Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
misteri
Malam itu, Akselia sadar bahwa ia telah terjebak dalam sebuah misteri yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa menghadapi bayangan masa lalu bukan hanya soal dirinya—tapi juga menyelamatkan sesuatu yang lebih besar.
Namun, ada satu hal yang belum ia sadari. Kota itu bukan sekadar tempat pelarian. Itu adalah panggung terakhir untuk menghadapi rahasia yang akan mengubah segalanya.
Keesokan harinya, Akselia memutuskan untuk menyusuri kota lebih jauh. Ia ingin menemukan petunjuk lain yang mungkin bisa menghubungkan liontin itu dengan masa lalunya. Ia tidak percaya pada kebetulan, terlebih lagi ketika menyangkut sesuatu yang telah ia pendam bertahun-tahun.
Langkahnya membawanya ke sebuah perpustakaan tua di tengah kota. Tempat itu sunyi, hanya dihiasi suara desis kipas angin tua dan derit lantai kayu. Ia menemukan seorang wanita tua yang menjaga tempat itu, wajahnya penuh keriput namun matanya tajam seperti menilai seseorang hanya dengan sekali pandang.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu dengan suara serak.
Akselia mengeluarkan liontin dari sakunya dan menunjukkannya. “Apakah Anda pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya?”
Wanita itu memperhatikan liontin itu dengan seksama. Tiba-tiba, ekspresinya berubah menjadi kaku. Ia menatap Akselia seolah melihat hantu. “Dari mana kau mendapatkan ini?”
“Di tepi danau dekat rumah saya,” jawab Akselia. “Kenapa? Apakah ini berarti sesuatu?”
Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia berdiri perlahan, tangannya gemetar, lalu berjalan menuju sebuah rak di sudut ruangan. Ia menarik sebuah buku besar berdebu dan membukanya, mencari sesuatu di dalamnya. Setelah beberapa saat, ia menunjuk sebuah foto hitam-putih.
Foto itu menunjukkan sekelompok orang yang berdiri di depan sebuah bangunan besar, mungkin pabrik tua. Di antara mereka, Akselia mengenali dua wajah yang membuat dadanya terasa sesak—ayah dan ibunya.
“Itu orang tua saya,” katanya, suaranya hampir berbisik.
Wanita tua itu mengangguk pelan. “Mereka adalah bagian dari proyek besar yang dulu dijalankan di kota ini. Sebuah eksperimen untuk menghasilkan energi terbarukan. Tapi ada yang salah… sesuatu yang tidak pernah mereka ceritakan kepada siapa pun. Kebakaran yang menimpa keluargamu… itu bukan kecelakaan.”
Kata-kata itu menghantam Akselia seperti palu godam. Ia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Kebakaran yang ia pikir hanyalah kecelakaan tragis ternyata memiliki akar yang jauh lebih dalam.
“Siapa yang bertanggung jawab?” tanyanya, suaranya penuh kemarahan.
Wanita tua itu menggeleng. “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tahu seseorang yang mungkin bisa membantumu. Namanya Alden, dia tinggal di pinggiran kota. Dia adalah salah satu pekerja di pabrik itu.”
Akselia merasa ada benang merah yang mulai terjalin, tapi juga semakin banyak pertanyaan yang bermunculan. Siapa Alden? Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya? Dan mengapa liontin itu muncul di tempat ini sekarang, setelah bertahun-tahun?
Pertemuan dengan Alden
Hari mulai gelap ketika Akselia tiba di rumah Alden. Rumah itu kecil, terbuat dari kayu tua, dan tampak hampir roboh. Ketukan pertama di pintu tidak mendapatkan jawaban, tapi ketika ia mengetuk untuk kedua kalinya, seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan muncul.
“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan nada curiga.
Akselia mengeluarkan liontin itu lagi, memperlihatkannya kepada pria tersebut. “Saya butuh jawaban tentang ini, dan tentang apa yang terjadi pada orang tua saya.”
Mata Alden membesar saat melihat liontin itu. Ia melirik Akselia dengan tatapan penuh waspada, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk,” katanya singkat.
Di dalam, rumah itu dipenuhi dengan barang-barang lama—surat kabar usang, foto-foto tua, dan catatan-catatan yang berserakan di meja. Alden duduk di kursi goyangnya dan menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
“Ayah dan ibumu adalah orang-orang yang luar biasa,” katanya. “Mereka percaya bahwa proyek energi itu bisa mengubah dunia. Tapi mereka tidak tahu bahwa proyek itu hanya kedok.”
“Kedok untuk apa?” Akselia mendesak.
“Ada pihak yang menggunakan pabrik itu untuk tujuan lain. Percobaan dengan zat berbahaya, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada di tangan manusia. Ayahmu menemukan kebenarannya dan mencoba menghentikannya, tapi itu membuat mereka menjadi target.”
Akselia merasa udara di sekitarnya menjadi semakin berat. “Jadi, kebakaran itu disengaja?”
Alden mengangguk. “Mereka mencoba menghapus semua bukti, termasuk keluargamu. Aku juga bekerja di pabrik itu, tapi aku berhasil melarikan diri sebelum semuanya hancur. Aku telah hidup dalam bayang-bayang sejak saat itu.”
“Siapa yang melakukannya?”
Alden terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada rendah, “Sebuah organisasi yang sangat berkuasa. Mereka memiliki mata dan telinga di mana-mana. Aku tidak tahu siapa pemimpin mereka, tapi aku tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar berhenti mengawasi.”
Akselia merasa tubuhnya gemetar. Selama ini, ia mengira bahwa hidupnya di kota besar adalah pelarian yang aman, tapi ternyata bayangan itu telah mengikutinya bahkan hingga ke kota kecil ini.
Kebenaran yang Menyeruak
Ketika Akselia kembali ke rumahnya malam itu, pikirannya dipenuhi berbagai hal. Ia tidak hanya merasa dikhianati oleh sistem, tetapi juga oleh dirinya sendiri karena terlalu lama menghindari masa lalunya.
Namun, sesuatu di rumahnya membuatnya kembali ke kenyataan. Pintu depan yang ia ingat telah dikunci kini sedikit terbuka. Ia berhenti, tubuhnya tegang, dan mencoba mendengar. Ada suara samar dari dalam rumah, seperti seseorang sedang menggeledah ruang tamunya.
Dengan hati-hati, Akselia meraih tongkat kayu di dekat pintu dan melangkah masuk. Ia melihat seorang pria bertopeng sedang membongkar laci-lacinya.
“Siapa kau?!” serunya.
Pria itu terkejut, tapi dengan cepat melompat keluar melalui jendela sebelum Akselia sempat mengejarnya. Ia berdiri di sana, napasnya tersengal-sengal, dan menyadari bahwa apa pun yang ia hadapi bukanlah sesuatu yang bisa ia hindari lagi.
Di atas meja, ia menemukan secarik kertas yang sepertinya tertinggal oleh pria itu. Hanya ada satu kalimat yang tertulis:
"Kota ini bukan tempatmu. Pergilah sebelum terlambat."
Keputusan untuk Bertarung
Malam itu, Akselia tahu bahwa ia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton dalam kehidupannya sendiri. Ia harus menghadapi apa pun yang menunggunya, tidak peduli seberapa berbahayanya.
Dengan liontin di tangannya, ia memutuskan untuk menemui Nathaniel keesokan harinya. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu, sesuatu yang membuatnya yakin bahwa Nathaniel tahu lebih banyak daripada yang ia katakan.
Saat ia berdiri di depan cermin malam itu, ia melihat pantulan dirinya sendiri. Wanita yang kuat, tapi juga penuh luka.
“Aku tidak akan lari lagi,” bisiknya pada bayangannya sendiri.
Dan di situlah perjalanan Akselia benar-benar dimulai—sebuah perjalanan untuk mengungkap kebenaran, melawan bayangan yang menghantuinya, dan menemukan kembali dirinya yang telah lama hilang.