Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mayat Tanpa Kepala
Baskara mengenakan seragam polisi lengkap ketika sidang pertama dilangsungkan. Prass, sahabat Aliando setia memata-mati gerakan saudara angkat Ali.
Prasetyo juga tidak suka menerima kenyataan jika polisi intel gila jabatan itu yang berhasil menyelesaikan persoalan panjang ini.
Padahal, dari awal terbentuknya tim, Aliando lah yang bekerja keras. Apa boleh dikata, keberuntungan berpihak ke orang lain.
Hakim mengetuk palu, sidang perdana telah selesai dalam kurun waktu yang cukup singkat . Meski ini masih sidang pertama, semua orang yang hadir di sana pun tahu jika sampai selesainya sidang nanti, keputusan hakim tidak akan berubah. Antek-antek pengedar narkoboy itu akan dijatuhi hukuman yang tidak sesuai.
“Tidak ada gunanya Jaksa mendakwa perempuan itu,” kata polisi yang berdiri di samping Prass.
“Kenapa?” Prass masih terus memperhatikan gerak-gerik Baskara.
“Kasus ini bukan sembarang kasus. Lihat saja nanti, bakalan banyak yang terseret.”
Prass menoleh. “Maksud lo?”
“Kasus ini berhubungan dengan perdagangan manusia. Beberapa oknum polisi terlibat di dalamnya.”
“Heh, jangan sembarangan ngomong.” Prass mentoel kepala temannya. Walau pun Prasetyo sudah tahu akan hal itu karena Ayahnya sudah bicara dengannya.
***
Lolly bersandar di pojokan sel tahanan. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Pria berkalung besi itu kembali mengunjunginya. Kaca jam tangan Royalex mahal itu memantul ke wajah Lolly.
Perempuan itu segera berjalan merangkak menuju si Polisi yang tidak diketahui wajahnya. “Pak, kapan saya bebas?” suara Lolly begitu memohon penuh keresahan dan kecemasan hebat.
Polisi bersuara rendah agak ngebass itu berjongkok dan meraih rahang Lolly dengan kasar. Tangan besarnya yang penuh urat bergemetaran. “Kamu berani bohongi saya, hah?”
“Ti … tidak, Pak.” Lolly menggeleng kuat, air matanya mulai berlinang.
“Kartu memorinya tidak ada!”
“Tapi saya yakin, Pak. Desta menyimpannya di sana.”
“Cuih!” Polisi berperawakan tinggi itu meludahi mulut Lolly. “Katakan, selain kamu, siapa yang pernah lihat pacar kamu menyimpan kartu memori itu di sana?”
“Tidak ada, Pak. Cuma saya yang tahu.”
Polisi itu menghempaskan kepala Lolly dengan kasar. Ia meregangkan lehernya, mendengus kasar.
“Hey, kamu.” Panggilnya menggelegar menggunakan telunjuk. “Ke sini.”
Sipir itu segera berlari sambil memperbaiki sepatunya yang belum terpasang dengan benar karena ia terbangun dari tidurnya, dasar pemalas.
“Iya, Pak?” Tunduknya takut.
“Buka selnya.”
Sipir itu mendongak. Mulutnya melebar. “Tapi …, Pak.”
Plakkk!
Tamparan keras menghantam sipir hingga badannya agak terhuyung ke belakang.
“Buka!”
“Ba … baik, Pak.” Tangan sipir gemetar parah ketika memasukkan kunci.
Sementara Lolly mundur karena begitu ketakutan. Perasaannya sangat tidak enak.
Sepatu laras itu melangkah masuk ke dalam sel. Ia menyeringai seperti serigala. “Disiksa dulu baru mau buka mulut, ya?”
***
Tanggal 24 November 2024. Kantor polisi kota J dibuat geger dengan penemuan mayat berseragam cokelat tergantung tanpa kepala di pohon mangga.
Baskara datang setengah berlari. Ia segera mengeluarkan sapu tangannya, ia mual. “Huwekkk.”
Pak Abraham dengan ekspresi ketakutan berdiri seperti patung di sana. Mencari pegangan karena nyaris oleng tapi tak ada yang dapat ia sentuh. Nyaris limbung, Prass segera datang menopangnya.
Para polisi berseragam mengerumuni pohon mangga itu. Beberapa diantara mereka berbisik, membahas tentang takhayul. Polisi tanpa kepala itu dianggap mati karena Komjenpol Pak Chandra tidak menunaikan kebiasaan memotong sapi seratus ekor ketika pergantian pemimpin.
“Kalian ternyata masih banyak yang tolol!” teriakan jijik dari orang yang dimaksud terdengar. Satu per satu polisi yang percaya takhayul tadi menunduk bodoh seperti ayam sakit.
Pak Chandra datang bersama anak buahnya. Pria berwibawa itu memandang sinis mayat salah satu polisi intel yang tergantung di atas sana tanpa kepala.
“Sudah saya duga. Hal ini pasti akan terjadi,” gumam Komjenpol itu.
Baskara yang sudah puas muntah segera kembali ikut dalam kerumunan rekannya. Ia sama sekali tidak ingin melihat ke atas. Prass yang sejak tadi memperhatikannya malah tertawa mengejek.
“Bass …,” Pak Abraham mencari putranya. “Bass!”
Beberapa anggota polisi berbalik, melihat salah satu bosnya nampak ketakutan. Mereka semua pada akhirnya teralihkan pandangannya pada Pak Abraham.
“Baskara di sini, Pih.” Pria itu memegang tangan Papinya erat.
“Bass …, kamu sudah telfon Ali?” suara Papinya terdengar gemetar hebat. Keringat jatuh dari pelipisnya.
Baskara mendengus kesal. “Mikirin orang itu lagi?”
“Bass …, bawa kakakmu kembali ke sini, segera!”
Karena Baskara sudah menyadari kalau dia dan Papinya menjadi pusat perhatian. Ia segera membawa Papinya pergi menjauh dari sana.
Dalam ruangan, Pak Abraham menghempaskan tangan putranya. “Kamu tidak mendengarkan, Papi?!”
“Pih …, Baskara udah datengin dia. Tapi, manusia yang satu itu malah ngusir Baskara.”
“Harusnya kamu tetap di sana! Biasanya kamu keras kepala! Kenapa kali ini tidak?!” geram Pak Abraham. Karena terlalu emosi, penyakit jantung Pak Abraham seketika kumat.
“Pih!” Baskara segera mendudukkan Papinya ke kursi. “Pih …, tenang, Pih.”
Pak Abraham menggeleng, dadanya terasa teriris. “Tolong …, bawa kakakmu kembali ke sini, Bass.”
“Padahal Papi pernah bilang kalau dia udah mau Papi buang! Kenapa saat ini disuruh pungut lagi?!” beo Baskara tidak mengerti.
“Itu cuma skenario Papi, Bass!” teriak Pak Abraham, ia ngos-ngosan parah, masih berusaha bicara, “Papi sengaja minta tolong Pak Chandra untuk kirim kakakmu ke Papua biar dia tidak dijadikan kambing hitam, Bass.”
“Apa?” Baskara berjongkok, ia mendekat pada Papinya. Keresahan seketika muncul di wajahnya. Meski Baskara tidak suka pada Aliando, ia sama sekali tidak pernah berpikir untuk memfitnah bahkan membunuhnya.
“Apa maksud Papi?” beo Baskara penasaran.
“Ada kelompok mafia dalam institusi kita, Bass. Yang berbeda pendapat dengannya akan dihabisi.”
“Termasuk kita?” tanya Baskara, bibirnya memucat.
“Ya.” Angguk Pak Abraham. “Bawa Aliando pulang, Bass. Papi mohon.”
“Tapi dia gak mau, Pih. Ali itu orangnya keras kepala.”
“Sama sepertimu, Bass.”
“Bukan waktunya untuk menyamakan aku dengan dia, Pih.”
Pak Abraham menggebrak meja dengan sisa tenaganya. “Pokoknya bawa kakakmu pulang. Titik!”
“Istrinya?” tiba-tiba saja Baskara mengingat Laras. Ya, wanita yang ia temui di bandara. Hari itu saat keberangkatan Aliando ke Papua. Baskara baru tahu jika wanita yang dinikahi saudara angkatnya adalah Laras.
“Jika merepotkan …, tinggalkan gadis itu di sana,” jawab Pak Abraham tersengal.
Tidak lama setelah bicara, pandangan Pak Abraham menggelap. Polisi bintang dua itu pingsan. Baskara segera mengangkat Papinya menuju rumah sakit kantor polisi.
Tanpa dia sadari, seorang pria tinggi yang mengenakan seragam persis seperti dirinya tengah berdiri di ruangan sebelah. Ia menyeringai tajam. Pergelangan tangannya bergerak memperbaiki posisi jam tangan Royalexnya.
“Jangan harap Aliando bisa pulang dalam keadaan bernyawa.”