“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DHIEN ~ Bab 15
Kita sama-sama tak punya Ayah, bisa jadi itu cara-Nya ... Mendekatkan kita, agar bisa saling menjaga.
...----------------...
Mau tidak mau Meutia harus ikhlas meninggalkan si Samson untuk sementara waktu, motor yang tengah sekarat itu dibiarkan tetap terbalik.
“Lewat sini saja! Tia, tak mau melangkah lebih jauh lagi!” Meutia keukeuh meminta mengambil rute melewati bekas pembakaran ilalang.
“Ya sudah!”
Dhien dan lainnya mengalah, mereka satu persatu keluar dari parit dengan saling tolong-menolong mengulur dan menarik tangan.
Kaki ke enam orang itu sudah dipenuhi abu, apalagi ini musim kemarau yang sama sekali belum ada turun hujan.
“Kak, Mala!” Tia menyamakan langkahnya dengan Amala. “Nanti bila Abang tanya tentang Samson, Kakak yang jawab ya!”
Amala berhenti, keningnya mengernyit dalam. “Kenapa aku?”
“Cuma dengan Kakak lah Abang akan menurut! Kalau sama Tia pasti ujung-ujungnya … si Samson bakalan disimpan dalam gudang.”
“Mengapa bisa macam tu? ‘Kan Tia, yang jadi adiknya Bang Agam.”
“Is is … Kakak ni, betulan tak peka atau memang sedikit PAOK sih? Sudah sangat jelas loo, kalau Abang tu_”
“Tia! Kau yang berulah, maka sudah sepatutnya dirimu lah yang bertanggung jawab!” Dhien menyela, menghentikan kalimat rahasia.
Meutia mencebik, wajahnya bertambah jelek saja. “Maksudnya tu, Kak Mala yang jawab, lalu selebihnya … Tia lah si penanggung jawab.”
“Bisa nya rupanya macam tu, Kak?” Danang bertanya.
“Mana bisa. Pasti hanya akal-akalan Kak Tia saja!” tuduh Ayek.
“Apa kau cakap? Rasakan ni!” Sekuat tenaga, Meutia melompat tinggi lalu menjejak tanah, membuat serpihan abu berterbangan.
BUM.
“Astagfirullah … Meutia!” Dhien berteriak, lainnya terbatuk-batuk, sedang si tersangka sudah lari terbirit-birit.
Ha ha ha ….
BUGH.
“Ayah!” Sosoknya kembali terjengkang, lantaran tidak memperhatikan jalan, dan dirinya yang mundur kebelakang tersandung tunggul lumayan besar.
Saking kesalnya, Meutia bangkit lalu menendang batang kayu tadi, berakhir dirinya yang mengadu kesakitan.
“Kualat kau tu! Jadi anak gadis bukannya kalem, tapi bertingkah terus! Terkadang aku suka memikirkan siapa jodohmu kelak, Tia. Apa ya ada yang tahan dengan sikap anehmu ni?” cibir Dhien yang sudah berdiri di sebelah Meutia.
Meutia berjalan terpincang-pincang, mulutnya terus menggerutu.
“Berani pijak lah lagi tu abu, langsung ku banting kau, Tia!” ancam Dhien kala menatap kaki Meutia yang sudah siap-siap hendak melompat lagi.
“Ayah! Kak Dhien jahat! Tolong nanti malam datang ke mimpinya, takutin dirinya sampai terkencing-kencing!”
“Kau tak lupa ‘kan? Kalau Bapak kita sama-sama telah tiada? Sebelum Ayah Abdul datang, sudah dihadang oleh Ayah Syamsul, berantam lah mereka, sampai lupa apa tujuan sebenarnya, dan terakhir bakalan dipisah oleh Bapak Abidin!”
“Ternyata kita senasib sepenanggungan ya, Kak! Sama-sama tak punya Bapak, mungkin ini cara Tuhan mendekatkan kita, agar bisa saling menjaga … Alamak, bisa juga kau cakap dewasa Tia! Sudah pantaslah menikah muda macam Kak Wahyuni!” pujinya pada diri sendiri.
Dhien yang tadi mau memuji, malah tidak jadi kala mendengar kalimat terakhir Meutia. “Kau menikah muda? Alamat masuk rumah sakit jiwa lakik mu nanti!”
“Cepat lah kalian bersih-bersih, lalu kita menyebrangi sungai!” Mala menengahi.
Dhien dan Mala menuruni jalan sedikit menanjak, dibawah sana ada meja papan dengan cagak terendam air sungai, yang biasa digunakan para warga untuk mencuci baju.
“Lah … mana si gila tu?” Dhien menoleh kebelakang.
“Tia!”
Terlambat, sosok hitam bagai arang itu sudah bersiap-siap hendak terjun bebas dari titi gantung, dia mengikat ujung hijab segi empat nya di belakang leher, sandal gunungnya pun tidak dilepaskan.
“Ayo Kak! Satu … dua … tiga ….
BYUR.
Meutia dan ketiga anak Kurcaci terjun lalu menyelam di sungai berair jernih.
“Dia anak orang bukan sih, Mala? Heran kali ku tengok nya!” Dhien menggerutu seraya membasuh lengan serta kaki.
Mala yang sudah selesai membasuh wajah pun menjawab. “Entahlah! Tapi, kalau tak ada nya didekat kita, sepi rasanya.”
Dhien mengangguk, mereka duduk di papan, kaki dimasukkan ke dalam air seraya memperhatikan Meutia dan lainnya berenang sesekali menyelam.
“Dhien … buku nikah mu di mana? Tak ketinggalan ‘kan? Terus macam mana dengan sepedamu …?” tanyanya Amala beruntun.
“Dalam plastik tu ada kedua buku nikah!” Tunjuk Dhien pada kantong hitam terikat kuat yang sedari tadi dibawahnya terus. “Sebelum berulah, sepeda sudah ku titipkan pada tetangga. Besok nya antar kerumah!”
“Alhamdulillah,” Amala bernapas lega .
“Apa rencanamu setelah ni?”
Dhien tersenyum culas, ekspresinya penuh maksud tersembunyi, lalu dia menceritakan rencana yang sudah tersusun sempurna.
“Kau yakin hendak melakukannya sendirian? Tak butuh bantuan ku?”
“Untuk yang satu tu, tak perlu. Tapi, setelahnya aku butuh kau temani, Mala!” ucapnya seraya menatap hangat wajah sang sahabat.
“Pasti ku temani!”
***
Sementara di tempat lain.
“Nek Blet! Kembalikan kambingnya! Kalian sudah membohongi kami!” Ramlah berteriak di depan teras rumah Nek Blet.
Ayie dan Winda bergegas keluar, betapa terkejutnya mereka melihat Ramlah dan kedua anaknya yang berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa ni? Masuklah dulu! Malu di lihat tetangga!”
Ramlah pun mengalah, tentu dirinya tidak mau dikatai oleh para tetangga.
Begitu sudah duduk pada sofa ruang tamu, datanglah Nek Blet bersama Indri, sedangkan Idris serta Zulham sedang sabung ayam di kota kecamatan.
“Apa maksud kau ingin mengambil kembali Kambing seserahan, Ramlah?”
“Aku merasa telah dibohongi! Ternyata Dhien bukanlah sosok penurut, tetapi perusuh, penjahat, serta tukang mengamuk! Habis barang-barang mahal ku nya hancurkan!” adu nya menggebu-gebu, lalu menceritakan kejadian beberapa jam lalu.
“Tak bisa macam tu! Walau bagaimanapun, si Fikar sudah menggaulinya. Maka, seserahan pernikahan tetap menjadi milik kami!”
BRAK.
Fikar menggebrak meja kayu lapis kaca.
“Karena cucu kau tu, Burung ku nyaris cacat! Bukan cuma tu saja, teras kami pun ambruk! Bila kalian enggan mengembalikan Kambingnya, jangan salahkan kalau ku bakar sekalian kandangnya!” ancamnya tidak main-main.
Tentu Nek Blet takut, tetapi tetap keukeuh ingin mendapatkan bagian, setelah perdebatan alot nan panjang. Kesepakatan pun telah diputuskan, Ramlah hanya membawa satu ekor Kambing saja.
Selepas kepergian Ramlah dan anak-anaknya.
“Kurang ajar anak pembawa sial tu! Selalu saja berulah dan tak bisa diarahkan!” Tangan tua nya terkepal erat, Nek Blet sungguh murka.
“Sudah Mak, tak baik emosi macam tu! Nanti kambuh darah tinggi Mamak! Lagipula kita juga masih punya 9 ekor Lembu dari uang asuransi Bang Syamsul.” Ayie mencoba menenangkan sang ibu dengan mengusap pundaknya.
“Indri, Winda. Kalian ikat betul-betul tu Kambing, jangan sampai lepas apalagi hilang! Sial betul, harusnya menambah harta kita, ini malah berkurang karena Dhien!”
“Wanita pembawa sial tu masih tak tahu ‘kan, tentang uang kecelakaan? Si Inong sampai sekarang masih tutup mulut ‘kan?” entah mengapa hatinya menjadi tidak tenang, Dhien yang sekarang seperti sosok lain, lebih pembangkang.
“Beres, Mak! Selama Zulham masih di pihak kita, Inong takkan berani buka suara!” ucapnya begitu yakin.
.
.
“Ya ampun! Baru sehari menikah, sudah menjanda saja kau! Apa betul dirimu hamil anak laki-laki lain, Dhien? Sehingga langsung diceraikan oleh si Fikar ...?”
.
.
Bersambung.
Kakak ... Setuju tidak ya, kalau kisah Dhien ini, saya selipkan sedikit perjalanan cinta Meutia dengan Ikram? Tapi, tetap alur Dhien yang dominan, mereka hanya sisipan saja✌️😁
duh Abang Agam bikin diriku malu🤭
Kumenanti BONCHAP nya
Sehat selalu thor
terimakasih Thor cerita nya mantull
klu boleh kasih boncap dong Thor blm rela tamat