasim mempersilahkan, sedari tadi ia menunduk.
7 orang bapak-bapak menaiki undakan tangga, mereka duduk di lantai berkarpet plastik.
“Buk,” panggil pak Kasim, meminta sang istri untuk mendekat.
“Kok bisa begitu teledor, Pak? Tolong cerita kronologinya,” tuntut bi Atun, ia duduk di samping sang suami.
Pak Kasim dan dua orang keponakannya, membakar tumpukan pohon cabe yang sudah kering, agar lahannya bisa ditanami lagi. Tapi, tiba-tiba pak Kasim sakit perut, ia pun meminta sang keponakan untuk memantau nyala api agar tidak membakar lahan orang lain.
Selepas buang hajat yang lumayan lama di sungai, pak Kasim begitu terkejut melihat api sudah merambat dan membesar melahap area sekitarnya. Sang keponakan pun entah kemana. Ternyata mereka asik menembak burung Punai.
“Bodoh! Kau lihat anakmu, Juriah! Akibat ulah mereka aku rugi bandar!” bi Atun menggeram, rahang mengetat, dadanya kembang kempis.
“Nanti saja kalau mau saling menyalahkan! Kita datang kemari bukan untuk menonton perdebatan kalian. Tapi, meminta pertanggungjawaban!” dengus salah satu warga yang langsung di iyakan lainnya.
Yasir mengelus pundak sang ibu agar emosinya tidak lagi meledak-ledak.
Musyawarah pun berjalan alot, bi Atun menolak mentah-mentah tuntutan jumlah ganti rugi. Namun, nyalinya menciut kala para warga mau membawa perkara ke meja hijau. Mau tak mau bi Atun pun menyetujui.
Begitu rombongan tadi sudah pergi. Bi Atun mengamuk bagai orang kesetanan, mencaci maki sang keponakan.
“Nirma sini kau!”
Nirma yang sedari tadi menguping di dapur terkejut, tangannya otomatis mengelus perut. Takut-takut ia mendekati ibu mertuanya.
"Mana hasil penjualan kebun karet? Kau harus membantu membayar kerugian.” Bi Atun mencengkram lengan Nirma.
“Sakit, Buk!” Nirma meringis sakit, berusaha melepaskan diri.
“Uang apa, Buk? Sertifikatnya saja belum jadi. Calon pembeli enggan memberikan uang muka kalau belum ada sertifikatnya,” sanggah Nirma. Nggak akan mau dia membantu satu sen pun, enak saja!
Argh.
Bi Atun kembali berteriak, membanting asbak rokok.
Tidak ada yang berani menegur wanita berbobot 80 kilo itu, mereka semua takut kena imbasnya.
***
“Amala, sini kau!" Begitu Amala mendekat, si ibu melihat isi ember yang sudah kosong. "Lah ... mana sayur matang yang kau jajakan?”
“Sudah habis, Makcik,” beritahu Amala.
“Cepat kali. Bagaimana ini? Begitu mendengar kau berjualan sayur matang, saya sengaja tidak belanja bahan makanan,” gerutunya merasa kecewa.
Amala tersenyum, dalam hati mengucap syukur. Banyak orang yang menyukai masakannya.
"Tenang saja Makcik. Selepas ashar, saya keliling lagi ke arah atas.”
“Benar itu?”
Amala mengangguk.
“Alhamdulillah lah. Jangan diam saja kalau nanti lewat rumah ku, ya?” pinta makcik.
“Mana mungkin saya berani menolak rezeki. Pasti nanti saya panggil … Amala pulang dulu ya, Makcik,” pamit Amala.
.
.
“Bagaimana, Nak?” Mak Syam menyambut Amala, tangannya mengambil ember di atas kepala putrinya, senyumnya merekah melihat wadah yang telah kosong. “Alhamdulillah laris.”
“Alhamdulillah, Mak. Malahan banyak yang belum kebagian. Mereka pada menunggu kloter kedua,” ucap Amala sambil tersenyum.
Mungkin ini yang dinamakan ‘Habis gelap terbitlah terang’. Gagal panen, bukan berarti kehilangan segalanya. Cabai yang semula dikira akan terbuang, ternyata berkat tangan kreatif Amala bisa menjadi olahan lezat.
Sudah 2 hari Amala keliling jualan sayur matang. Sambal teri cabai hijau, sambal Padang + rebusan daun singkong. Hasilnya Alhamdulillah sekali.
“Tempenya besok jadi ‘kan, Mak?” tanya Amala, ia sedang membuat inti kue dadar.
Mak Syam membuka daun pisang pembungkus tempe yang dia buat sendiri. “Besok pagi sudah bisa di masak, Nak.”
Amala mengangguk, ia mulai menggulung kue dadar.
“Mengenai tawaran Wahyuni, bagaimana menurut, Mamak?” tanyanya tanpa melihat sang ibu.
“Saran Mamak, kau tolak halus saja. Kita coba menekuni usaha kecil-kecilan ini dulu. Lagipula tak enak lah kalau terus-terusan ditolong,” usul Mak Syam.
‘Sangat memalukan Nak, tiga kali mamak menolak lamaran nak Agam, tetapi senang hati menerima uluran tangan darinya. Sungguh mamak mu ini tak tahu diri Amala,’ sambung Mak Syam dalam hati.
“Iya, sih. Mereka selalu membantu tanpa pamrih,” timpal Amala. Masih segar dalam ingatan, begitu tahu ia gagal panen, Wahyuni datang hendak membeli buah cabai yang rusak.
Namun, Amala menolaknya. Dia tidak mau memanfaatkan tali persahabatan mereka. Sesungguhnya semua itu atas permintaan Agam.
Wahyuni juga meminta anak sulung Mak Syam, untuk memasak makan siang sebanyak 21 kotak diperuntukkan bagi pekerja Agam Siddiq. Dia juga menawarkan pekerjaan menjahit ataupun membuat aksesoris keperluan dekorasi pesta. Namun, Amala masih pikir-pikir mau menerimanya atau tidak.
.
.
“SAYUR MATANG, MENU UNTUK MAKAN MALAM. SIAPA YANG HENDAK MEMBELI?”
Sepanjang jalan Amala berteriak agar suaranya didengar para warga desa. Sedikitpun ia tak terlihat malu. Sebelah tangannya memegangi ember di kepala, satunya lagi menjinjing kotak persegi.
“Kak Amala kami mau beli,” ucap dua orang wanita yang satu tahun lebih muda dari Amala, tetapi mereka sudah menikah dan memiliki anak.
Amala menepi dari jalan berbatu, ia menurunkan baskom besar. “Silahkan di pilih!”
“Aku mau dua mika ini, Kak.” Tari mengambil menu yang dia sukai.
Amala memasukkan pilihan Tari ke dalam plastik. “Ini kue dadarnya gratis ya, kalau beli dua menu dapat satu kue.”
“Aku mau juga kalau gitu.” Nita pun ikutan ambil dua menu.
“Kalian baru pulang kerja ya?” tanya Amala, dia tahu dua wanita ini bekerja di tempat bang Agam sebagai penjahit.
Mereka mengangguk.
“Oh ya … Kakak kenal tidak dengan Rina?” tanya Tari.
“Siapa?” Amala balik bertanya.
“Anaknya Pak lurah. Sekarang dia sudah menjadi bidan, mulai minggu depan bakalan bertugas di puskesmas,” beritahu Tari.
“Baguslah, dengan begitu pelayanan kesehatan di puskesmas menjadi lebih cepat tanggap, kalau ada imunisasi tidak lagi lama mengantri dikarenakan kekurangan tenaga medis,” balas Amala.
“Kalau tentang itu sih bagus. Tapi, nggak bagusnya kalau dia beneran akan menikah dengan bang Agam.”
“Hah, benarkah itu …?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu
karya ini luar biasa