Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Perempuan yang Lebih Baik
Karin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Mungkin saja itu hanya halusinasinya saja atau orang yang dilihatnya hanya sekedar mirip.
"Pak tolong buka pintunya!" kata Karin pada supir.
Supir itu mengangguk, lalu membukakan kunci mobil.
"Makasih ya Pak, ongkosnya udah saya bayar via e-wallet," ucap Karin tergesa.
"Iya mbak," jawab supir berjas itu.
Karin keluar dari mobil dengan terburu-buru, lalu berlari menerobos hujan ke arah pelataran cafe. Dengan keadaan basah kuyup dia mendekat ke arah sejoli yang sedang duduk berhadapan di sebuah meja, dan berpegangan tangan dengan mesra. Karin sangat berharap mereka bukanlah orang yang dia kenal.
"Kamu suka cincinnya kan?" tanya laki-laki yang suaranya tak asing lagi di telinga Karin
"Ih, aku suka banget Mas. Ini bagus banget, pasti harganya juga mahal kan Mas," jawab perempuan berambut pendek di hadapan laki-laki itu dengan manja.
"Iya itu berlian asli loh sayang, tapi kamu enggak usah permasalahkan soal harganya. Kan Mas mu ini banyak uang," ujar laki-laki yang tak lain adalah Cakra, calon suami Karin.
"Mas juga sudah siapin rumah bagus buat kita tinggali setelah menikah nanti loh," tambah Cakra sambil membelai rambut perempuan itu.
Karin terpaku saat mendengar, dan melihat percakapan keduanya. Hatinya sesak dan remuk. Dia benar-benar tak menyangka ternyata dibelakangnya Cakra berani menduakan cintaku, dan mengobral janji manisnya ke perempuan lain. Padahal beberapa waktu yang lalu laki-laki yang bekerja di kantor kelurahan itu menangis di hadapannya, dan mengatakan bahwa dirinya pantas mati karena sudah membuatnya kecewa.
Karin tak bisa tinggal diam, dan membuat Cakra merasa menang karena sudah membodohinya.
"Mas Cakra!" Karin meneriakkan nama Cakra dengan keras.
Cakra dan perempuan itu sontak menoleh, dan mereka sama-sama terkejut melihat kehadiran Karin.
"Ka-karin ... kamu kok bisa disini?" tanya Cakra sambil berdiri dari tempat duduknya, suaranya terdengar begitu gugup.
Karin mendekat ke arahnya. Dia berusaha tegar walau tangannya mulai gemetar. "Aku yang seharusnya tanya sama kamu Mas. Kenapa kamu bisa ada disini? Kamu lagi selingkuh ya sama perempuan ini?"
Mata Karin menatap tajam ke arah perempuan itu. Namun, perempuan itu tampak tak takut, dan malah balik menatap tak suka pada Karin.
"Dia siapa Mas?" tanyanya sambil bergelayut di lengan Cakra.
"Di-dia ...." Cakra tergagap, tak mampu menjawab pertanyaan Karin, atau perempuan selingkuhannya.
"Aku Karin calon istrinya Mas Cakra," ucap Karin dengan lantang.
Karin pikir dengan mengaku perempuan itu akan terkejut, merasa malu, dan kesal karena sudah ditipu oleh Cakra. Namun tak disangka perempuan itu malah tersenyum simpul lalu membulatkan mulutnya.
"Oh, jadi kamu yang namanya Karin. Calon istri Mas Cakra yang payah itu," jawabnya dengan nada mengejek.
"Kenalin aku Nadia pacar barunya Mas Cakra." tambahnya sambil mengulurkan tangannya dengan tak tahu malu.
Karin sontak menampik uluran tangan itu dan meluapkan amarahnya. "Bisa-bisanya kamu jadi pacar Mas Cakra padahal kamu tahu kalau Mas Cakra sudah punya calon istri? Dan maksud kamu barusan apa? Kenapa berani menyebut aku calon istri yang payah?"
Bukannya menyahut, Nadia malah menggerakan mulutnya dengan tak jelas seolah mencibir Karin. Karin lantas beralih menatap Cakra yang setengah menunduk.
"Kenapa kamu tega khianati aku seperti ini, Mas?Dan kamu udah cerita apa aja soal aku sama dia Mas? Kenapa dia menyebut aku calon istri yang payah?"
"Jawab aku Mas!" teriak Karin sambil mengguncang lengan Cakra.
"Lepasin! Bukan Mas Cakra yang cerita, tapi Ibunya Mas Cakra yang cerita sama aku ... katanya dia enggak suka sama kamu, soalnya kamu itu payah sebagai wanita. Enggak bisa bersih-bersih dan masak," jawab Nadia sambil mendorong Karin menjauh dari sosok Cakra.
"Apa! Jadi Ibu kamu juga udah kenal sama perempuan gatal ini, Mas?"
"Jangan bilang ibu kamu juga yang menjodohkan kamu dengan perempuan gatal ini?" tanya Karin sambil menahan sakit di hatinya.
"Karin!" Cakra sontak membentak Karin.
"Berhenti sebut Nadia seperti itu! Ibu dan Nadia benar kamu itu hanya perempuan payah!" Cakra mulai berani bersuara. Laki-laki berkulit putih itu tampaknya tak suka Karin memaki selingkuhannya.
"Kamu harus tahu Nadia itu lebih bisa merawat dirinya. Dia juga pandai merawat rumah dan membuat makanan enak. Enggak seperti kamu yang cuma tau bekerja dan cari uang!" tambah Cakra sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Karin.
Karin lantas mengamati Nadia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Nadia memang sangat seksi dengan hotpants dan kaos ketat yang membuat kedua gunungnya semakin terlihat besar. Juga wajahnya yang putih dan glowing seperti orang korea. Sedangkan dirinya ... selama ini dia memang jarang memperhatikan penampilannya, karena dirinya terlalu sibuk mencari uang untuk ibu dan adiknya, dan juga menabung untuk pernikahannya dengan Cakra.
Karin kira selama ini Cakra tak keberatan dengan kekurangan yang dimilikinya. Namun, ternyata Karin salah menilai Cakra. Laki-laki itu ternyata pandai berbohong, dan menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Jangan-jangan soal penipuan yang dibicarakannya beberapa saat lalu itu juga bohong? Batin Karin.
"Jangan bilang soal penipuan itu cuma alasan kamu saja ya, Mas? Sedari awal kamu memang berniat membatalkan pernikahan kita kan?" Suara Karin mulai bergetar menahan air mata.
Cakra mengangguk. "Iya benar! Penipuan itu hanya alasanku saja. Aku sebenarnya enggak tega ngasih tau kebenarannya sama kamu."
"Cuma karena sudah terlanjur ketahuan aku akan memperjelas semuanya sekarang. Aku enggak akan menikahi kamu Karin! Aku akan menikahi Nadia. Perempuan yang lebih baik segalanya dari kamu!" jawab Cakra lantang sambil merangkul bahu Nadia.
Karin mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan sakit, tangis, dan amarah yang akan meledak.
"Kamu udah dengar kan apa kata Mas Cakra. Jadi mending sekarang kamu pergi dari sini," ujar Nadia merasa menang dari Karin.
"Dasar perempuan enggak tahu malu, perebut calon suami orang lain," desis Karin penuh amarah.
Bukannya paham, Nadia malah terkekeh mendengarnya. "Heh aku tuh enggak merebut Mas Cakra ya dari kamu. Ibunya Mas Cakra sendiri yang ngenalin aku sama Mas Cakra."
Karin kembali menatap Cakra. Dia tahu dari awal ibunya Cakra tak suka dengannya, dan mengajukan begitu banyak syarat pada dirinya. Namun, Karin bertahan karena perasaannya yang tulus kepada Cakra, dan dia berpikir Cakra juga berperasaan yang sama dengannya.
"Kamu harusnya bisa menolak keinginan ibu kamu Mas. Kamu harusnya ikuti kata hati kamu," ucap Karin lirih.
"Sudahlah Rin! Hubungan kita udah selesai. Aku enggak mau menjalani sebuah hubungan yang tak direstui oleh Ibu," jawab Cakra sambil membuang muka.
Saat membuang muka tak sengaja Karin melihat air mata di sudut mata sang mantan kekasih. Karin jadi bingung apakah hati Cakra benar-benar sudah berpaling darinya? Atau dia hanya terpaksa menuruti kemauan ibunya.
"Dengar kan apa jawaban Mas Cakra. Mending sekarang kamu pergi dari sini!" Nadia mulai mendorong tubuh Karin kembali.
"Urusan kamu sama Mas Cakra itu sudah selesai!" Dia terus mendorong dada Karin.
Mendengar ucapan Nadia, Karin jadi teringat akan sesuatu hal.
"Aku enggak akan pergi dari sini!" Karin pun berteriak sambil menolak dorongan dari Nadia.
"Aku enggak akan pergi sebelum kamu balikin uangku Mas! Kamu harus ingat kalau sebagian dari tabungan pernikahan kita itu adalah uangku Mas!" teriak Karin.
Jika memang Cakra sudah tak punya perasaan padanya tak apa, tapi Karin tak rela laki-laki itu mengambil hasil kerja keras yang susah payah dia simpan selama bertahun-tahun.
"Kembalikan uangku Mas!" Karin berteriak sambil menunjuk hidung laki-laki buaya darat itu.
Karin tak peduli dengan tatapan dan bisik-bisik para pengunjung yang mengarah ke arahnya. Bahkan dia tak peduli jika ada yang merekam pertikaian yang terjadi.
"Iya nanti aku kembalikan, lagian uang kamu itu hanya 20% dari tabungan. Itu kebanyakannya milikku Rin!" jawab Cakra dengan nada meremehkan.
"Iya tetap saja kembalikan uangnya! Aku enggak ikhlas kamu mengambil uang milikku, dan memakainya untuk perempuan jalang ini!" Karin memaki Nadia. Amarahnya meledak tak terbendung.
"Karin!" bentak Cakra tak terima, tangannya terangkat hendak menampar Karin.
Namun, sebuah tangan dengan sigap menahan tangan itu ... dan ternyata yang menahan tangan Cakra adalah supir online yang tadi mengantar Karin.
"Tolong jangan pakai kekerasan sama perempuan," ujar supir itu sambil menghempaskan tangan Cakra.
"Kamu siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" bentak Cakra.
Supir itu tak menjawab pertanyaan Cakra. Dia malah memandan Karin. Matanya menatap Karin yang terlihat basah dan menyedihkan. Lalu tak diduga dia tiba-tiba mengandeng tangan Karin begitu saja.
"Ayo kita pergi dari sini. Enggak ada gunanya kamu habisin tenaga buat laki-laki buaya macam ini," ucapnya membuat Karin melongo.
"Buaya? Kurang ajar banget kamu ngatain aku buaya!" bentak Cakra sambil berusaha menahan lengan supir berjas itu.
Namun, supir itu menendang tulang kering Mas Cakra hingga membuat Cakra terjungkal, dan mengaduh kesakitan.
"Awww .... kurang ajar kamu! Berhenti kamu!" teriak Cakra.
Supir itu tak peduli dengan teriakan Cakra. Dia terus menggandeng tangan Karin, dan menarik perempuan itu menjauh dari area tersebut. Dia menuntun Karin ke arah mobilnya yang sudah terparkir di bahu jalan.
"Ayo masuk," katanya.
"Enggak usah Pak, saya enggak mau merepotkan Bapak. Saya --"
Ucapan Karin terhenti karena tiba-tiba kedua tangan laki-laki itu memegang bahunya, dan matanya menatap Karina dengan hangat, membuat Karin terhenyak.
"Ayo masuk, hujannya makin deras ... saya enggak mau kamu jatuh sakit."