Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Menyentuh Hati
Pagi itu, hujan turun deras, menutupi kota dengan tirai abu-abu. Elyana memandangi tetesan hujan dari jendela ruang tamu, pikirannya melayang ke kenangan masa depan yang tak lagi eksis. Dalam ingatannya, hujan seperti ini selalu mengingatkannya pada hari pemakaman Davin—hari yang mengubah segalanya. Ia mengingat betapa dinginnya batu nisan di bawah tangannya dan betapa sunyinya dunia tanpa kehadirannya.
Namun sekarang, semuanya berbeda. Ia diberi kesempatan kedua, dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Langkah berat Davin membuyarkan lamunannya. Pria itu, dengan setelan kerjanya yang sempurna seperti biasa, berjalan masuk ke ruang tamu. Ia tampak sama seperti yang Elyana ingat: dingin, tak tersentuh, dan tak pernah membiarkan siapa pun mendekati hatinya.
“Hujannya deras,” kata Elyana lembut, mencoba membuka percakapan. “Apa kamu yakin ingin pergi sekarang?”
Davin meliriknya sekilas. “Aku harus. Ada rapat penting pagi ini.”
Elyana tahu bahwa ia akan menjawab seperti itu. Dalam kenangan masa depan, Davin selalu menempatkan pekerjaannya di atas segalanya—bahkan kebahagiaannya sendiri. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.
“Tunggu sebentar,” katanya sambil bergegas ke lemari. Ia mengambil payung besar dan menyerahkannya pada Davin. “Bawa ini. Aku tidak mau kamu basah kuyup.”
Davin menatapnya, sedikit terkejut dengan perhatian itu. Namun, seperti biasa, ia tidak berkata banyak. Ia hanya mengambil payung itu dan pergi tanpa mengucapkan terima kasih.
Beberapa jam kemudian, Elyana memutuskan untuk membersihkan kamar kerja Davin. Di salah satu laci mejanya, ia menemukan sebuah foto lama—foto Davin bersama ibunya. Wajahnya tampak lembut dan penuh senyuman, sangat berbeda dari ekspresi dingin yang kini menjadi ciri khasnya.
Foto itu adalah pengingat yang menyakitkan bagi Elyana. Di masa depan, ia pernah melihat foto ini tersimpan di rumah besar mereka yang sepi, berdebu, dan penuh kenangan pahit. Elyana menggenggam foto itu erat-erat, bertekad untuk mengubah masa depan yang ia tahu akan terjadi jika ia tidak melakukan sesuatu.
“Aku tidak akan membiarkanmu hancur lagi, Davin,” gumamnya.
Malam harinya, Elyana meletakkan foto itu di ruang tamu setelah membingkainya ulang. Ketika Davin pulang dan melihat foto itu, ekspresinya berubah. Wajahnya yang biasanya datar kini menunjukkan ketegangan, bercampur dengan kesedihan yang mendalam.
“Apa ini?” tanyanya tajam.
Elyana menoleh, mencoba tetap tenang. “Aku menemukannya di kamarmu. Aku pikir, mungkin kamu ingin mengingat momen itu.”
“Itu tidak penting,” jawab Davin cepat, suaranya dingin.
“Tapi aku pikir itu penting,” kata Elyana, suaranya lembut namun tegas. “Foto ini mengingatkan bahwa kamu pernah bahagia, Davin. Dan aku percaya kamu bisa merasakannya lagi.”
Davin terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak membalas dengan sarkasme atau menutup dirinya. Ia hanya memandangi foto itu dengan mata yang tampak berkabut.
Elyana tahu betapa rapuhnya momen itu. Di masa depan, Davin sering menyembunyikan luka-lukanya di balik sikap dinginnya. Namun kini, ia bisa melihat celah kecil di tembok yang tinggi itu.
Malam itu, Davin mengetuk pintu kamar Elyana, sesuatu yang jarang ia lakukan. Ketika Elyana mempersilakannya masuk, Davin duduk di sofa dengan foto itu di tangannya.
“Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya, suaranya rendah.
Elyana menatapnya, hatinya berdebar. Ia tahu jawaban yang ingin ia berikan terlalu rumit, terlalu terkait dengan rahasia besar yang ia bawa dari masa depan. Namun, ia memilih kata-katanya dengan hati-hati.
“Karena aku peduli,” jawabnya akhirnya. “Aku tahu kamu selalu menyimpan segalanya sendiri, tapi... aku ingin kamu tahu, kamu tidak harus melakukannya lagi.”
Davin tidak menjawab, tetapi Elyana bisa melihat bagaimana genggamannya pada foto itu mengencang. Dalam keheningan, Elyana merasa ia berhasil menyentuh hati pria itu—meskipun hanya sedikit.
Ia tahu ini baru permulaan. Jalan menuju hati Davin panjang dan penuh rintangan. Namun, dengan semua yang ia ketahui tentang masa depan, Elyana yakin ia bisa menyelamatkan pria itu—dan mungkin, untuk pertama kalinya, memberikan mereka berdua kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Elyana berjalan cepat di sepanjang koridor menuju ruang rapat utama, membawa setumpuk dokumen yang harus ditandatangani oleh Davin. Ketika ia sampai, pintu ruang rapat terbuka, dan Davin berdiri di sana dengan ekspresi tegas seperti biasa.
“Ini laporan yang kamu butuhkan,” kata Elyana sambil menyerahkan dokumen tersebut.
Davin hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Namun, saat ia menerima dokumen itu, jari mereka bersentuhan. Sentuhan singkat itu membuat Elyana teringat momen lain di masa depan—momen di mana Davin, yang biasanya menjaga jarak, dengan lembut menyentuh tangannya saat ia sedang terpuruk.
Meski singkat, kenangan itu membuat Elyana yakin bahwa di balik semua sikap dinginnya, ada sisi lembut Davin yang tersembunyi. Ia hanya perlu menemukan cara untuk membuatnya keluar dari cangkangnya.
Sore harinya, Elyana duduk di kafe kecil di dekat kantor, menyelesaikan pekerjaannya sambil menikmati secangkir teh hangat. Ia terkejut ketika melihat Davin masuk ke kafe itu, tampaknya mencari udara segar setelah hari yang melelahkan.
Davin meliriknya sebentar, lalu mendekat. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya singkat.
“Bekerja,” jawab Elyana dengan senyum tipis. “Kadang suasana seperti ini lebih membantu daripada di kantor.”
Davin mengangguk kecil dan, mengejutkan Elyana, duduk di kursi di seberangnya. Ini pertama kalinya ia mengambil inisiatif untuk berbicara di luar urusan kerja.
“Kamu selalu terlihat sibuk,” komentar Davin, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Elyana menatapnya, sedikit terkejut. Apakah ini salah satu momen kecil di mana tembok itu mulai retak? Ia memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini.
“Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Lagipula, aku bekerja untuk orang yang sangat perfeksionis,” kata Elyana dengan nada bercanda.
Davin mendengus kecil, hampir seperti tawa yang tertahan. Itu hal yang sangat langka darinya, dan Elyana merasa hatinya sedikit lebih ringan.
Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Wajah Davin kembali serius, dan ia menatap keluar jendela, matanya tampak memikirkan sesuatu yang jauh.
“Kadang, bekerja keras adalah satu-satunya cara untuk melupakan,” katanya tiba-tiba.
Kata-kata itu membuat Elyana terdiam. Ia tahu apa yang Davin coba lupakan—luka masa lalunya, kehilangan yang terus menghantuinya. Elyana menggenggam cangkir tehnya lebih erat, mencoba menenangkan emosinya.
“Aku tahu,” balas Elyana lembut. “Tapi melupakan tidak selalu menyelesaikan semuanya. Kadang, kita hanya perlu menghadapi apa yang ada di depan kita, meski itu menyakitkan.”
Davin menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Untuk sesaat, Elyana merasa ia telah menyentuh sesuatu yang sangat dalam di hati pria itu. Namun, seperti biasa, Davin kembali menutup dirinya.
“Aku harus kembali ke kantor,” katanya sambil bangkit berdiri.
Elyana mengangguk. “Aku akan menyusul setelah selesai.”
Ketika Davin pergi, Elyana menghela napas panjang. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi momen-momen kecil seperti ini memberikan harapan. Ia hanya perlu terus mencoba, terus mencari celah untuk masuk ke hati Davin, karena ia tahu bahwa pria itu layak mendapatkan cinta dan kebahagiaan yang selama ini ia hindari.
Dan Elyana juga tahu, jika ia gagal, masa depan yang ia ingat akan menjadi kenyataan yang tak dapat diubah.
...****************...