Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Apa yang terjadi pada Nadia, Steven tidak mengetahuinya. Dia menyembunyikan luka dan perasaan yang dialaminya.
Siang dan sore begitu cepat berlalu. Hari Nadia tak kunjung berlalu. Malam tiba dengan gelapnya, bintang-bintang memancarkan cahayanya. "Sama seperti diriku yang memiliki masalah dan luka yang banyak, tetapi takut mengungkapkan luka ini, karena luka ini bukanlah lukamu, Steven," ucap Nadia di hati kecilnya.
Malam cepat berlalu. Nadia berangkat sekolah, senyumnya selalu ia tabur kepada Dewi, ibunya, untuk menyembunyikan rasa sakitnya.
Lonceng sekolah berbunyi, seluruh mahasiswa baris di lapangan. Nadia baris di bagian tengah, matanya selalu mencari Steven. Tak sengaja dia menoleh ke kiri dan bertatapan dengan Steven. Jantung Nadia berdetak kencang, dan dia langsung mengalihkan pandangannya. Cici melihat kelakuan Nadia dari belakang, seakan ingin menerkam Nadia. "Awas kamu nanti, Nad," ucap Cici dengan emosi.
Lonceng berbunyi, mata pelajaran sudah dimulai. Ibu Desi yang tak kunjung datang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia digantikan oleh Ibu Mira.
Ibu Guru Mira sudah berada di depan pintu. Cici langsung menghampiri dan berbisik, "Ibu, tolong pergi. Saya ada urusan di kelas ini." Ibu Mira langsung pergi.
Nadia penasaran kenapa Ibu Mira pergi begitu saja setelah berbisik dengan Cici. Dia seolah tak menatap Cici dan Ibu Mira.
Perundungan dimulai lagi. Cici kembali memainkan matanya kepada kedua sahabatnya. Cici maju ke depan kelas dan duduk di bangku guru. Dia memukul meja satu kali. Imel dan Dina tahu apa yang harus mereka lakukan. Rambut Nadia ditarik, mata Nadia ditempelkan permen karet dari ludah Cici. "Kamu begitu banyak melihat dunia yang indah, Nadia, hari ini. Kamu harus melihat dunia kotor juga, Nad," ucap Cici dengan nada mengejek.
Nadia yang tak bisa berbuat apa-apa harus menanggung itu semua dengan lapang dada. Tangannya dipegang erat oleh Imel dan Dina, rambut Nadia dipotong. "Biar kamu semakin seksi dan tidak menjadi body gitar Indonesia, sekarang kita ubah ya," kata Cici sambil memotong rambut Nadia.
Nadia diam membeku, menahan air mata yang hampir tumpah. Rambutnya yang dipotong kasar berserakan di lantai, namun dia tidak melawan. Cici tertawa puas sambil melirik Imel dan Dina. "Sekarang, kamu sudah tahu rasanya jadi pusat perhatian, kan, Nad?" ujar Cici dengan senyum penuh ejekan.
Saat itu, pintu kelas mendadak terbuka. Steven berdiri di ambang pintu, matanya membelalak melihat apa yang terjadi. Kelas menjadi hening seketika. Cici, dengan wajah penuh kemenangan, menghampiri Steven. "Oh, kamu di sini? Jangan khawatir, kami hanya sedikit bersenang-senang dengan si Miss Sempurna ini."
Namun, Steven tidak menanggapi. Dia berjalan perlahan mendekati Nadia, yang masih duduk di kursinya dengan kepala tertunduk. Saat Steven hendak menyentuh bahunya, Nadia tiba-tiba berdiri dan menepis tangannya. "Aku tidak butuh bantuanmu!" serunya dengan suara yang bergetar.
Cici tertawa terbahak-bahak. "Lihat tuh! Bahkan si pahlawan datang untuk menyelamatkan, tapi dia tidak diinginkan. Memang pantas!"
Steven menatap Cici tajam. "Kamu pikir ini lucu? Kalau aku laporkan ke kepala sekolah, bagaimana?"
Kau sebagai anggota OSIS kedisplinan tidak pantas berbuat seperti ini .
Cici mendekat dengan santai. "Lapor saja, Steven. Kamu pikir ada yang peduli? Kepala sekolah? Guru? Mereka semua sudah biasa melihatku. Siapa yang akan percaya kalau anak emas seperti aku salah?"
Sebelum Steven bisa merespons, Nadia berdiri dengan wajah penuh amarah. "Cukup!" teriaknya, mengejutkan semua orang di kelas. "Aku sudah muak dengan semuanya!"
Dia meraih gunting di meja guru yang dipakai Cici tadi, dan dengan satu gerakan cepat, memotong rambutnya sendiri hingga lebih pendek. Semua orang tertegun. "Kalian pikir kalian bisa menghancurkan ku dengan ini?" Aku tidak akan pernah merasa menderita karena kegilaan yang kau buat " katanya dengan suara dingin, matanya penuh kemarahan.
Cici mencoba meremehkan aksi itu. "Hah, drama apa lagi ini, Nad?"
Namun, sebelum Cici menyelesaikan kalimatnya, Nadia menghampirinya dengan langkah mantap. Dia mendekat hingga wajah mereka hanya beberapa inci saja. "Dunia ini mungkin kotor, tapi aku tidak akan membiarkan kalian menyeretku lebih dalam ke lumpur yang kotor yang sama seperti diri mu"
Nadia menatap tajam ke arah Steven yang terlihat bingung, lalu berjalan keluar dari kelas tanpa berkata apa-apa.
Nadia berjalan pulang dengan langkah lemas. Angin sore yang seharusnya menyejukkan terasa seperti menampar-nampar wajahnya. Setiap helai rambut yang tersisa di kepalanya mengingatkan dia pada penghinaan tadi di kelas. Sesampainya di depan rumah, dia menarik napas panjang, mencoba menyembunyikan semua rasa sakit yang bercampur di dadanya.
Dewi, ibunya, menyambut di ambang pintu seperti biasa. "Nadia, sudah pulang, Nak? Kok kelihatan lelah sekali?" tanya Dewi sambil memandangi putrinya dengan khawatir.
Nadia hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Tugas sekolah banyak tadi, makanya capek. Nadia mau langsung ke kamar, ya."
Dewi mengangguk, tetapi matanya tetap menatap curiga pada rambut pendek Nadia yang tidak biasa. "Nadia, rambutmu… kenapa pendek? Kamu potong sendiri, ya?"
Nadia menelan ludah, mencoba mencari alasan. "Iya, Bu. Bosan aja sama rambut panjang. Mau coba gaya baru," jawabnya sambil tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegugupan.
Dewi mengangguk lagi, meskipun rasa khawatir masih terlihat di wajahnya. "Ya sudah, istirahat sana. Kalau lapar, nanti ibu masak makanan kesukaanmu."
Begitu pintu kamarnya tertutup, Nadia mengunci dirinya di dalam. Dia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri. Rambutnya yang kini pendek dan tidak rata, mata yang sembab karena hampir menangis serta Luka di tangannya akibat dicengkeram Imel dan Dina juga masih terasa perih.
Nadia meraih sisir di meja belajarnya. Dia mencoba merapikan rambutnya, tetapi tangan gemetar menghentikan usahanya. Sisir itu terjatuh ke lantai, dan bersama itu, air matanya akhirnya jatuh tanpa henti.
"Kenapa aku harus melewati ini semua? Apa salahku?" bisiknya sambil memeluk lutut di lantai.
Namun, di tengah tangisannya, Nadia menyadari sesuatu. Dia tidak bisa terus seperti ini. Luka-luka ini mungkin tidak terlihat oleh orang lain, tetapi dia tahu, dia harus berdiri melawan. Jika tidak, semuanya akan terus berulang.
Dia membuka laci mejanya dan mengambil sebuah buku catatan yang selalu dia gunakan untuk mencurahkan isi hatinya. Dengan tangan gemetar, dia menulis, “Mereka boleh menghancurkan rambutku, memarahi tubuhku, bahkan membuatku terlihat seperti orang kalah. Tapi mereka tidak akan bisa mengambil hatiku. Aku akan bangkit.”
Setelah menutup buku itu, Nadia berdiri dan membersihkan wajahnya di depan cermin. Meski bayangan dirinya masih terlihat rapuh. Dia menaiki kasurnya dan tertidur.
semangat