Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Nadia berjalan pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya, setiap langkahnya seolah menanggung beban yang tak terlihat. Ia merasakan segenap amarah dan kekuatan yang telah ia lepaskan di sekolah masih bergelora dalam dirinya, memancarkan energi yang sulit diatur. Ibunya, Dewi, menunggu di gerbang rumah dengan motor tuanya yang sudah mulai usang, terlihat khawatir dan cemas. Nadia melangkah ke arah ibunya tanpa sepatah kata, hanya mengangguk ketika Dewi memintanya naik ke motor, wajahnya tertekuk dalam diam yang penuh pertanyaan.
Perjalanan pulang terasa sunyi, hanya diiringi suara mesin motor yang bersenandung pelan dan angin yang bertiup dingin, seolah ingin memberi ketenangan di tengah guncangan perasaan Nadia. Dewi, yang duduk di belakang, menatap punggung Nadia dengan rasa khawatir yang dalam, namun di balik itu ada rasa bangga yang samar-samar terlihat. Ia tahu, putrinya telah mengambil langkah berani, meski jalan yang ditempuh tak akan mudah.
Begitu mereka sampai di rumah, Dewi memarkir motor dan menatap Nadia dengan ekspresi serius yang jarang terlihat. “Nadia, duduklah di sini,” Dewi berkata, suaranya lembut namun penuh penekanan, menandakan pentingnya percakapan ini. Nadia mengikuti perintah ibunya, duduk di kursi dengan tubuh yang masih gemetar, menahan rasa cemas yang menyesakkan.
Dewi menarik kursi di samping Nadia, lalu memandang anaknya dengan sorot mata yang tidak biasa, campuran rasa khawatir dan peringatan. “Nadia, kamu jangan sekali-kali melawan gadis seperti Cici itu. Dia itu gadis berbahaya,” ucap Dewi, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang dalam. Kata-kata itu membuat Nadia terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap ibunya dengan mata yang lebar, tidak percaya dan penuh pertanyaan.
“Kenapa, Bu? Bagaimana ibu tahu tentang Cici?” tanya Nadia dengan suara gemetar, mencoba menahan kekhawatiran yang mulai tumbuh di dalamnya. Ia ingin tahu, lebih dari sebelumnya, tentang hal yang selama ini hanya menjadi bisikan di sekolah.
Dewi menghela napas panjang, seakan berat untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama disimpan. “Cici bukan orang biasa, Nadia. Dia datang dari keluarga yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. Ayahnya adalah salah satu orang yang berkuasa di lingkungan ini, tetapi ada juga rahasia-rahasia dalam banyak hal yang tidak bisa ibu ceritakan sekarang. Nanti, suatu saat kamu akan mengetahuinya sendiri.”
Nadia terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan ibunya. Otaknya dipenuhi dengan pertanyaan, tetapi ada ketakutan yang lebih dalam di dalam hatinya. “Tapi, Bu, kenapa ibu tidak memberitahuku sekarang?” Nadia bertanya, suaranya hampir tidak terdengar, penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang mencemaskan.
Dewi meraih tangan Nadia, menggenggamnya dengan lembut dan penuh perhatian, seolah ingin mengalirkan ketenangan melalui sentuhan itu. “Karena aku tidak ingin kamu takut atau mundur, Nak. Aku ingin kamu tumbuh kuat, tidak terpengaruh oleh kekuasaan dan ketakutan yang mereka sebarkan. Tapi sekarang, kamu sudah terlibat, dan aku khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang penting sekarang, kamu harus bisa menghadapi apa pun yang datang dengan kepala tegak.”
Nadia merasa jantungnya berdetak lebih cepat, seperti hendak melompat keluar dari dada. Ada banyak hal yang belum ia pahami, dan kini segalanya mulai terasa semakin rumit dan berbahaya. “Apakah ada yang bisa kita lakukan, Bu?” tanya Nadia, matanya penuh harap dan ketakutan yang berbaur menjadi satu.
Dewi menghela napas, pandangannya seakan menembus ke dalam ruang kosong, seakan sedang mencari jawaban di dalam pikirannya sendiri. “Kadang, ketika kita menghadapi musuh yang kuat, kita harus lebih pintar dan berhati-hati. Tapi yang terpenting, kamu harus tetap teguh pada prinsipmu. Jangan pernah biarkan mereka menguasai hidupmu, Nadia. Tetaplah berpegang pada kebenaran dan kepercayaan dirimu.”
Nadia menatap ibunya, melihat betapa berat beban yang harus dipikulnya. Meski takut, ada api kecil dalam dirinya yang mulai menyala, membangkitkan sebuah tekad untuk melawan, tidak hanya demi dirinya, tetapi juga untuk menghormati warisan ayahnya yang telah mengajarkannya untuk tidak pernah menyerah. Ia tahu bahwa saat ini, kepercayaan diri adalah senjata terkuat yang bisa ia miliki.
“Terima kasih, Bu,” bisik Nadia, suara yang penuh dengan keyakinan baru, walaupun di baliknya masih ada rasa takut yang mengintai. “Aku akan bertahan. Aku akan berjuang.”
Dewi mengangguk, air mata kecil mengalir di pipinya, sebuah tanda kebanggaan dan kekhawatiran yang bercampur. “Aku percaya padamu, Nadia. Ingatlah, tak peduli seberapa besar luka yang kamu alami, ada selalu tempat yang aman di dalam dirimu, tempat yang akan selalu melindungimu.”
Malam itu, Nadia berbaring di tempat tiduran, memandang langit malam melalui jendela. Bintang-bintang bersinar, seolah memberi sinyal bahwa ada harapan, bahkan di tengah kegelapan. Angin malam yang lembut menyentuh wajahnya, membawa kedamaian yang sangat dibutuhkan. Dengan tekad baru, ia tahu satu hal: pertempuran ini baru saja dimulai, dan dia akan siap menghadapi segala konsekuensinya, berbekal keberanian dan kepercayaan pada dirinya sendiri.
semangat