Seorang penjual keliling bernama Raka, yang punya jiwa petualang dan tidak takut melanggar aturan, menemukan sebuah alat kuno yang bisa membawanya ke berbagai dimensi. Tidak sengaja, ia bertemu dengan seorang putri dari dimensi sihir bernama Aluna, yang kabur dari kerajaan karena dijodohkan dengan pangeran yang tidak ia cintai.
Raka dan Aluna, dengan kepribadian yang bertolak belakang—Raka yang konyol dan selalu berpikir pendek, sementara Aluna yang cerdas namun sering gugup dalam situasi berbahaya—mulai berpetualang bersama. Mereka mencari cara untuk menghindari pengejaran dari para pemburu dimensi yang ingin menangkap mereka.
Hal tersebut membuat mereka mengalami banyak hal seperti bertemu dengan makhluk makhluk aneh dan kejadian kejadian berbahaya lainnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba di Desa
Raka berdiri terpaku di tempatnya, melihat dua makhluk besar berbentuk manusia kayu dengan mata bercahaya hijau. Jantungnya berdetak semakin cepat, tapi kali ini bukan karena pelarian. Melainkan, ia takut akan dihancurkan oleh dua monster pohon yang berdiri tidak jauh di depannya.
"Aluna... kau tahu apa yang kau lakukan, kan?" bisik Raka dengan nada penuh kekhawatiran.
Aluna menoleh sedikit, memberikan Raka tatapan yang mengatakan 'jangan ganggu aku'. Dia terus melantunkan kata-kata dalam bahasa sihir, mencoba menenangkan dua penjaga hutan yang terlihat seperti siap menyerang kapan saja.
"Eh, halo... hutan... atau apa pun kalian..." Raka berusaha tersenyum canggung ke arah mereka. "Kami cuma... turis yang tersesat! Hehe... Tidak usah pakai kekerasan, oke?"
Penjaga hutan itu tidak bergeming. Mereka menatap Raka seperti dia adalah serangga kecil yang siap diinjak kapan saja.
“Raka, diamlah,” bisik Aluna, sambil melanjutkan percakapan anehnya dengan penjaga hutan. Wajahnya serius, tetapi ada kilatan frustrasi di matanya setiap kali Raka membuka mulut.
Raka hanya bisa mengangguk pelan, meski tubuhnya terasa semakin gemetar. “Diam? Oke, aku bisa diam... Aku master dalam diam. Lihat saja—aku nggak bicara lagi. Serius.” Tapi tidak sampai lima detik kemudian, dia mulai bicara lagi. “Tapi... apa mereka mengerti bahasa kita? Maksudku, mereka bisa bicara, kan? Atau hanya—”
Aluna menahan napas panjang dan menoleh cepat ke arah Raka dengan ekspresi penuh amarah campur panik. "Mereka mengerti... semuanya," jawabnya singkat, sebelum kembali fokus pada mantra yang ia ucapkan.
"Semua? Oh, bagus!" Raka menelan ludah dan kembali tersenyum canggung ke arah penjaga hutan. "Oke, kalian dengar itu... aku hanya bercanda, ya. Hehe... kalian hebat... tangguh... kulit kayu kalian indah sekali, seperti pohon natal tapi... lebih... menakutkan..."
Penjaga hutan mengerutkan kening, seakan-akan tidak terkesan dengan pujian absurd Raka. Salah satu dari mereka menggerakkan tangannya perlahan, dan ranting-ranting di sekitarnya mulai bergetar.
Raka menatap Aluna dengan panik. "Mereka mulai bergerak! Apa kau yakin rencana ini berhasil?"
Aluna menunduk sedikit, melanjutkan mantra dengan lebih cepat, seakan-akan tahu bahwa waktu mereka semakin habis.
Raka, yang sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi, merapatkan tubuhnya ke batang pohon di sebelahnya, berharap dia bisa lenyap begitu saja. "Ini seperti bertemu mertua untuk pertama kali dan mereka langsung tidak suka padamu," gumamnya sendiri. "Tapi ini jauh lebih buruk karena... mereka bisa mengirimmu jadi pupuk."
Aluna akhirnya selesai mengucapkan mantranya. Udara di sekitar mereka berubah, dan Raka bisa merasakan energi aneh merambat melalui tanah. Kedua penjaga hutan berhenti bergerak, dan aura tegang di sekitar mereka mulai mereda. Perlahan-lahan, mereka menurunkan tangan mereka yang sebelumnya bersinar dengan energi magis.
"Berhasil," kata Aluna, napasnya sedikit terengah. "Mereka tidak akan menyerang kita."
Raka masih berdiri mematung, seolah-olah takut bergerak akan memicu sesuatu yang buruk lagi. "Mereka... nggak akan menyerang? Kau yakin? Maksudku... mungkin mereka cuma nunggu kesempatan?"
Aluna menggeleng. "Mereka tidak akan menyerang. Aku sudah menjelaskan bahwa kita bukan ancaman bagi mereka." Dia melirik ke arah Raka dengan tatapan tajam. "Asalkan kau tidak berbicara lagi."
Raka tersenyum kikuk. "Oke, oke, aku diam. Sungguh. Mulai sekarang, aku Raka si pendiam."
Namun, saat mereka mulai berjalan perlahan melewati penjaga hutan, Raka tidak bisa menahan diri. "Tapi serius... mereka mirip pohon natal, ya? Maksudku, kalau ada lampu-lampu, mereka bakal kelihatan keren di malam hari..."
Aluna mendesah panjang, tapi kali ini tidak menegur Raka. Mereka terus berjalan menjauh dari penjaga hutan, dan suasana di sekitar mereka kembali tenang, meski ketegangan masih menggantung di udara.
Setelah beberapa menit berjalan dalam keheningan, Raka akhirnya tidak tahan lagi. "Jadi, sekarang kita pergi ke desa yang kau bilang tadi?"
Aluna mengangguk. "Ya, desa itu tidak jauh lagi. Kita hanya perlu berhati-hati agar tidak menarik perhatian siapa pun."
"Berhati-hati?" Raka mengerutkan kening. "Aku nggak tahu kalau kau sadar, tapi aku punya bakat alami untuk menarik perhatian. Itu... bukan hal yang mudah dikendalikan."
Aluna tersenyum tipis, tapi kali ini ada sedikit rasa terima dalam tatapannya. "Aku sudah memperkirakan itu."
Raka menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Tunggu, kau bilang begitu seolah-olah kau sudah siap dengan segala kekacauan yang mungkin aku buat?"
Aluna meliriknya sekilas dan mengangkat bahu. "Setidaknya, aku tahu apa yang aku hadapi."
Raka tertawa kecil, meski dia tahu situasi mereka masih sangat serius. "Kau terlalu meremehkanku. Kalau ada hal yang aku kuasai, itu adalah membuat kekacauan yang lebih besar dari yang diharapkan."
Aluna tidak bisa menahan senyum kali ini, meski hanya sekilas. "Ya, aku yakin akan hal itu."
Mereka berdua terus melangkah melalui hutan yang mulai terbuka, menuju desa yang dimaksud Aluna. Meski ancaman prajurit dan penjaga hutan masih ada di benak mereka, Raka merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa bertahan dalam pelarian ini—meskipun dengan banyak kekacauan di sepanjang jalan.
Hutan yang tadinya terasa sempit dan menekan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Raka, yang masih mencoba untuk tetap diam sesuai janji, tidak bisa menahan diri untuk menatap sekeliling. Dia terus mengamati dengan rasa ingin tahu yang bercampur takut, seakan-akan pohon-pohon bisa berubah menjadi makhluk hidup kapan saja—mengingat pengalaman barusan dengan penjaga hutan.
“Jadi...” Raka membuka percakapan, meski sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu banyak bicara. “Apakah semua pohon di sini bisa berubah menjadi monster? Atau itu cuma yang spesial?”
Aluna, yang berjalan di depannya, tidak menoleh. “Hanya penjaga hutan yang memiliki sihir untuk berubah. Pohon lainnya aman. Kau bisa berhenti khawatir soal itu.”
Raka tertawa canggung, meskipun jelas bahwa dia masih merasa waspada. “Ah, bagus... bagus. Aku nggak mau diburu oleh pohon-pohon. Maksudku, pohon-pohon biasanya tenang, ya kan? Mereka diam. Tidak bergerak. Itu yang kusuka dari pohon...”
Aluna meliriknya sebentar, mungkin tidak tahu harus menjawab apa. Namun, untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, dia terlihat sedikit rileks, meskipun tetap waspada. Perjalanan ini tidak mudah bagi mereka berdua—dan meski Aluna adalah seorang putri yang terbiasa dengan dunia sihir, ia menyadari bahwa Raka sedang berusaha untuk mengikuti ritme aneh ini.
“Sebentar lagi kita akan sampai di desa,” kata Aluna, kali ini dengan nada yang lebih santai. “Kita bisa istirahat di sana dan merencanakan langkah selanjutnya.”
“Bagus!” Raka terlihat lega. “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa terus berlari... atau berbicara dengan pohon... atau... yah, hidup tanpa mandi.” Dia mengernyit, menyadari betapa lelah dan kumalnya dirinya sekarang. “Desa ini punya tempat mandi, kan?”
Aluna hanya tersenyum tipis, sedikit geli dengan keluhan Raka. “Kita akan lihat nanti. Tapi ingat, kita harus tetap menyamar.”
Raka menyipitkan matanya, seolah-olah memikirkan sesuatu yang mendalam. “Menyamar, ya... Bagaimana kalau aku menyamar jadi... pahlawan? Kau tahu, pahlawan yang menyelamatkan putri dari musuh jahat? Itu keren, kan?”
Aluna menahan tawa kecil. “Aku yakin mereka tidak akan percaya kalau kau pahlawan.”
“Apa itu penghinaan terselubung?” Raka berpura-pura memasang wajah terluka. “Aku bisa jadi pahlawan, kau tahu. Mungkin pahlawan yang lucu, tapi tetap pahlawan.”
“Pahlawan lucu, ya?” Aluna mengangkat alisnya. “Itu sesuatu yang belum pernah aku dengar.”
“Selalu ada yang pertama untuk segalanya!” balas Raka dengan penuh percaya diri. “Mungkin aku akan menjadi pahlawan legendaris di dimensi ini. Orang-orang akan bercerita tentang Raka, sang penyelamat dimensi... yang selalu membawa alat rusak yang bisa melemparnya ke tempat yang salah.”
Aluna akhirnya tertawa kecil, meskipun jelas ia tidak ingin terlalu terbawa suasana. Ada bahaya yang terus mengintai di belakang mereka, dan sebagai putri kerajaan, ia tahu betul bahwa mereka tidak bisa lengah.
Setelah beberapa saat, mereka mulai melihat tanda-tanda kehidupan. Asap tipis mengepul dari kejauhan, dan suara samar aktivitas desa mulai terdengar di telinga Raka. Meski ia tidak tahu apa yang diharapkan dari desa di dunia sihir, ada perasaan lega yang muncul di hatinya saat mendekati tempat yang lebih aman.
“Desa itu?” Raka bertanya sambil menunjuk asap tipis yang terlihat dari celah di antara pepohonan.
Aluna mengangguk. “Itu desa yang ku maksud. Orang-orang di sana tidak terlalu peduli dengan urusan kerajaan, tapi kita harus tetap waspada. Ada beberapa mata-mata kerajaan yang mungkin berkeliaran.”
Raka meneguk ludah. “Mata-mata? Maksudmu, kita bisa tertangkap lagi? Ini semakin seru saja.”
“Tidak perlu terlalu khawatir,” kata Aluna, berusaha menenangkan. “Jika kita bisa menyamar dengan baik, tidak ada yang akan mengenali kita.”
“Baiklah, aku menyamar jadi apa? Orang biasa? Pedagang keliling?” Raka berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar. “Atau bagaimana kalau aku jadi penyanyi jalanan? Aku bisa menyanyikan lagu-lagu ceria untuk menyembunyikan identitasku. Itu akan jadi penyamaran yang hebat, bukan?”
Aluna hanya memandangnya dengan tatapan tak percaya. “Kita akan mencari sesuatu yang lebih... tenang.”
Mereka terus melangkah menuju desa, dan ketika mereka akhirnya tiba di gerbang desa kecil itu, Raka merasa lega melihat bahwa tempat tersebut tampak damai. Beberapa penduduk desa sedang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, seperti menjemur pakaian, menggiling biji-bijian, dan ada juga yang terlihat sedang memperbaiki peralatan rumah tangga. Meski mereka tampak seperti orang biasa, Raka tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang masih menyelimuti dirinya.
“Apa mereka akan tahu kalau kita pendatang?” Raka berbisik pada Aluna saat mereka berjalan melewati beberapa rumah kecil.
“Tidak jika kita tidak membuat keributan,” jawab Aluna dengan suara rendah. “Ingat, kita hanya perlu mencari tempat untuk bersembunyi sementara.”
“Baiklah... Tapi jujur, aku merasa seperti tokoh utama dalam misi penyamaran di sebuah game,” kata Raka sambil menahan tawa. “Tunggu sebentar, aku benar-benar suka bagian ini. Mungkin aku harus membuat dialog seperti, ‘Ya, saya hanya seorang petani biasa, tidak ada yang perlu dicurigai di sini...’”
Aluna mendesah, tapi kali ini ada senyum kecil di wajahnya. “Diamlah, Raka.”
Namun, meskipun mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian, tidak butuh waktu lama sebelum seseorang dari desa mulai memperhatikan mereka. Seorang pria tua dengan jubah tebal berjalan mendekat, matanya menyipit menatap Raka dan Aluna dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kalian berdua dari mana?” tanya pria itu dengan suara berat dan curiga. “Aku tidak mengenali kalian.”
Raka menegakkan tubuhnya, bersiap menggunakan keahliannya dalam berbicara. “Oh, kami... ehm, dari desa sebelah!” katanya sambil tersenyum lebar. “Kami hanya... berjalan-jalan, mencari... pemandangan!”
Aluna menutup wajahnya dengan tangan, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Pria tua itu memandang mereka sejenak, lalu tertawa keras. “Pemandangan? Di sini? Anak muda, kau pasti bercanda! Tidak ada yang datang ke desa ini untuk pemandangan.”
Raka mengangkat bahu, masih tersenyum lebar. “Yah, aku orang yang unik!”
Pria tua itu menatap Raka lebih lama, sebelum akhirnya mengangguk. “Hati-hati di sini. Ada banyak orang yang mencari masalah. Jangan terlibat terlalu dalam.”
Aluna akhirnya membuka suara, “Terima kasih atas peringatannya. Kami akan berhati-hati.”
Pria itu mengangguk sekali lagi sebelum melanjutkan jalannya. Raka menatap Aluna dengan ekspresi bangga. “Lihat? Aku berhasil! Tidak ada yang curiga sama sekali!”
Aluna hanya menghela napas panjang, tapi kali ini ada senyum kecil di wajahnya. “Ayo, kita cari tempat aman untuk beristirahat.”
---