Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 13
Sofia baru saja akan membuka pintu mobil ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang.
Dengan reflek, Sofia menyentakkan tangannya dengan keras, membuat orang itu sedikit terhuyung ke belakang. Saat ia menoleh, wajahnya tetap datar melihat siapa yang telah menahannya.
Robin.
Mata lelaki itu menatapnya dengan ekspresi dingin. Ada sesuatu dalam sorot matanya, bukan hanya kemarahan, tapi juga sesuatu yang lain.
"Kau pikir pengadilan akan begitu saja mengabulkan gugatan cerai ini hanya karena kau lelah dengan urusan rumah tangga?" suara Robin terdengar rendah namun penuh tekanan.
Sofia tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu tanpa emosi.
Robin melanjutkan, "Dan ingat ini baik-baik, Sofia. Jika kau melangkah pergi dari rumah ini, jangan pernah memohon untuk kembali."
Dari belakang, Mikaila dan Reno ikut bersuara.
"Kalau Mama pergi, jangan harap kami akan menganggap Mama sebagai ibu lagi!" Reno menatap Sofia dengan penuh kebencian.
"Benar! Sejak awal, Mama memang ibu yang egois! Pergilah! Kami tidak membutuhkan Mama!" Mikaila menimpali dengan suara tajam.
Vanessa yang berdiri di samping Robin tetap mempertahankan wajah tenangnya, namun dalam hati ia merasa geram. Sofia memang harus pergi.
Saskia, ibu mertua Sofia, menambahkan dengan nada mencemooh, "Sofia, kau sudah setengah abad! Bisa apa kau setelah pergi dari rumah ini? Tanpa Robin, kau bukan siapa-siapa!"
Sebenarnya, di balik semua kemarahan dan ancaman itu, ada sesuatu yang lebih besar yang mereka sembunyikan.
Robin dan Saskia tidak ingin Sofia pergi. Bukan karena mereka mencintainya.
Tapi karena ada sesuatu yang mereka takutkan akan terbongkar.
Namun, meskipun semua orang menyerangnya dengan kata-kata kasar dan ancaman, ekspresi Sofia tetap tidak berubah.
Dengan suara yang tenang dan penuh keyakinan, ia berkata, "Pengadilan akan mengabulkan permintaanku."
Robin mendengus. "Aku akan mengajukan keberatan pada pengadilan. Aku punya kenalan di sana. Kau pikir kau bisa menang melawan aku?"
Sofia tiba-tiba tersenyum tipis. Dengan langkah tenang, ia mendekati Robin dan Vanessa yang berdiri di sampingnya.
Lalu, Sofia berbisik pelan—hanya cukup untuk didengar oleh Robin dan Vanessa.
"Kalau kau mempersulit perceraianku, maka video perselingkuhanmu dan Vanessa akan tersebar."
"Bayangkan apa yang akan terjadi jika video itu keluar ke publik. Reputasimu sebagai dosen terkenal akan hancur. Dan Vanessa? Nama besarnya sebagai desainer akan runtuh dalam sekejap."
Deg!
Robin langsung menegang. Mata Vanessa juga melebar penuh keterkejutan.
Mereka pikir mereka telah menutupi semuanya selama puluhan tahun.
Mereka pikir Sofia tidak tahu apa-apa. Tapi ternyata … Sofia tahu. Selama ini, ia hanya diam dan menunggu saat yang tepat.
Saskia, Mikaila, dan Reno yang melihat perubahan ekspresi Robin dan Vanessa mulai merasa curiga.
"Apa yang Mama bisikkan tadi?" Mikaila bertanya dengan nada tajam.
"Iya, apa yang kau katakan?" Reno ikut bertanya.
Tapi Sofia hanya tersenyum tipis. Ia tidak perlu menjelaskan apa pun kepada mereka.
Robin akhirnya menarik napas panjang, lalu menatap Sofia dengan ekspresi dingin.
"Baiklah. Kau boleh pergi. Tapi jangan pernah kembali. Dan jangan bawa satu pun barang berharga dari rumah ini!"
Sofia mengangkat dagunya sedikit. "Aku tidak membutuhkan barang dari rumah ini. Aku sudah mengembalikan semuanya. Bahkan perhiasan-perhiasan juga masih utuh di lemari."
Robin terdiam.
Sofia menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan suara tenang, "Selamat tinggal."
Setelah itu, Sofia masuk ke dalam mobil dan pergi—tanpa pernah menoleh ke belakang lagi.
Sofia menghela napas panjang saat mobil melaju menjauh dari rumah yang telah ia tinggali selama lebih dari dua puluh tahun.
Tak ada air mata.
Tak ada penyesalan.
Yang ada hanya tekad yang semakin kuat.
Dulu, Sofia selalu berpikir bahwa cinta bisa ditumbuhkan. Ia meyakini bahwa jika ia cukup sabar, cukup berjuang, maka suatu hari Robin akan mencintainya.
Sofia berpikir bisa meluluhkan hati suaminya yang beku karena perjodohan mereka. Tapi ternyata … itu hanya ilusi yang ia buat sendiri.
Robin tidak pernah mencintainya. Dari awal, ia sudah kalah.
Sofia mengorbankan segalanya untuk sebuah pernikahan yang ternyata hanya satu sisi. Ia menahan sakit, pengkhianatan, dan penghinaan dengan harapan suatu hari Robin akan melihatnya.
Tapi sekarang … semuanya jelas. Robin tidak pernah melihatnya.
Mikaila dan Reno hanya menganggapnya sebagai pelayan, bukan ibu mereka.
Dan kini, Sofia tidak ingin membuang lebih banyak waktu untuk orang-orang yang tidak pernah menginginkannya.
Tanpa sadar, Sofia mengepalkan tangannya. Sekarang, ia hanya akan hidup untuk dirinya sendiri. Karena terlalu larut dalam pikirannya, ia tidak menyadari bahwa mobil telah berhenti.
Sopir yang mengantarnya berdehem pelan. "Nyonya, kita sudah sampai."
Sofia tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke luar jendela dan melihat gedung apartemen yang berdiri menjulang di depannya.
Ini rumah barunya.
Tanpa ragu, Sofia membuka pintu mobil dan turun. Dengan penuh percaya diri, ia melangkah ke dalam gedung, melewati lobi yang bersih dan elegan, lalu masuk ke dalam lift.
Sofia menekan tombol lantai 25.
Saat pintu lift tertutup dan naik ke atas, Sofia menatap pantulan dirinya di cermin lift.
Wanita berusia 48 tahun itu masih tampak anggun, dengan tatapan mata yang tidak lagi dipenuhi kesedihan, melainkan keteguhan.
Ini adalah awal yang baru.
Dan Sofia bersumpah, ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang berbeda.
*****
Setelah kepergian Sofia, keheningan yang mencekam menyelimuti rumah keluarga Rahardian.
Robin berdiri di depan pintu, tatapannya kosong menatap jalanan tempat mobil Sofia menghilang.
"Pulanglah dulu, Van," kata Robin datar.
Vanessa tersentak kecil, tangannya mengepal karena baru kali ini Robin mengusirnya meski secara halus. Namun, dengan cepat Vanessa menguasai wajahnya.
Vanessa menyentuh lengan Robin dengan lembut. “Baik. Aku pulang dulu,” katanya dengan suara pelan.
Robin hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Vanessa masuk ke mobilnya dan pergi, meninggalkan Robin dengan keluarganya yang masih diliputi keterkejutan.
Tanpa banyak bicara, Robin melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Saskia, Mikaila, dan Reno.
Begitu pintu tertutup, suasana menjadi semakin tegang.
Saskia segera menarik lengan Robin, menuntunnya ke dalam kamar.
"Kita harus bicara!" seru Saskia. Mikaila dan Reno hanya menatap nenek dan ayahnya, lalu masuk ke kamar masing-masing.
Di dalam kamar Saskia, wanita paruh baya itu menatap putranya dengan ekspresi marah sekaligus cemas.
“Kenapa kau membiarkan Sofia pergi begitu saja?” suara Saskia penuh tuntutan.
Robin, yang masih berdiri di samping tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kasar.
“Apa aku harus menahannya, Bu?” jawabnya dingin.
Saskia mendengus. “Tentu saja! Kita tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja! Bagaimana kalau orang itu tahu?”
Robin menatap ibunya, tatapannya tajam.
“Sudah puluhan tahun, Bu. Orang itu pasti sudah punya kehidupannya sendiri. Dia bahkan mungkin sudah melupakan semuanya.”
Saskia tampak tidak yakin. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan gelisah.
“Kau yakin? Bagaimana kalau dia belum melupakan? Bagaimana kalau dia masih mencari?”
Robin menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Itu hanya ketakutan Ibu saja. Jangan terlalu paranoid.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang mengusik pikirannya.
Karena jika Sofia tahu perselingkuhannya dengan Vanessa … maka bukan tidak mungkin, suatu hari nanti, rahasia yang lebih besar juga akan terungkap.