Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Pilihan Sulit
Malam itu, Elyana tidak bisa tidur. Ia duduk di depan meja kamarnya, menatap jam saku yang kini terasa semakin berat di tangannya. Kilasan-kilasan ingatan dari masa depan yang pernah ia lihat terus menghantui pikirannya. Ia tahu, waktunya untuk membuat keputusan sudah semakin dekat.
Kehidupan atau Kebahagiaan?
Sejak ia kembali ke masa lalu, Elyana sadar bahwa tindakannya telah memengaruhi takdir Davin. Namun, ia juga mulai memahami bahwa tidak semua perubahan membawa kebahagiaan yang diinginkan. Jika ia memilih untuk menyelamatkan Davin dari nasib tragisnya, apakah itu akan mengorbankan kebahagiaan yang baru saja mulai mereka bangun?
Saat pagi tiba, Elyana memutuskan untuk berbicara dengan Pak Henry. Ia percaya bahwa pria tua itu, yang sudah mengenal Davin sejak kecil, mungkin memiliki petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan.
“Pak Henry,” Elyana memulai percakapan mereka di taman belakang, “Jika Anda tahu ada cara untuk menyelamatkan seseorang yang Anda sayangi, tetapi cara itu mungkin membuat Anda kehilangan hal-hal yang Anda cintai, apa yang akan Anda lakukan?”
Pak Henry mengamati Elyana dengan mata penuh kebijaksanaan. “Nona Elyana, hidup selalu penuh dengan pilihan sulit. Namun, saya percaya bahwa cinta sejati tidak pernah egois. Jika kita benar-benar mencintai seseorang, kita akan memilih yang terbaik untuk mereka, meskipun itu berarti mengorbankan kebahagiaan kita sendiri.”
Jawaban itu membuat Elyana semakin bingung, tetapi juga memberinya keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Malam harinya, Elyana menemui Davin di ruang kerjanya. Lelaki itu sedang sibuk dengan dokumen-dokumen penting, tetapi ia berhenti begitu melihat Elyana masuk.
“Kamu kelihatan gelisah,” kata Davin, meletakkan dokumen di tangannya. “Ada apa?”
Elyana mengambil napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah, tetapi ia harus melakukannya. “Davin, jika kamu harus memilih antara kebahagiaanmu sendiri dan keselamatanmu, mana yang akan kamu pilih?”
Pertanyaan itu membuat Davin terdiam. Ia memandang Elyana dengan tatapan serius, mencoba mencari arti di balik pertanyaan tersebut. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin tahu,” jawab Elyana, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Mungkin... aku sedang mencoba memahami sesuatu.”
Davin tersenyum tipis. “Bagiku, keselamatan seseorang yang aku sayangi jauh lebih penting daripada kebahagiaanku sendiri. Kenapa? Karena kebahagiaanku adalah melihat mereka bahagia, tidak peduli apa yang terjadi padaku.”
Kata-kata Davin menusuk hati Elyana. Ia sadar bahwa cinta yang Davin maksudkan adalah cinta tanpa syarat—sesuatu yang mungkin belum sepenuhnya ia pahami sebelumnya.
Ketika malam semakin larut, Elyana duduk di kamarnya, menatap jam saku yang kembali mengingatkannya pada perannya dalam perjalanan waktu ini. Jika ia ingin menyelamatkan Davin dari nasib tragisnya, ia harus siap mengorbankan kebahagiaannya sendiri—mungkin bahkan kesempatan untuk bersama Davin di masa depan.
Namun, Elyana tahu bahwa ia tidak bisa egois. Jika cinta berarti membiarkan Davin hidup tanpa dirinya, maka ia rela melakukannya. Ia hanya ingin melihat lelaki itu bahagia, bahkan jika ia harus melakukannya dari jauh.
Dengan tekad bulat, Elyana menguatkan dirinya untuk menghadapi apa pun yang akan datang. “Aku akan memilihmu, Davin,” gumamnya pelan. “Aku hanya berharap ini adalah pilihan yang benar.”
Esok harinya, Elyana memutuskan untuk melakukan langkah pertama dari rencananya. Ia tahu bahwa keputusannya harus dimulai dari memahami lebih dalam tentang peran jam saku dan bagaimana ia bisa mengubah alur takdir Davin.
Elyana kembali ke ruang kerja Davin dan membawa jam saku itu bersamanya. Ia memperhatikan setiap detail pada jam itu, mencoba mencari petunjuk yang mungkin telah ia abaikan sebelumnya. Pada bagian dalam tutup jam, ia menemukan ukiran kecil dengan tulisan:
"Waktu adalah perjalanan, bukan tujuan."
Kata-kata itu membuat Elyana merenung. Apakah jam ini tidak hanya tentang perjalanan ke masa lalu, tetapi juga tentang memahami bahwa setiap momen memiliki makna?
Di saat yang sama, Elyana menyadari bahwa jam itu mulai bergerak lebih cepat dari biasanya. Jarum jamnya berputar dengan kecepatan yang tidak wajar, dan Elyana merasakan sensasi aneh—seperti tarikan gravitasi yang membawanya ke dalam dimensi lain.
Tiba-tiba, ia terhempas ke dalam sebuah ruangan asing. Suasana di sana terasa akrab, tetapi sekaligus menakutkan. Ia mengenali tempat itu sebagai rumah sakit—tempat di mana Davin, di masa depan, mengalami nasib tragisnya.
Masa Depan yang Menanti
Di rumah sakit itu, Elyana melihat dirinya sendiri sedang menangis di samping tubuh Davin. Ia mendengar dokter dan perawat berbicara dengan tergesa-gesa tentang kondisi Davin yang kritis. Namun, ada sesuatu yang berbeda.
Saat Elyana mendekati dirinya yang sedang menangis, ia menyadari ada kehadiran lain di ruangan itu—seorang wanita misterius dengan wajah tidak jelas, tetapi suaranya terdengar tajam dan penuh perhitungan.
“Kamu pikir bisa mengubah segalanya, Elyana?” suara wanita itu menggema di ruangan. “Setiap tindakanmu memiliki konsekuensi. Semakin keras kamu mencoba, semakin rumit takdir akan menuntut bayarannya.”
Elyana mencoba mendekati wanita itu, tetapi tubuhnya terasa tertahan. “Siapa kamu?” tanyanya dengan nada penuh ketakutan.
“Aku adalah bayangan dari keputusanmu,” jawab wanita itu. “Jika kamu ingin menyelamatkan Davin, kamu harus siap membayar harga yang sangat mahal. Apa kamu benar-benar yakin dengan jalan yang kamu pilih?”
Elyana terguncang. “Aku... aku hanya ingin dia hidup. Aku rela melakukan apa saja.”
“Apapun?” Wanita itu mendekat, dan wajahnya mulai terlihat lebih jelas—seolah-olah bayangan itu adalah refleksi Elyana sendiri. “Kalau begitu, bersiaplah kehilangan segalanya.”
Kembali ke Realita
Saat Elyana terbangun, ia berada kembali di ruang kerja Davin. Napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi dahinya. Jam saku itu kini tergeletak di meja, tampak biasa saja seperti sebelumnya. Namun, Elyana tahu bahwa pengalaman barusan bukan sekadar mimpi.
Ia menggenggam jam itu erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, ia tidak akan menyerah pada takdir.
Malam itu, Elyana memutuskan untuk berbicara dengan Davin, meskipun ia tahu lelaki itu mungkin tidak akan sepenuhnya memahami apa yang ia rasakan.
“Davin, pernahkah kamu berpikir bahwa hidup ini adalah tentang pilihan-pilihan kecil yang kita buat?” tanya Elyana, suaranya lembut tetapi serius.
Davin mengernyitkan alis. “Maksudmu?”
“Aku hanya... ingin tahu apakah kamu pernah merasa bahwa setiap keputusan yang kamu buat bisa mengubah jalan hidupmu—atau hidup orang lain,” jawab Elyana, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Davin menatap Elyana dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Mungkin. Tapi aku percaya bahwa apapun yang terjadi, kita hanya bisa melakukan yang terbaik dengan apa yang kita miliki.”
Kata-kata itu membuat Elyana sadar bahwa Davin, meskipun tidak tahu tentang perjalanan waktu atau rahasia di balik jam saku, memiliki kebijaksanaan yang sederhana tetapi kuat.
Elyana menyadari bahwa pilihannya bukan hanya tentang menyelamatkan Davin, tetapi juga tentang memahami bahwa hidup adalah serangkaian keputusan yang saling terhubung. Dengan tekad yang semakin kuat, ia bersiap menghadapi tantangan berikutnya, meskipun ia tahu bahwa harga yang harus ia bayar mungkin lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
...****************...