Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.
Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana untuk menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.
Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roshni Bright, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh
“Hm.. Benar-benar ya nih anak! Ada temannya ke rumah, Dia malah tidur,” gerutu Ibu Aisyah.
“Syah, Aisyah bangun!” pinta ibunya menepuk-nepuk pundak Aisyah.
Aisyah yang tidur pulas tidak merasakannya, dan akhirnya Ibunya meninggalkan Aisyah tidur di depan ruang tamu.
Kembali ke masa kini, Aisyah nampak tersenyum mengingat masa lalunya saat perkenalan dengan Ji-hyeon, namun tanpa disadari, senyumannya itu juga membuat airmatanya menetes.
“Dulu Kamu sangat manis, bahkan diawal perkenalan pun Kamu sudah mencoba untuk membuatku terkesima dengan sikapmu itu padaku ...”
“... Semakin lama Kita bersama, ah tidakk! tidakk! Tidak pernah ada “Kita” di dalam kisah yang hanya satu pihak saja yang mencintai, sedangkan pihak lain tidak ...”
“... walaupun aku tidak benar-benar tahu, apakah ada namaku didalam hatimu atau tidak, tapi jika memang ada, mengapa Kamu selalu bersikap seolah Kamu tidak mengenalku? ...”
“... Jika Kamu berpikir, jika aku marah akan kesalahanmu yang dulu, aku tidak pernah marah akan hal itu, justru setiap hal kecil diantara aku dan Kamu itu berkesan dihatiku,” ucap Aisyah tersenyum meneteskan airmatanya.
Aisyah kembali mengingat masa-masa indahnya bersama dengan Ji-hyeon.
Ji-hyeon mengajak Aisyah untuk pergi bermain.
“Assalamualaikum, Aisyah, main yuk!” ajak Ji-hyeon memanggilnya.
“Walaikumsallam, ayok, Kita main apa?” tanya Aisyah.
“Main bola yuk! Seru tahu, sore-sore kayak gini main bola,” jawab Ji-hyeon.
“Bola? Aku kan cewek Ji, kenapa diajakin main bola?”
“Ya kan aku cowok, terus main apa dong?”
“Hm yaudah deh ayok main bola!” ajak Aisyah menarik tangan Ji-hyeon.
Ji-hyeon terkejut akan hal itu dan jantungnya kembali berdetak kencang.
“Kita main di mana?” tanya Aisyah menatapnya.
“Di lapangan aja,” jawab Ji-hyeon.
“Lapangan mana? Aku gak tahu di mana lapangannya.”
“Lapangan kecil depan rumah Mama Pina aja.”
“Oh oke!”
Mereka langsung bermain bola saat tiba di lapangan.
Aisyah yang kesenangan bermain pun tidak sengaja tersandung batu hingga terjatuh.
“Ahh!” teriak Aisyah kesakitan.
“Eh Aisyah!” ucap Ji-hyeon yang langsung menghampirinya.
Ji-hyeon mengecek kondisi Aisyah, apakah ada yang luka atau tidak, nampak darah menetes di lututnya.
Ji-hyeon segera membantu Aisyah berdiri, agar tidak berada ditengah lapangan lagi, karena saat itu, bukan hanya Mereka saja yang bermain di lapangan, tapi juga ada beberapa anak yang sedang bermain di sana, termaksud dengan anak-anak yang menolak untuk bermain dengan Aisyah.
“Ahh aku gak kuat Ji, sakit banget kakiku,” ucap Aisyah.
Ji-hyeon akhirnya menggendongnya Aisyah ke luar lapangan, agar lukanya bisa segera diobati.
“Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau ambil obatnya dulu,” ucap Ji-hyeon.
“Jangan lama-lama ya!” pinta Aisyah.
“Iya!” jawab Ji-hyeon yang langsung pergi mengambilkan obat.
Tak lama kemudian Ji-hyeon kembali menghangat Aisyah.
“Kata Ibuku, kalau ada luka harus dibersihkan dulu dengan air dan sabun, biar gak infeksi kena kotoran, nanti baru dikasih obat lukanya. Tapi, ini sedikit perih sih, tahan ya!” pinta Ji-hyeon.
“Iya,” jawab Aisyah.
Ji-hyeon menuangkan sedikit air ke tutup botol, dan mencampurkan sabun cair. Ji-hyeon perlahan menuangkan air ke lututnya dan juga sabun yang tadi di tutup botol. Ji-hyeon membersihkan perlahan luka Aisyah, dan kembali menyiramkannya dengan air.
“Ahh sakitt!” teriak Aisyah mencakar pundak Ji-hyeon.
Ji-hyeon akhirnya mengobati luka Aisyah dengan menahan sakit di bahunya akibat cakaran kuku Aisyah.
Ji-hyeon menyeka luka Aisyah dengan tisu untuk mengeringkan sisa airnya.
Ji-hyeon meneteskan obat luka dan menempelkan handsaplast setelah obat lukanya mengering.
“Udah!” ucap Ji-hyeon tersenyum dan langsung berdiri.
“Udah?” tanya Aisyah.
“Iya, udah, kenapa emangnya?”
“Kok cepat?”
“Ya bagus dong! Kok Kamu malah aneh gitu sih?”
“Hm enggak! Gak apa-apa!”
Terdengar suara riuh perut kelaparan yang sangat kencang.
“Suara apaan itu?” tanya Ji-hyeon melihat ke sekelilingnya.
“HEHE! Suara perut aku!” jawab Aisyah tersenyum malu memegangi perutnya.
“Kamu lapar?” tanya Ji-hyeon.
“Iya,” jawab Aisyah.
“Yaudah yuk cari makan!” ajak Ji-hyeon membantu Aisyah berdiri.
Ji-hyeon memapah Aisyah untuk mencari makanan. Mereka membeli nasi kuning 2 porsi yang kala itu harga 1 porsinya masih 5 ribu rupiah.
“Bu, nasi kuning 2 ya,” ucap Ji-hyeon pada penjual nasi kuning.
Gorengannya apa Dek?” tanya penjual.
“Kamu mau apa?” tanya Ji-hyeon menatap Aisyah.
“Tahu,” jawab Aisyah.
“Tahu dua-duanya ya Bu,“ ucap Ji-hyeon pada penjual.
“Ah iya Dek!” ucap penjual yang membungkus pesanan Mereka.
“Ini Dek, sepuluh ribu,” ucap penjual memberikan pesanan Mereka.
“Ini Bu, makasih,” ucap Ji-hyeon tersenyum tersenyum menganggukkan kepala.
“Iya Dek!” jawab penjual.
Ji-hyeon kembali memapah Aisyah dengan memegang nasi yang tadi dibeli.
“Sini! Biar aku aja yang bawa nasinya!” pinta Aisyah yang langsung merebutnya.
“Eh jangan!” ucap Ji-hyeon yang merebutnya kembali.
“Kenapa?” tanya Aisyah.
“Kan Kamu lagi sakit,” jawab Ji-hyeon.
“Enggak! Kata siapa? Aku gak sakit kok!” ucap Aisyah melepaskan tangan Ji-hyeon.
“Oh gak sakitt.. Oke! Coba jalan sendiri, aku mau lihat!”
“Oke!” jawab Aisyah yang nampak kesulitan berjalan.
“Gimana? sakit?” tanya Ji-hyeon melihat Aisyah yang terus mencoba berjalan.
“Enggak tuh! Ayok ihh! Kamu ngapain malah diam saja di sana melihatku seperti itu? Aku gak apa-apa kok! Aku lapar! Ayok cepetan ahh!” ajak Aisyah yang nampak kesal melihat Ji-hyeon yang hanya terdiam mematung menatapnya.
“Yakin gak kenapa-kenapa?” tanya Ji-hyeon yang nampak khawatir.
“Iya, udah cepetan jalan ikh! Malah diam saja di situ! Yaudah kalau gak mau makan, ya aku saja yang makan dadadada!” ucap Aisyah melambaikan tangan pada Ji-hyeon dan pergi meninggalkannya.
“Ahh.. tunggu dong! masa aku ditinggalin sendirian sih!” ucap Ji-hyeon berlari mengejarnya.
“Ya makanya ayok! Cepetan!” perintah Aisyah yang nampak kesal melihatnya.
Aisyah berhenti di bangku taman, dan membuka kedua bungkus nasi yang ia bawa.
“Itu udah aku bukain, ayok makan!” ajak Aisyah.
“Mau makan di sini aja?” tanya Ji-hyeon.
“Iya, kenapa?” tanya Aisyah sembari mengunyah makanan.
“Yaudah Kamu makan duluan aja, aku titip nasiku ya, jagain lho! Awas lalat! Kalau gak ikat karet aja lagi.”
“Lho, kamu mau ke mana emangnya?”
“Mau beli air dulu lah, masa makan gak minum sih? Ya haus lah!”
“Oh iya ya! Yaudah sana! Beli yang dingin ya!”
“Iya!”
Ji-hyeon pergi untuk membeli minuman, sedangkan Aisyah mengikat kembali nasi Ji-hyeon dengan karet, dan juga mengikat kembali nasinya.