Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal tampan dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Aprilia—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama. dia berumur 22 tahun
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Aprilia, menunjukkan sisi obsessi yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria cinta adalah perjuangan, OBBSESY SEGALANYA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
titik didih
Beberapa hari kemudian
Reintara duduk di ruang rapat dengan timnya, membahas strategi pemasaran baru untuk kuartal berikutnya. Fokusnya sempat teralihkan oleh insiden beberapa hari terakhir, tetapi ia mencoba menenangkan pikirannya dan kembali ke pekerjaannya.
“Baiklah, kalau tidak ada lagi yang perlu didiskusikan, kita akhiri pertemuan ini,” katanya sambil berdiri. Timnya mengangguk dan mulai membereskan dokumen mereka.
Namun, saat ia keluar dari ruang rapat dan berjalan menuju ruangannya, asistennya, Maya, menghampirinya dengan wajah tegang.
“Tuan Reintara, maaf mengganggu. Ada seseorang yang mencoba masuk ke kantor tadi pagi.”
Reintara berhenti melangkah, menatap Maya dengan tatapan tajam. “Siapa?”
“Dia bilang namanya Ria,” jawab Maya dengan nada pelan, tampak ragu. “Tapi tim keamanan sudah menghentikannya di depan.”
Reintara mendesah berat. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredam kekesalannya. “Apa dia membuat masalah?”
“Tidak, Tuan. Tapi dia meninggalkan sesuatu untuk Anda.” Maya menyerahkan sebuah amplop merah.
Reintara membuka amplop itu dengan enggan. Di dalamnya ada sebuah kartu kecil bertuliskan:
"Aku tidak akan menyerah, Rein. Aku tahu apa yang terbaik untukmu, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangiku."
Kata-kata itu membuat darah Reintara mendidih. Ia menggenggam kartu itu erat-erat sebelum melemparkannya ke tempat sampah. “Ini sudah cukup,” gumamnya dengan nada dingin. “Hubungi pengacara. Aku mau surat perintah perlindungan selesai hari ini juga.”
Maya mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Malam harinya
Setelah bekerja seharian, Reintara kembali ke apartemennya. Kali ini ia memastikan pintu dan jendelanya terkunci rapat sebelum melepaskan dasinya dan bersiap untuk beristirahat.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Ponselnya berbunyi, menampilkan pesan anonim.
"Aku tahu kamu mencoba menjauh dariku, tapi kamu tidak bisa. Aku selalu tahu di mana kamu berada."
Reintara merasa darahnya berdesir. Ia berdiri, mencoba mencari logika di balik pesan ini. Nomor itu tidak terdaftar, dan Ria tidak mungkin bisa mengetahui keberadaannya setelah langkah-langkah keamanan yang telah ia ambil.
Tapi kemudian ponselnya berbunyi lagi, kali ini sebuah foto. Foto itu diambil di depan apartemennya—di depan pintu yang baru saja ia kunci.
“Apa-apaan ini?” gumamnya, matanya menatap layar dengan intens.
Ia segera menghubungi tim keamanan apartemen untuk memeriksa kamera CCTV. Tidak lama kemudian, seorang petugas menelepon balik.
“Tuan Reintara, kami menemukan seseorang yang mencurigakan di rekaman kami. Tapi orang itu sudah pergi sebelum kami bisa menghentikannya.”
“Berapa lama yang lalu?” tanya Reintara tegas.
“Kurang dari lima menit.”
Reintara menggenggam ponselnya erat-erat. Dia ada di sini, hanya beberapa menit yang lalu.
Di sisi lain, Ria
Ria duduk di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh dari apartemen Reintara. Ia tersenyum puas sambil memandangi layar ponselnya.
“Kamu mungkin berpikir bisa menjauhiku, Rein,” gumamnya pelan. “Tapi aku selalu lebih pintar.”
Ia mengetuk-ngetuk kemudi dengan jarinya, berpikir tentang langkah selanjutnya. Baginya, ini bukan lagi soal cinta semata. Ini adalah permainan, dan dia tidak berniat kalah.
Keesokan harinya
Reintara memutuskan untuk menyewa tim keamanan pribadi untuk mengawasi apartemen dan kantornya. Ia tidak bisa membiarkan Ria terus mengganggu hidupnya.
Namun, meskipun semua langkah keamanan itu diterapkan, ada satu hal yang tidak bisa ia kendalikan: keberadaan Ria di pikirannya. Perempuan itu sudah terlalu jauh menyusup ke dalam hidupnya, dan setiap langkah yang ia ambil hanya membuat obsesi Ria semakin menjadi-jadi.
Saat ia duduk di ruangannya, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, nomor pengacaranya muncul di layar.
“Tuan Reintara, kami sudah mendapatkan surat perintah perlindungan untuk Anda. Jika dia mencoba mendekati Anda lagi, Anda bisa langsung melapor ke pihak berwenang.”
“Bagus,” jawab Reintara dingin. “Aku tidak mau toleransi lagi.”
Tapi bahkan dengan perintah perlindungan itu, Reintara tahu ini belum selesai. Karena dengan Ria, semua ini baru saja dimulai.
Malam yang Sunyi
Reintara menghabiskan malamnya di apartemen, mencoba merelaksasi pikirannya dengan membaca buku favoritnya. Namun, pikirannya terusik oleh berbagai perasaan. Ria tidak hanya melanggar batas privasi, tetapi juga membuatnya merasa seperti diawasi di setiap waktu.
Ketukan tiba-tiba di pintu apartemennya membuatnya terlonjak. Dia menaruh bukunya dan berjalan perlahan ke pintu. Melalui layar interkom, ia melihat seorang kurir berdiri membawa sebuah kotak kecil.
“Pesanan untuk Tuan Reintara,” kata kurir itu.
“Pesanan?” gumam Reintara, bingung. Ia tidak pernah memesan apa pun. Namun, dengan rasa penasaran, ia membuka pintu dan mengambil paket itu.
Di dalam kotak kecil itu terdapat sebuah jam tangan mahal yang pernah ia buang ke tong sampah beberapa bulan lalu—jam tangan yang pernah ia berikan kepada mantan pacarnya yang kini sudah tidak ada dalam hidupnya. Bersamaan dengan itu, ada secarik catatan:
"Aku tahu kamu mungkin sudah melupakannya, tapi aku tidak pernah lupa. Aku akan mengembalikan setiap bagian kecil yang pernah kamu buang dari hidupmu. Karena aku adalah bagian yang tidak akan pernah bisa kamu hilangkan, Rein."
Reintara langsung memijat pelipisnya. Ia tidak tahu bagaimana Ria bisa mendapatkan jam tangan itu. Tapi satu hal jelas—perempuan itu mengintai semua aspek hidupnya.
“Dia benar-benar gila,” gumamnya sambil menutup kotak itu dengan kasar.
Keesokan Harinya
Reintara memutuskan untuk mempercepat tindakannya. Ia bertemu langsung dengan pengacaranya di kantor, mendiskusikan langkah hukum lebih lanjut.
“Tuan Reintara, perintah perlindungan ini akan memperingatkan dia untuk tidak mendekati Anda dalam radius tertentu. Jika dia melanggar, kita bisa langsung membawa kasus ini ke pengadilan,” kata pengacara itu dengan nada meyakinkan.
“Lakukan apa pun yang perlu. Aku tidak mau perempuan itu mengganggu hidupku lagi,” balas Reintara tegas.
Namun, bahkan dengan surat itu di tangannya, ketenangan tidak kunjung datang.
Malam di Kantor
Reintara memutuskan untuk lembur di kantor malam itu, merasa lebih aman dengan keberadaan tim keamanan di sekitarnya. Namun, ketika malam semakin larut dan suasana semakin sepi, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh.
Ruangan di lantai atas tiba-tiba gelap, meskipun semua lampu biasanya menyala. Ia keluar dari ruangannya, berjalan menuju lorong, mencari sumber masalah.
Saat itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar.
"Kamu terlalu sibuk bekerja sampai lupa aku masih di sini, Rein. Jangan khawatir, aku akan menunggumu pulang."
Reintara langsung merasa darahnya mendidih. Ia menatap sekeliling, merasa ada yang mengawasinya.
“Dia sudah gila,” gumamnya, mencoba tetap tenang.
Ia segera menghubungi tim keamanan untuk memeriksa lantai atas. Tidak lama kemudian, kepala keamanan melaporkan bahwa tidak ada siapa pun di sana.
Namun, ketika ia kembali ke ruangannya, ia menemukan sebuah mawar merah segar tergeletak di atas mejanya.
“Bagaimana ini bisa masuk?” bisiknya, menggenggam mawar itu dengan frustrasi. Ia tahu ini bukan kebetulan—ini adalah cara Ria untuk menunjukkan bahwa ia bisa berada di mana saja, kapan saja.
Di sisi lain, Ria
Di balik layar laptopnya, Ria tersenyum puas. Ia memandangi foto Reintara yang sedang menatap mawar merah di mejanya—foto yang baru saja ia ambil menggunakan kamera tersembunyi yang ia pasang diam-diam di ruangan itu.
“Kamu mungkin marah sekarang, Rein. Tapi suatu hari nanti, kamu akan mengerti bahwa semua ini kulakukan karena aku mencintaimu,” gumamnya pelan.
Ia menatap layar komputernya yang penuh dengan catatan dan rencana. Ria tidak pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan, dan kali ini ia sudah menyiapkan langkah besar yang tidak akan bisa dihindari oleh Reintara.
“Aku tidak akan pernah pergi, Rein. Dan kamu tidak punya pilihan selain menerimaku,” tambahnya dengan nada obsesif.
Esok Harinya
Ketika Reintara tiba di kantor, suasana tampak normal. Namun, ia tetap merasa gelisah. Ia memutuskan untuk menemui tim keamanan pribadi yang ia sewa untuk memastikan semuanya terkendali.
“Tuan Reintara, kami sudah meningkatkan pengawasan. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, kami akan segera melaporkannya kepada Anda,” kata salah satu kepala keamanan.
Namun, Reintara tahu bahwa Ria bukan orang biasa. Perempuan itu memiliki cara-cara yang tidak terduga, dan ia tidak akan berhenti sampai keinginannya tercapai.
agar mereka tau kau bukan wanita biasa hanya orang tertentu yang melihat ketulusan mu💪
semoga kam menemukan pria yang sangat sangat mencintai mu.
di saat kamu berpaling bisa saja si Reintata bisa melihat mu.
jangan pernah lagi berhubungan dengan Reintata. walaupun sudah saling memaafkan suatu saat nanti
orang masa lalu yang menyakiti mu. tidak perlu hadir kembali dalam bentuk persahabatan ataupun persaudaraan sekalipun.
Semangat buat author nya...
apa suaminya Nadia tu tidak mempunyai sedikit perasaan pada ria
buat ria menemukan kebagian nya dong Thor