Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Izin yang Alot
Rumah keluarga Harper malam itu dipenuhi suasana hangat. Hawa, yang baru saja pulang kerja, langsung disambut aroma khas masakan ibunya, Tamara Harper. Dapur tampak sibuk dengan Tamara yang sedang menggoreng ikan, sementara Dylan Harper, sang ayah, duduk di ruang tamu menikmati teh hangat sambil membaca koran.
"Hawa, capek, ya? Sudah cuci tangan? Bantu Mama sebentar, Kak Benji sama keluarganya sudah mau sampai," kata Tamara dengan suara lembut, tetapi penuh semangat.
Hawa tersenyum, mengangguk, dan segera menggulung lengan bajunya. "Iya, Ma. Aku bantu potong sayur aja ya, biar cepat."
Tak lama kemudian, pintu depan terdengar diketuk. Benji Harper, kakak laki-laki Hawa, masuk bersama istrinya, Malika, dan anak mereka yang berusia tujuh tahun, Nikki. Nikki langsung berlari ke dapur begitu melihat Hawa.
"Tante Hawa! Aku kangen!" seru Nikki sambil memeluk Hawa erat.
Hawa tertawa dan mengusap rambut keponakannya yang lucu itu. "Tante juga kangen sama Nikki. Wah, tambah pintar aja nih!"
Setelah makan malam selesai, keluarga Harper berkumpul di ruang tamu. Nikki duduk manis di pangkuan Benji, sementara Malika sibuk menyuapkan buah ke mulut Nikki. Dylan Harper mengamati keluarganya dengan senyum puas.
Namun, Hawa terlihat gelisah. Ia berulang kali memainkan jemarinya, terlihat ragu ingin berbicara. Dylan, yang peka, segera menyadari hal itu. "Hawa, kamu seperti mau ngomong sesuatu. Apa itu, Nak?"
Semua mata tertuju ke Hawa. Dengan napas berat, ia mulai bicara. "Papa, Mama, aku mau minta izin. Aku diminta untuk tinggal sementara di rumah seseorang yang membutuhkan bantuan."
Tamara langsung menatap putrinya dengan khawatir. "Rumah siapa, Hawa? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Hawa menggigit bibir, berusaha mencari kata-kata. "Ada seorang anak kecil, Ma. Namanya Emma. Dia... Dia sangat membutuhkan aku. Aku nggak tega meninggalkannya."
Benji ikut angkat bicara. "Tunggu, tunggu. Kenapa harus kamu? Apa nggak ada orang lain yang bisa membantu? Apa hubungannya anak itu dengan kamu?"
Hawa menjelaskan dengan hati-hati, menceritakan tentang pertemuannya dengan Emma tanpa memberikan terlalu banyak detail. Ia tahu harus menyembunyikan fakta tentang Harrison dan situasi kecelakaan itu.
"Aku tahu ini terdengar aneh, tapi anak itu sangat terikat denganku. Dia trauma dan hanya merasa nyaman kalau aku ada di dekatnya," kata Hawa dengan nada memohon.
Dylan mengerutkan dahi, mencoba mencerna penjelasan putrinya. "Hawa, ini bukan masalah sederhana. Tinggal di rumah orang asing? Kamu yakin ini keputusan yang tepat?"
"Aku sudah memikirkannya, Pa. Ini nggak akan lama, cuma sampai dia merasa lebih baik," jawab Hawa dengan tegas.
Tamara menatap Hawa dengan cemas. "Mama cuma takut terjadi sesuatu sama kamu, Nak. Kamu tahu kan, dunia sekarang ini penuh orang jahat."
Hawa menggenggam tangan ibunya. "Mama, percayalah. Aku tahu yang aku lakukan. Aku nggak akan membahayakan diriku sendiri."
Perdebatan itu berlangsung cukup lama, hingga suara ketukan pintu kembali terdengar. Dylan bangkit untuk membukanya, dan di depan pintu berdiri Emma, ditemani seorang sopir pribadi yang menunggu di mobil.
Emma melangkah masuk dengan boneka kesayangannya di tangan. Matanya langsung mencari Hawa. Begitu melihatnya, Emma berlari kecil dan memeluk Hawa erat-erat.
"Kak Hawa! Aku mau ikut Kak Hawa!" kata Emma dengan suara kecil, tetapi penuh emosi.
Semua anggota keluarga Harper tertegun melihat pemandangan itu. Nikki, yang penasaran, mendekati Emma dan memperkenalkan diri.
"Hai, aku Nikki. Kamu siapa?" tanya Nikki dengan senyuman lebar.
Emma memandang Nikki sejenak sebelum menjawab pelan, "Aku Emma."
Nikki tertawa kecil. "Kita seumuran, lho! Kamu suka main boneka? Aku suka mobilan besar."
Emma mengangguk pelan, masih memegang erat tangan Hawa. Nikki dengan cepat menarik tangan Emma dan mengajaknya duduk di lantai untuk bermain bersama.
Melihat kedekatan instan antara Emma dan Nikki, Tamara menyeka air matanya. "Dia manis sekali, Hawa. Mama ngerti sekarang kenapa kamu nggak tega meninggalkannya."
Dylan, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, menghela napas panjang. "Baiklah, Nak. Kalau itu memang keputusanmu, Papa nggak akan menghalangi. Tapi Papa minta satu hal hati-hati. Jangan terlalu memaksakan diri."
Hawa mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pa. Aku janji akan menjaga diri."
Tamara memeluk Hawa erat, sementara Benji mengacak rambut adiknya dengan senyum tipis. "Kamu memang nggak pernah bisa melihat orang lain menderita, ya," gumam Benji.
Emma, yang melihat keluarga Hawa begitu hangat, mulai merasa nyaman. Nikki terus mengajaknya bermain, sementara Tamara membawakan kue kecil untuk mereka nikmati.
Emma dan Nikki tampak bermain bersama di ruang tamu keluarga Harper. Nikki, meskipun biasanya lebih suka bermain sendiri, terlihat sangat ramah pada Emma. Ia dengan sabar menunjukkan koleksi mobil mainannya, Sesuatu yang jarang ia bagikan dengan orang lain.
"Emma, ini mobil balap favoritku. Kamu suka warna merah nggak?" tanya Nikki sambil menyerahkan sebuah mobil mainan kecil.
Emma mengangguk pelan. "Suka... Aku nggak punya mainan kayak gini di rumah," jawabnya dengan suara lembut.
Nikki tersenyum lebar. "Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam. Nanti kalau kita ketemu lagi, kamu balikin, ya."
Emma memandang Nikki dengan mata berbinar, seolah tidak percaya. "Benar aku boleh pinjam?"
"Benar! Tapi jaga baik-baik, ya," kata Nikki dengan tegas, tetapi tetap ramah.
Hawa, yang memperhatikan interaksi itu dari kejauhan, tidak bisa menahan senyum. Ia merasa lega melihat Emma begitu nyaman berada di rumah keluarganya. Tamara, yang duduk di sebelahnya, berbisik pelan.
"Nikki jarang sekali mau berbagi mainannya, apalagi dengan anak yang baru ia kenal. Emma pasti punya tempat istimewa di hati Nikki."
Hawa hanya tersenyum, tetapi dalam hatinya ia setuju. Nikki dan Emma terlihat sangat cocok sebagai teman, dan melihat mereka bermain tanpa beban membuat Hawa merasa damai.
Namun, saat malam semakin larut, Hawa tahu waktunya untuk kembali ke rumah Harrison bersama Emma telah tiba. Dengan berat hati, ia memanggil Emma untuk bersiap.
"Emma, kita harus pulang sekarang," kata Hawa lembut.
Emma, yang sedang tertawa bersama Nikki, mendadak terdiam. Ia menatap Nikki dengan ekspresi sedih. "Aku nggak mau pulang, Kak Hawa. Aku mau di sini main sama Nikki."
Nikki, yang mendengar itu, juga terlihat kecewa. Ia berusaha menghibur Emma. "Nggak apa-apa, Emma. Kita bisa ketemu lagi nanti. Kamu harus nurut sama Kak Hawa, ya."
Emma menunduk, menggenggam erat mobil mainan yang dipinjamkan Nikki. "Aku suka di sini... Nikki baik sama aku."
Hawa berlutut di depan Emma, menyentuh bahunya dengan lembut. "Emma, aku janji kita akan datang lagi ke sini kalau ada waktu. Tapi sekarang kita harus pulang. Kamu nggak mau Papamu khawatir, kan?"
Emma mengangguk pelan, meski masih terlihat sedih. Ia lalu memeluk Nikki erat, dan Nikki, yang meski masih kecil, menepuk punggung Emma dengan penuh pengertian.
"Kamu teman terbaik aku, Emma. Nanti kalau ketemu lagi, kita main yang lebih seru, ya," ujar Nikki dengan senyum hangat.
"Janji?" tanya Emma, matanya berkaca-kaca.
"Janji!" jawab Nikki dengan tegas.
Saat Emma akhirnya digandeng Hawa menuju mobil, Nikki melambai penuh semangat dari teras rumah, mencoba menyemangati Emma. Tamara dan Dylan juga berdiri di depan rumah, melepas kepergian putri mereka dan Emma dengan senyum lembut.
"Jaga dirimu, Hawa. Jangan lupa kabari Mama dan Papa kalau ada apa-apa," pesan Dylan dengan suara tenang namun tegas.
Hawa mengangguk, menahan rasa haru di dadanya. "Iya, Pa. Terima kasih sudah mengizinkan aku membantu mereka."
Di dalam mobil, Emma terus memegang mobil mainan pemberian Nikki dengan erat. Meski tidak banyak bicara, senyumnya perlahan muncul kembali.
Hawa menghela napas lega saat di dalam mobil bersama Emma. Dalam hati, ia tahu bahwa meski perpisahan ini sementara, persahabatan yang baru terjalin antara Emma dan Nikki akan memberikan pengaruh besar pada keduanya. Dan meski berat, ia yakin keputusan ini adalah yang terbaik untuk semua pihak.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa buat like dan komentarnya ya.
Terima kasih.