Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Aksi Harrison
Sore hari, suasana di rumah Harrison terasa sunyi setelah Emma dan Harrison pulang lebih dulu dari rumah sakit. Hawa masih berada di sana untuk lembur malam, mengurus pasien-pasien yang membutuhkan perhatian khusus. Emma tampak duduk di meja makan dengan wajah serius, tatapannya terpaku pada piring di depannya tanpa nafsu makan.
Harrison memperhatikan tingkah putrinya itu. Biasanya, Emma adalah anak yang ceria dan tak pernah melewatkan waktu makan. “Emma, kamu kenapa? Makanannya nggak enak?” tanya Harrison, mencoba memecah keheningan.
Emma mengangkat wajahnya, menatap papanya dengan mata yang penuh tekad. “Papa, aku mau ngomong sesuatu.”
Harrison menaruh sendok dan garpunya, mendekatkan kursinya ke arah Emma. “Apa yang mau kamu bicarakan, Sayang?”
Emma menarik napas panjang, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk percakapan yang sangat penting. “Papa, aku nggak suka dokter itu terus gangguin Kak Hawa.”
Harrison mengangkat alisnya. “Dokter Hakim? Kenapa kamu pikir dia ganggu Kak Hawa? Apa yang kamu ketahui, Emma?”
“Dia selalu cari alasan untuk dekat sama Kak Hawa. Aku nggak suka cara dia liat Kak Hawa, dan dia bikin Kak Hawa nggak nyaman, seperti orang suka, Pa.” jawab Emma tegas.
Harrison terdiam sejenak, memikirkan ucapan Emma. Selama ini, ia memang memperhatikan bahwa ada sesuatu yang aneh dalam interaksi antara Hawa dan Dokter Hakim. Namun, ia belum pernah benar-benar memikirkannya dengan serius.
“Emma, dokter itu hanya bekerja sama dengan Kak Hawa. Mereka punya tanggung jawab masing-masing di rumah sakit,” ujar Harrison mencoba menenangkan Emma.
“Tapi, Papa…” Emma menatap Harrison dengan mata berkaca-kaca, suaranya mulai bergetar. “Aku nggak mau Kak Hawa disakiti atau diganggu. Kak Hawa itu baik banget sama aku, dan aku pengen dia tidak ada mengganggunya lagi, Pa.”
Harrison merasa tersentuh dengan ketulusan Emma. Ia mengusap kepala putrinya dengan lembut. “Papa akan lihat apa yang bisa Papa lakukan, tapi Papa nggak bisa janji apa-apa, ya?”
Emma mengangguk, tetapi ia belum selesai. “Papa, aku mau Kak Hawa jadi mama aku.”
Deg!
Harrison tertegun. Ucapan itu seperti petir di siang bolong. “Apa? Emma, kamu nggak bisa sembarangan ngomong seperti itu.”
“Tapi aku serius, Papa,” jawab Emma dengan sungguh-sungguh. “Kak Hawa itu baik, perhatian, dan selalu jaga aku. Aku pengen dia yang jadi mama aku.”
Harrison hanya bisa menghela napas panjang. “Emma, kamu masih kecil. Kamu nggak bisa membuat keputusan seperti ini. Nikmati duniamu, Emma. Lagipula, Papa dan Kak Hawa belum saling kenal terlalu lama.”
“Tapi Papa juga suka sama Kak Hawa, kan?” potong Emma dengan polosnya.
Harrison langsung terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia tak bisa memungkiri bahwa Hawa memang memiliki daya tarik yang berbeda. Wanita itu penuh perhatian, lembut, dan memiliki hubungan yang luar biasa dengan Emma. Namun, memikirkan untuk melangkah sejauh itu adalah hal yang belum pernah ia pertimbangkan sebelumnya.
“Emma, ini bukan hal yang mudah. Papa akan pikirkan soal itu, tapi sekarang kita fokus saja pada memastikan Kak Hawa nyaman bekerja di rumah sakit, ya?” ujar Harrison akhirnya.
Emma mengangguk dengan sedikit senyum di wajahnya. Meski belum mendapatkan jawaban pasti, ia merasa sudah membuat papanya mulai berpikir ke arah yang diinginkannya.
Saat Emma sudah tertidur di kamarnya, Harrison telp Ares dan memberikan perintahnya yang akan mewujudkan keinginan putri semata wayangnya itu.
"Res, perintahkan CEO rumah sakit itu agar memindahkan Dokter Hakim kemana saja, yang jauh lebih baik."
"Baik, Tuan." jawab Ares di telp.
***
Dua Hari Kemudian
Kabar bahwa Dokter Hakim akan dipindahtugaskan tersebar di seluruh rumah sakit. Para suster dan dokter muda membicarakannya dengan nada prihatin. Bagaimana pun, Dokter Hakim dikenal sebagai dokter yang kompeten dan ramah, meski ada beberapa yang menganggapnya sedikit terlalu “akrab” dengan beberapa staf.
Hawa yang baru mendengar kabar itu merasa terkejut. Ia langsung menuju ruang dokter untuk memastikan. Saat ia membuka pintu ruangan yang biasa digunakan Dokter Hakim, ia mendapati ruangan itu telah diisi oleh dokter baru. Dokter tersebut tampak lebih tua dan membawa aura profesionalisme yang kuat.
“Permisi, Dokter. Saya Suster Hawa. Saya ingin memastikan apakah benar Dokter Hakim sudah dipindahtugaskan?” tanya Hawa sopan.
Dokter itu tersenyum ramah. “Oh, iya. Dokter Hakim sudah dipindahkan ke rumah sakit cabang lain. Mulai hari ini, saya yang akan mengambil alih tugas-tugasnya di sini.”
Hawa mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Meski Dokter Hakim tidak pernah terang-terangan mengganggunya, Hawa selalu merasa tidak nyaman dengan cara pria itu mencoba mendekatinya.
Namun, Hawa juga merasa penasaran. Perpindahan Dokter Hakim terasa mendadak dan tidak biasa. Saat ia sedang merenungkan hal itu, seorang rekan suster mendekatinya.
“Kak Hawa, kamu tahu nggak? Katanya, ada seseorang yang melaporkan Dokter Hakim karena sering bertingkah terlalu akrab dengan staf. Aku dengar manajemen langsung mengambil tindakan dan memindahkannya,” bisik suster itu.
Hawa terdiam. Ia mulai bertanya-tanya, siapa yang mungkin melaporkan Dokter Hakim?
Malam Harinya
Ketika Hawa pulang dari rumah sakit sekitar tengah malam, ia mendapati Emma sudah tertidur lelap di kamar, sementara Harrison sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi di tangannya.
“Kamu lembur lagi?” tanya Harrison ketika Hawa masuk.
Hawa mengangguk sambil meletakkan tasnya. “Ya, ada beberapa pasien yang membutuhkan perhatian ekstra.”
Harrison memandang Hawa dengan serius. “Aku dengar Dokter Hakim sudah dipindahtugaskan.”
Hawa tertegun sejenak sebelum menjawab, “Iya, aku baru tahu hari ini. Rasanya mendadak sekali.”
“Apa kamu merasa lebih nyaman sekarang?” tanya Harrison langsung.
Hawa mengangguk, meski sedikit ragu. “Ya, saya rasa begitu. Tapi saya tidak tahu siapa yang melaporkan dia.”
Harrison hanya tersenyum kecil, lalu mengalihkan pembicaraan. “Emma tadi bilang dia sangat merindukan kamu. Dia terus-menerus bertanya kapan kamu pulang.”
Hawa tersenyum hangat, membayangkan Emma dengan tingkah manjanya. “Emma memang anak yang luar biasa. Dia sangat peduli dengan orang di sekitarnya.”
Harrison memandang Hawa dengan tatapan yang sulit ditebak. Ada sesuatu dalam cara Hawa berbicara dan membawa dirinya yang membuatnya merasa nyaman. Meski ia belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan, satu hal yang pasti: Hawa telah membawa perubahan besar dalam hidupnya dan Emma.
Namun, di balik pikirannya yang tenang, Emma sudah merencanakan langkah selanjutnya. Gadis kecil itu tidak akan berhenti sampai keinginannya terkabul menjadikan Hawa sebagai bagian resmi dari keluarganya.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Terima kasih semuanya, yang sudah rela mendukung karya mommy ini.
Hi, jangan lupa like dan komentarnya ya.