Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Para tamu yang hadir di ruangan itu langsung terdiam mendengar ucapan wanita yang tiba-tiba muncul. Kegemparan mulai terasa ketika mereka saling berbisik, mencoba memahami situasi yang terjadi. Suasana pernikahan yang seharusnya penuh sukacita berubah tegang.
Mark, yang berdiri di sudut ruangan, tampak cemas. Wajahnya memerah, dan jemarinya menggenggam gelas minuman dengan erat. Kekhawatiran membayangi pikirannya—pernikahan putrinya, Pinky, bisa saja hancur karena kehadiran wanita itu.
Wanita tersebut melangkah maju dengan percaya diri, matanya menatap lurus pada Pinky.
“Dia pacarmu dan sudah mengandung anakmu?” tanya Pinky, suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya.
Jimz, yang berdiri di samping Pinky, menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Tidak sama sekali, dia bukan siapa-siapa,” katanya dengan nada penuh pembelaan, meski matanya sedikit panik.
Wanita itu tidak terima. Dengan gerakan dramatis, dia mengeluarkan setumpuk foto dari tasnya dan melemparkannya ke udara. Foto-foto itu bertebaran seperti salju yang turun, berjatuhan di lantai marmer yang mengkilap. Para tamu terkejut, beberapa dari mereka mulai mengambil foto-foto itu dengan rasa penasaran.
Pinky mengambil salah satu foto yang terjatuh di dekat kakinya. Matanya melebar saat melihat bukti yang tak terbantahkan. Dalam foto itu, jelas terlihat Jimz bersama wanita tersebut, bahkan mereka berdua terlihat mesra di beberapa tempat yang berbeda. "Dia pacarmu," kata Pinky dengan nada dingin. "Bukan hanya itu saja, kalian juga telah keluar masuk hotel. Apakah kau masih tidak mau mengakuinya?" Dengan penuh emosi, dia melempar foto itu ke arah Jimz.
Jimz mengelak, meski kini sikapnya lebih defensif. “Kenapa kalau aku ada hubungan dengannya? Itu bukan urusanmu juga!” katanya dengan suara meninggi. Kemudian, dia menatap Pinky dengan tajam. “Jangan lupa, ayahmu telah menerima sejumlah uang dari ayahku. Hari ini, setuju atau tidak, pernikahan ini akan tetap berjalan.”
Wanita itu, yang berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, langsung memotong. “Kau masih ingin menikahi jalang ini?” suaranya melengking, menggema di seluruh ruangan. “Bagaimana dengan janin yang ada di dalam perutku?”
Ruby, ibu Pinky, yang sejak tadi hanya mengamati dengan marah, tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya memerah, dan matanya menyala penuh kemarahan. “Siapa yang kau sebut jalang, hah? Jaga mulutmu!” bentaknya dengan suara keras, membuat wanita itu sedikit mundur ke belakang.
Mark segera melangkah maju, mencoba mengendalikan situasi yang semakin memanas. “Sudah! Sudah! Ruby, duduk! Jangan ikut campur!” bentaknya, mencoba menenangkan istrinya yang sudah kehilangan kesabaran.
Ruby mendelik pada Mark, tidak terima atas bentakannya. “Pinky adalah putriku,” katanya dengan nada tajam, berdiri tegap seolah menantang suaminya. “Aku tidak akan diam saja, dan aku tidak akan setuju dengan pernikahan ini.”
Mark menghela napas panjang, merasa kontrolnya mulai hilang. “Diam!” bentaknya lagi, kali ini lebih keras.
Namun, Pinky, yang selama ini mencoba menahan emosinya, akhirnya angkat bicara. Dia memandang ayahnya dengan sorot mata penuh luka. “Papa, kenapa kau membentak Mama? Kau yang menerima uangnya, kenapa bukan kau saja yang menikah?” katanya tajam, membuat semua tamu terdiam kembali.
Wajah Mark memerah mendengar ucapan putrinya. Dia berusaha tetap tenang, meskipun nadanya terdengar tegang. “Jangan bicara sembarangan!” katanya dengan nada memerintah. Kemudian, dia menunjuk wanita yang berdiri di tengah ruangan. “Wanita ini, walaupun telah hamil anaknya, satu-satunya cara adalah memberi dia uang dan biarkan dia pergi. Pinky, Jimz hanya akan menjadi suamimu.”
Pinky mendengus sinis. Dia memandang Jimz dengan jijik sebelum berjalan ke arah meja kue. “Masalahnya adalah,” katanya dengan nada rendah, namun penuh penekanan, “aku tidak berminat menjadi istrinya.”
Seketika itu juga, Pinky mengambil sepotong kue dari meja, mengangkatnya dengan kedua tangan, lalu menempelkannya ke wajah Jimz dengan penuh kemarahan. Ruangan yang tadinya penuh bisik-bisik berubah menjadi hiruk-pikuk. Para tamu terkejut, dan Jimz hanya bisa berdiri terpaku, wajahnya penuh kue, sementara Pinky berjalan pergi dengan langkah tegas tanpa menoleh ke belakang.
Dev dan asistennya hanya menonton kejadian itu tanpa berusaha campur tangan. Mata mereka mengikuti setiap gerak-gerik Pinky yang terlihat emosional, tapi tegas.
Ketika Pinky ingin melangkah pergi, Mark, ayahnya, dengan cepat menghentikan langkahnya, memegang lengan gadis itu dengan kasar. "Berhenti! Kau ingin ke mana?" suaranya terdengar berat dan penuh tekanan, mencerminkan ketidaksukaannya atas keputusan Pinky.
Pinky, dengan sorot mata tajam, menepis tangan ayahnya. "Ingin pulang dan tidak ingin menikah," jawabnya dengan nada dingin, sebelum akhirnya beranjak pergi, meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh lagi.
---
Malam Hari
Mark pulang ke rumah dengan langkah berat, wajahnya memancarkan kemarahan yang tertahan sejak siang tadi. Begitu memasuki ruang tamu, suaranya menggema memenuhi ruangan.
"Aku harus ganti rugi karena kau menggagalkan pernikahan ini!" bentaknya, penuh emosi. Matanya memandang tajam ke arah Pinky yang berdiri bersama Ruby. "Kenapa kau tidak pernah dewasa dan selalu bertindak sesuka hati?"
Pinky, yang berdiri dengan tangan terlipat, menatap ayahnya tanpa rasa takut. Suaranya terdengar jelas dan tegas saat ia membuka mulut, "Apakah aku adalah anakmu atau hanya boneka yang diperjualbelikan? Sudah tahu kalau dia menghamili wanita lain, masih saja ingin aku menikah dengannya. Apakah kamu tidak peduli dengan kebahagiaanku?"
Mark mendengus, suaranya penuh sinis. "Kebahagiaan itu ada pada uang. Selagi kau punya banyak uang, kau akan bahagia. Jangan bersikap seperti anak kecil!"
Ruby, yang dari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tajam dan penuh amarah. "Diam, Mark! Jangan keterlaluan! Tidak semua orang seperti dirimu yang gila uang hingga tega menjual putri sendiri. Pinky adalah anakku, dan aku tidak akan membiarkan dia menikah dengan pria tidak tahu malu itu."
Mark berbalik menatap Ruby dengan pandangan merendahkan. "Kau terlalu memanjakan anak. Tak heran dia jadi seenaknya!"
Pinky menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, tapi amarah jelas terpancar dari raut wajahnya. "Jangan salahkan Mama! Aku juga tidak sudi menikah dengan pria seperti Jimz, yang jelas-jelas pemain wanita. Dia mirip denganmu, pria tidak setia pada satu wanita. Tentu saja kau setuju aku menikah dengannya. Kalau kau takut rugi, jual saja anak perempuanmu yang lain padanya. Kau pasti akan hidup mewah, kan?!"
"Adikmu lebih dewasa darimu, dia pintar dan mengejar cita-citanya, sedangkan dirimu? Coba bercermin!" ketus Mark dengan nada merendahkan. Matanya menatap Pinky penuh hina, seolah menyalahkan segala kekurangan gadis itu pada dirinya sendiri.
"Dia bisa mengejar cita-citanya karena dapat biaya darimu!" bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. "Sementara aku? Aku harus berhenti sekolah karena Papa miskin dan tidak mampu membiayai aku! Jadi jangan salahkan aku. Salahkan saja dirimu sendiri yang tidak mampu!"
Selesai melontarkan kata-kata itu, Pinky berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya. Begitu tiba di pintu, dia membantingnya dengan keras, gemanya mengguncang suasana rumah yang sudah panas sejak tadi.
Mark terpaku sejenak, seolah tak percaya Pinky berani berkata seperti itu padanya. Amarahnya meledak, dan dia berteriak, "Keluar! Aku belum selesai bicara! Ulangi apa yang kau katakan tadi!"
Namun, tidak ada jawaban dari dalam kamar. Hanya keheningan yang menjawab, seakan Pinky sengaja menutup dirinya dari semua ucapan sang ayah.
Ruby, yang berdiri menyaksikan adegan itu, tidak bisa lagi menahan diri. Dengan mata penuh kemarahan, dia memandang suaminya. "Apakah kau belum puas menyakiti Pinky?" tanyanya tajam, suaranya penuh rasa kecewa.
Mark memutar badannya, menghadapi Ruby dengan ekspresi tidak terima. "Kalau bukan karena kau yang selalu memanjakan anak ini, mungkin sekarang dia tidak akan selalu melawan aku!" balasnya kasar.
Ruby tertawa pahit, tetapi tidak ada rasa humor di wajahnya. Dia melangkah mendekat, menunjuk dada Mark dengan jari yang gemetar karena emosi. "Melawanmu? Kau menyalahkan aku?" Suaranya naik, penuh dengan emosi yang terpendam bertahun-tahun. "Apakah kau sudah pikun dengan apa yang kau lakukan padanya dulu? Pinky adalah anak yang paling ceria dan patuh padamu. Tapi kenapa sekarang dia melawan setiap perkataanmu? Seharusnya kau tahu jawabannya, Mark! Jangan salahkan dia, dan jangan salahkan aku."
Ruby menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang hampir jatuh. "Sebagai seorang ayah, kau sudah membuatnya kecewa begitu dalam hingga perasaannya terluka. Pinky tidak akan bisa memaafkanmu, bahkan jika kau berlutut di hadapannya," lanjutnya dengan suara yang bergetar, meninggalkan Mark dengan rasa bersalah yang enggan diakuinya.
Mark berdiri diam, terhenyak oleh ucapan Ruby. Tidak tahu apa yang telah dia lakukan terhadap Pinky yang dulunya dikenal sebagai gadis ceria dan patuh. Namun, kini berubah menjadi seorang gadis yang lebih suka melawan ayahnya.