Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FIRST
Langit terbangun saat ia merasa haus. Kerongkongannya terasa kering, ia menatap jemarinya yang terasa hangat, ternyata tangannya dan tangan Jingga masih saling menggenggam. Senyum tipis terukir dari bibirnya, ia lalu menatap jam tangan yang masih melingkar di tangannya. Karena kantuk, ia sampai lupa melepas jam tangannya.
"Jam dua?" lirihnya. Rasa hausnya tiba-tiba hilang saat ia mengingat sesuatu, "Mimpi buruk itu? Malam ini aku tidak mimpi buruk lagi?" gumamnya dengan antusias. Ia hendak membangunkan Jingga, tapi kedua mata perempuan itu lebih dulu terbuka.
"Mas.." panggilnya dengan suara serak. "Kamu mimpi buruk lagi?" tanya Jingga. Ia berusaha mengembalikan kesadarannya, cemas jika Langit melawan mimpi buruk itu sendirian.
Langit menggeleng, "Aku tidak mimpi buruk malam ini, Jingga." Ia tersenyum lebar lalu tiba-tiba memeluk Jingga.
Jingga yang tak siap dengan serangan itu pun kembali berbaring karena terdorong oleh tubuh suaminya. Kedua matanya mengerjap, ia masih berusaha mencerna kata-kata Langit, "Mas, maksud kamu apa?"
Langit melepaskan Jingga, ia sedikit mengangkat tubuhnya untuk memberi jarak agar mereka saling menatap, "Aku bisa melewati malam ini tanpa mimpi itu, Jingga. Dan ini berkat dirimu," Langit kembali memeluk Jingga.
Lagi-lagi Jingga hanya bisa mengerjap terkejut. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum dan membalas dekapan suaminya, "Syukurlah, aku bahagia mendengarnya. Kamu pasti sembuh mas, kita akan terus berusaha."
Langit mengangguk, ia mengeratkan dekapannya pada Jingga. "Tadi aku kehausan, karena itu aku bangun," jelas Langit tanpa Jingga bertanya.
"Lepaskan aku dulu, aku akan mengambilkan air minum untukmu," ucap Jingga. Lama-lama dalam posisi itu membuatnya gugup. jantungnya mulai bereaksi ketika kehangatan tubuh suaminya semakin ia rasakan.
Langit tertawa, "Maafkan aku, aku begitu bahagia. Aku lupa memeluk orang, bukan guling."
Jingga ternganga mendengar ucapan Langit, ternyata pria itu bisa membuat lelucon. Ia kira hidup Langit lurus meski sikap dinginnya mulai mencair, tapi baru kali ini pria tua itu membuat lelucon.
Langit beranjak duduk, begitu pun dengan Jingga. Gadis itu lalu turun dari ranjang untuk membawakan air yang terletak di atas meja sofa.
Langit tampak sumringah saat Jingga memberikan segelas air putih untuknya. Keningnya berkerut saat mendapati raut wajah Jingga yang terlihat sedikit muram, ia lalu bertanya setelah menyimpan gelas kosongnya di atas nakas, "Jingga, kamu kenapa? Apa ada yang salah? Kamu tidak suka aku sembuh?"
Jingga sontak menggeleng, "Bukan, bukan seperti itu mas. Tentu aku sangat bahagia, tapi.."
"Tapi?" ulang Langit, ia menelisik wajah muram istrinya, menatap gadis itu dalam-dalam. "Ada apa, Jingga? Katakan yang sejujurnya," titahnya dengan lembut.
Jingga yang semula menatap kosong ke sembarang arah, kini mulai menatap Langit. Menatap penuh wajah tua sang suami lalu berkata, "Apa, apa jika kamu sembuh itu berarti tugasku selesai? Apa aku tidak di butuhkan lagi? Apa kamu tidak akan memintaku menemanimu tidur lagi?"
Langit menahan senyum mendengar serentetan pertanyaan yang istrinya lontarkan, ia lalu meraih tangan Jingga kemudian mengecupnya, "Mana mungkin seperti itu. Sayangnya, tugasmu sebagai istriku harus kamu emban selamanya. Kamu tidak akan bisa lari, Jingga. Aku memberikanmu tugas seumur hidup, apa kamu keberatan?"
Jingga tersenyum lebar, ia menggeleng, "Dengan senang hati aku menerimanya, Tuan! Dan kamu juga terikat kontrak selamanya denganku, kamu tidak akan bisa memecat ku!"
Mereka tertawa, sampai Langit memeluk Jingga, tawa mereka baru terhenti.
"Terima kasih, Jingga. Dan temani aku selamanya, jangan pernah berpikir untuk pergi dariku. Karena aku tidak akan pernah membiarkan kamu lepas dari sisiku," ucap Langit.
Jingga mendongak, menatap Langit yang menunduk menatapnya. Gadis itu tersihir oleh dalamnya tatapan Langit, membuat dadanya berdesir hebat saat perlahan pria itu terus menunduk mendekat padanya.
Waktu terasa berhenti saat pria itu menempelkan bibirnya di bibir Jingga. Keduanya diam, tak bergerak bahkan saling menahan nafas.
Sampai perlahan mata keduanya terpejam namun bibir mereka masih menempel tanpa pergerakan.
Langit yang awam akan kegiatan panas, di tambah Jingga yang teramat polos dan tak mengerti dengan hal seperti ini, membuat mereka hanya diam kaku dengan bibir yang terus saling menempel tak bergerak.
Entahlah, Langit memang bodoh jika di hadapkan dengan hal seperti ini. Otaknya bekerja sempurna saat di hadapkan dengan pekerjaan saja, mengenai wanita dan kegiatan ranjang otaknya nol besar. Pria setua itu, hanya menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja. Ia tak pernah tahu dan tak pernah mencari tahu tentang kegiatan ranjang.
Entah sampai kapan mereka dalam posisi itu, mungkin sampai keduanya merasa pegal, baru lah mereka akan saling melepaskan.
Ges, jangan hujat mas Langit yah. Ceritanya dia Oneng aja, harus les dulu keknya. Yok siapa yang mau jadi guru privatnya pak tua itu? Daftar ges..