Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebakaran
Kami tiba-tiba mendengar suara dobrakan dari arah luar. Kami pun mencoba untuk tenang dan berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tetapi dobrakan terus datang secara bertubi-tubi. Kemudian Mas Doni pun menyarankan untuk turun melalui jendela tanpa kaca yang berada disisi lain ruangan ini.
Kami mulai menurunkan tangga yang kami naikkan keatas tadi. Kemudian turun secara bergantian dan sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun selagi mereka masih berusaha untuk mendobrak pintu.
Tetapi tidak semudah itu, masih tersisa 4 orang yang belum menuruni tangga, terdengar suara retakan yang bersumber dari pintu masuk. Sedikit demi sedikit pintu mulai hancur terkena dobrakan dan mulai terbuka olehnya. Kami pun bergegas untuk segera menuruni tangga dan pergi dari tempat ini. Saat giliran Kak Willie dia terlihat ketakutan untuk menuruni tangga. Dia hanya terdiam kaku memegangi anak tangga itu. Mas Doni pun tak sabar melihatnya dan membentaknya untuk segera turun.
"Cepetan turun napa, Will! Yang lain udah pada nungguin itu," teriak Mas Doni.
"Gak liat apa tangan gue gemeteran nih? Gue pengidap acrophobia kocak," sahut Kak Willie sembari menutup matanya dan dengan wajah pucat.
"Gapapa, Will! Udah saya pegangin kaki tangganya. Gak bakalan oleng kok," teriak Pak Bonadi yang berjaga dibawah.
"Ya tetep gabisa, Pak! Kaki gue gak mau digerakkin," jawab Kak Willie. Novan yang tak sabar menunggu pun langsung bergegas menaiki punggung Kak Willie dan turun mendahuluinya. Tangga pun mulai sedikit oleng dan langsung ditahan oleh Pak Bonadi dan Pak Juari.
"Ayo kak. Kita turun sama-sama. Aku kasih aba-aba ya," ucap Novan. Kak Willie pun mulai membangun rasa percaya dirinya. Perlahan tapi pasti, mereka berdua berhasil menuruni tangga dengan selamat.
Tak berselang lama, pintu akhirnya berhasil terbuka dan masih tersisa aku, Aini dan Mas Doni diatas. Aku berusaha menyemangati Aini yang terlihat ketakutan akan ketinggian.
"Jangan lihat kebawah, An. Percaya sama kakak! Lihat mata kakak terus. Pasti kamu bisa!" Ucapku. Aini hanya mengangguk dan perlahan mulai menuruni tangga.
Aini menuruti perkataanku dan terus menatapku selagi menuruni tangga. Aku dengan sabar terus mengajaknya berbicara untuk menghilangkan rasa takutnya.
Mas Doni memutuskan untuk mengulur waktu selagi mereka masih berusaha untuk memanjat keatas.
Mas Doni melemparkan benda apa saja kearah mereka. Mereka mulai berdesakan berusaha untuk meraih kaki kami dan dengan raut wajah yang penuh dengan nafsu untuk segera memakan kami. Akhirnya Aini berhasil menyentuh tanah dan segera memeluk Vivi. Aku tersenyum lega dan bangga karena dia telah berhasil melawan rasa takutnya.
"Cepetan, Ndra. Giliran kamu yang turun! Aku bakalan ngulur waktu buat mereka!" perintah Mas Doni.
Aku pun segera bergegas untuk menuruni tangga. Karena panik, aku tak sengaja mematahkan tangganya menjadi dua dan terjatuh dengan keras. Aku meringis kesakitan dan langsung ditolong oleh yang lain. Aku melihat kearah Mas Doni. Aku melihat dia kebingungan dengan wajah pucat atas kejadian yang menimpaku.
"Kalian mundur dulu, aku mau lompat dari sini," perintahnya sembari dia mundur sedikit untuk ancang-ancang. Kami pun menurutinya.
Aku berpikir apakah mungkin Mas Doni baik-baik saja untuk melompat dari atas sana? Mengingat tinggi antara lantai dua dengan tanah setidaknya berjarak kira-kira 5 meter? Aku tak ambil pusing. Aku percaya akan kemampuan Mas Doni. Pasti dia bisa mendarat dengan aman.
Gemuruh suara zombie yang semakin menggila membuatku semakin merinding. Merasa cemas jikalau mereka menyadari dan segera mengejar kami.
"Udah mundur kalian? Aku mau ancang-ancang ini?" teriak Mas Doni. Aku pun spontan berteriak untuk menjawab pertanyaannya. Mulutku langsung ditutup oleh Vivi karena aku terlambat menyadarinya.
Gemuruh zombie yang menggila, perlahan diam seakan sadar apa yang mereka incar tidak hanya Mas Doni seorang. Suara langkah kaki mulai terdengar menjauhi Mas Doni. Wajahku pun mulai pucat dengan mulut yang masih ditutupi oleh Vivi.
Sesuatu tak terduga pun terjadi. Tiba-tiba rumah itu terbakar dengan hebat. Aku berasumsi Mas Doni sengaja membakar rumah itu memakai lentera yang berada di langit-langit rumah. Suara zombie yang terbakar pun terdengar sangat menyedihkan. Aku berteriak memanggil namanya dan segera menyuruhnya untuk segera melompat keluar. Mas Doni pun muncul dari sebalik jendela itu dan berkata.
"Aku bakalan patah kaki jika nekat melompat dari sini. Aku gak mau jadi beban buat kalian. Aku pikir aku sudah melakukan yang terbaik selama ini dan inilah yang terakhir. Aku akan menemui Haris segera. Titipkan salamku kepada tim SAR nanti jika kalian semua berjumpa dengannya. Dan juga titipkan salamku pada orang tuaku jika kalian sempat bertemu dengan mereka," ucap Mas Haris. Aku hanya terdiam mendengarnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Aku bakalan menangkapmu, Don!" teriak Pak Bonadi.
"Walaupun aku kurus, tapi bobotku 75 kg pak. Aku mungkin tidak apa-apa, tapi tangan bapak bisa patah nantinya," jawab Mas Doni sambil tersenyum. Pak Bonadi pun juga terdiam mendengarnya.
Kemudian Mas Doni pun duduk bersila dengan mata terpejam dan mulutnya mulai memanjatkan doa. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Suara retakan dari langit-langit mulai saling bersahutan. Api pun mulai membesar dan bau gosong daging bakar pun mulai semerbak memenuhi udara. Tiang-tiang penyangga mulai berjatuhan.
Tanganku ditarik Pak Bonadi untuk segera menjauh karena area itu sudah tidak aman lagi. Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya meratapi apa yang sedang terjadi. Tapi apa boleh buat, Mas Doni telah bertindak seperti itu.
Kami berlari menjauh dari area itu dengan tanganku yang masih ditarik oleh Pak Bonadi. Perlahan-lahan api mulai melahap seluruh bagian rumah. Asap mengepul tebal diatasnya. Api mulai merembet dan mulai membakar pepohonan yang berada di sekelilingnya. Api pun membesar dan rumah pun rubuh. Sosok Mas Doni mulai tak terlihat lagi. Tatapanku kosong melihat kebakaran itu.
Api pun mulai menyebar kemana-mana. Menerangi seluruh sudut hutan dengan cahayanya yang membara. Yang didalamnya terdapat pengorbanan seseorang yang tak takut mati untuk menyelamatkan teman-temannya yang berharga. Memberikan secercah harapan kepada kami yang terus gelisah dan bertanya-tanya tentang apakah kami bisa selamat nantinya.
Ya
Pikiran kami masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang keselamatan kami. Akankah kami bisa selamat? Akankah pengorbanan teman-teman kami menjadi sia-sia? Akankah kami bisa keluar bersama-sama? Ataukah terjadi korban selanjutnya?
Akan aku simpan pertanyaan ini didalam lubuk hatiku. Dan tidak menyangkal akan fakta yang sebenarnya terjadi. Terjebak dalam hutan terkutuk ini. Dengan penduduk mayat hidup didalamnya. Pengorbanan Mas Haris dan Mas Doni. Menambahkan namanya dalam list korban selanjutnya dari bus Harapan Indah.
Benar.
Aku baru ingat nama bus yang kami tumpangi. Semoga saja keinginan kami sesuai namanya,
"Harapan yang Indah".