Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tipu Muslihat
Aku mencoba memposisikan tubuhku senyaman mungkin diantara tumbuhan tebu ini. Dengan sabit yang sudah kumiliki ini, aku jadi bisa untuk membabat dan membuat sedikit ruangan yang cukup luas sebagai tempat beristirahat dan sekaligus sebagai tempat bersembunyi sementara. Aku menata sedemikian rupa seperti sebuah sarang agar nyaman untuk teman-temanku tidur.
Setelah beberapa menit saling bergotong royong, akhirnya sarang pun jadi. Kami segera mempersiapkan diri untuk tidur dan aku menawarkan diri untuk berjaga terlebih dahulu. Mereka pun akhirnya mulai terlelap. Aku duduk disamping mereka dengan lutut yang kudekap untuk menghangatkan tubuhku dari hembusan angin malam. Aku pun larut dalam lamunanku dan tak terasa aku pun mulai terlelap.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang berasal dari jalan setapak diluar sana. Aku berdiri dan sebisa mungkin beranjak dengan perlahan agar tidak mengganggu teman-temanku yang sedang tidur. Aku mengintip dari sela-sela tanaman yang lebat untuk melihat makhluk jenis apalagi yang datang menghampiri.
Dibawah sinar bulan yang lembut, terlihat sesosok anak kecil berumur sekitar 7 tahun dengan baju berwarna putih yang kotor disetiap helai kainnya. Dia hanya berjalan linglung menuju kearahku. Dengan kelopak mata yang tertutup dan membawa sebuah buket bunga tebu yang dia genggam didadanya. Aku segera mempersiapkan sabitku untuk berjaga-jaga kalau dia tiba-tiba menyerangku. Saat dia berada tepat didepanku, dia tiba-tiba berhenti dan menoleh kearahku yang bersembunyi dan berbicara dengan senyum yang hampa.
"Kakak! Kakak punya mata yang sangat indah," ucapnya dengan suara melengking dan bergaung disekitarku.
Aku yang sudah kesal dan muak dengan makhluk sejenis mereka langsung keluar dari persembunyianku dan menerjang kearah gadis kecil itu. Aku langsung mengangkat sabitku dan bersiap untuk membunuhnya. Tetapi belum sempat aku mengenainya, dia berbicara lagi.
"Aku ingin sekali bisa melihat sekarang ini aku ada dimana. Menghilangkan kegelapan disekitarku, dan segera bertemu dengan orang tuaku. Tapi apa daya, aku yang masih kecil dan tidak berdaya untuk mencari cahaya seperti orang-orang dewasa yang lain," ucapnya lagi dengan suara yang masih bergaung disekelilingku.
Aku segera menghentikan ayunan sabitku kearahnya. Aku mencoba untuk berbicara kepadanya.
"Tetapi pada akhirnya aku melihat secercah cahaya yang indah didepan sana. Aku mencoba untuk menghampirinya, dan aku pun menemukannya. Cahaya biru yang menenangkan jiwa, menyinari semua benda yang ada disekelilingnya. Memberikanku sebuah harapan bahwa aku bisa menyingkirkan kegelapan yang terus menghantuiku saat ini. Aku tidak ingin memilikinya, tetapi aku hanya ingin terus berada disampingnya. Karena aku diajarkan oleh guruku untuk tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milikku," gadis itu mendongak kearahku.
Tiba-tiba saja gadis itu membuka kelopak matanya. Aku sangat tercengang dengan apa yang kulihat saat ini. Kelopak mata yang kosong dan gelap, yang seharusnya ada sebuah bola mata didalamnya, tetapi gadis ini tidak memilikinya. Dia seperti menangis memandangku tanpa ada setetes air mata pun yang keluar dari matanya. Karena pada saat ini kelopak matanya hanya terisi oleh kekosongan disana. Kemudian gadis itu pun mengangkat tangan kecilnya dan berbicara.
"Izinkan aku untuk menyentuhnya. Biarkan aku merasakan ketenangan untuk sementara. Aku ingin merasakan kebahagiaan setelah sekian lama menderita," dia mencoba untuk menyentuh wajahku. Aku yang tersentuh oleh kata-katanya, perlahan aku pun mempersilahkannya dan perlahan aku menunduk agar dia bisa menyentuh wajahku.
Saat aku menunduk, tiba-tiba saja dia mencoba untuk mencolok kedua bola mataku dengan kedua kuku ibu jarinya yang tajam. Aku yang terkejut dan dengan refleks langsung menendang perutnya dan dia terjengkang kebelakang. Aku langsung menerjangnya dan mengarahkan sabitku tepat kearah kepalanya.
"Anak setan!" Aku langsung mengayunkan sabitku dengan keras sehingga menusuk kepalanya hingga dia tidak bisa bergerak lagi.
Aku menarik kembali sabitku dan membersihkannya dari noda darah yang menempel disana. Aku tak menyangka dia mampu berkata-kata dengan sangat indah dan bahkan mampu untuk meluluhkan hatiku. Sehingga tanpa menaruh curiga kepadanya, dia dengan cepat mencoba untuk mengambil bola mataku.
Aku kembali teringat dengan pengalamanku kemarin tentang rayuan dari seorang pria tua yang berpenampilan seperti petani mencoba untuk menculik Kak Willie dengan rayuan manisnya. Seakan mereka tahu bahwa diposisi saat itu kami sedang kekurangan makanan, dia membujuk kami untuk mampir kerumahnya karena istrinya sedang memasak banyak makanan, ternyata itu hanya tipu daya belaka.
Saat ini, yang hanya bisa kupercayai hanyalah teman-temanku saja. Aku sudah tidak percaya lagi kepada makhluk-makhluk itu. Bahkan yang menyerupai gadis polos sekalipun.
Setelah aku selesai membersihkan noda darah pada sabitku, aku memutuskan untuk kembali ke sarangku. Aku pun mulai berbaring disamping mereka dan segera memejamkan mataku untuk segera tidur.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Cahaya matahari pagi yang lembut memancar diantara batang-batang tebu. Kebun tebu yang rapi dengan tanaman hijau yang masih dipenuhi oleh embun pagi membentuk laksana lorong-lorong hijau yang panjang. Aku perlahan membuka mataku dan meregangkan otot-ototku yang kaku. Aku tersadar, aku semalam tidur dengan posisi terduduk. Melihat ke sekeliling.
"Loh? Dimana Novan?" batinku.
Aku segera bangkit dari tidurku dan segera keluar dari sarangku untuk mencari Novan, seorang anak kecil yang penuh semangat dan pemberani itu. Aku keluar dari semak-semak dan melihat Novan sedang berolahraga disana.
"Kamu udah bangun, Van?" tanyaku sembari meregangkan otot leherku.
"Aku udah bangun dari tadi. Soalnya aku bagian menjaga setelah Kak Vivi tidur," jawabnya. Aku terkejut mendengarnya.
"Loh? Emang iya?" tanyaku keheranan.
"Iyalah kak. Kan kemarin kakak yang bikin peraturan. Pertama yang jaga Kak Andra, terus Aini, terus Kak Vivi, abis itu aku," jawabnya sembari masih berolahraga dengan merentangkan kedua tangannya itu keatas.
"Begitu ya? Kalian bener-bener hebat," ucapku sembari tersenyum.
Aku pun segera membangunkan yang lain dan segera pergi untuk melanjutkan perjalanan dan segera mencari bala bantuan. Setelah semuanya sudah bangun dan selesai mengumpulkan nyawa, kami pun melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak dan tetap menuju kearah utara.
Aku yakin, saat pagi hari para zombie tidak akan muncul. Ditambah sebuah sabit ditanganku, aku memberanikan diri untuk berteriak mencari bantuan.
"Halo? Apakah ada orang disekitar sini? Pak Bon? Pak Juari? Apa kalian ada disana? Halo?" teriakku.
Beberapa kali aku berteriak, aku tetap tidak menemukan jawaban sama sekali. Tenggorokanku terasa kering. Aku memutuskan untuk membuka lebar-lebar mulutku dan mencoba untuk meminum kabut yang masih tersisa di atmosfer.
"Ngapain sih kamu?" tanya Vivi sembari tertawa kecil.
"Tenggorokanku seret. Butuh air," jawabku sembari masih membuka mulutku lebar-lebar.
"Jadi kek ikan yang keluar dari air kalo kamu kek gitu mah," ledek Vivi sembari masih tertawa geli apa yang aku lakukan. Aku tak memperdulikannya dan masih mencoba untuk mencari air dengan caraku yang memang konyol itu.
"Oiya kak? Mending kita pake petasanku aja gimana? Suaranya lebih keras, terus gak buang-buang tenaga juga," seru Novan.
"Ide bagus tuh," jawabku semangat.
Kami pun mencoba untuk menyalakan sebuah petasan dengan suara yang paling keras dan dengan harapan teman-temanku yang lain tahu bahwa kami ada disini.