> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Word: Bagian 7
Bagian 7: Ketika Konflik Memuncak
Hari ini, suasana di kelas terasa berbeda. Ada sesuatu yang menggelayuti udara, sesuatu yang membuat punggungku terasa berat setiap kali aku mendengar suara tawa Kagami dan teman-temannya.
Mungkin itu paranoia. Atau mungkin itu firasat buruk.
Aku mencuri pandang ke arah Aiko, yang duduk diam di bangkunya, memperhatikan buku catatannya dengan serius. Aku bisa melihat bahwa dia berusaha keras untuk tidak menarik perhatian siapa pun, tapi aku tahu itu tidak akan cukup.
Dan aku benar.
...****************...
Waktu istirahat.
Aku sedang membereskan mejaku ketika Kagami berjalan mendekati Aiko. Gerakannya lambat, hampir seperti dia sengaja ingin menarik perhatian seluruh kelas. Teman-temannya mengikuti di belakang, wajah mereka penuh dengan ekspresi antusias yang membuatku merasa tidak nyaman.
“Aiko-chan,” panggil Kagami dengan nada ramah yang jelas palsu.
Aiko mendongak, tatapannya waspada.
“Aku cuma ingin tahu,” lanjut Kagami, mengambil salah satu buku catatan dari mejanya, “apa kau menulis sesuatu tentang kami di sini?”
Dia membuka buku itu sembarangan, lalu tertawa kecil. “Atau mungkin ini catatan rahasia? Hm?”
Aiko mencoba mengambil bukunya kembali, tapi Kagami mengangkatnya lebih tinggi, terlalu jauh untuk dijangkau tangannya. Teman-temannya mulai tertawa, dan aku merasa darahku mendidih.
“Kembalikan,” kataku sambil berdiri dari bangkuku.
Kagami menoleh, seringai muncul di wajahnya. “Oh, lihat siapa yang akhirnya punya keberanian.”
Aku menelan ludah, mencoba menahan rasa gugup. “Aku bilang… kembalikan bukunya.”
Dia menatapku beberapa detik, lalu menurunkan buku itu sedikit, seolah mempertimbangkan. “Oh, tentu saja,” katanya, sebelum dengan sengaja menjatuhkan buku itu ke lantai.
“Ups.”
Aiko membungkuk untuk mengambilnya, tapi salah satu teman Kagami dengan cepat menyentuh bahunya, menghentikannya.
“Biarkan dia yang mengambil,” kata anak itu sambil melirik ke arahku.
Aku menatap mereka dengan amarah yang semakin sulit kutahan. Mereka ingin mempermalukanku. Mereka ingin aku menunduk di depan mereka.
Tapi ketika aku menatap Aiko, yang duduk diam dengan ekspresi cemas di wajahnya, aku tahu aku tidak punya pilihan lain.
Aku berjalan maju, menunduk untuk mengambil buku itu. Tapi sebelum tanganku sempat menyentuhnya, Kagami menginjaknya dengan kuat, membuatku berhenti.
“Kenapa kau repot-repot, Kenta?” tanyanya sambil menatapku dengan seringai. “Dia bahkan tidak bisa berterima kasih padamu.”
Aku mengepalkan tanganku, tapi sebelum aku bisa melakukan apa pun, suara keras dari pintu kelas yang dibanting membuat kami semua menoleh.
BRAK!
Guru wali kelas kami berdiri di sana dengan tatapan tajam. “Apa yang kalian lakukan di sini? Semua kembali ke tempat duduk!”
Kagami dengan santai mengangkat kakinya dari buku itu, lalu berjalan kembali ke tempat duduknya dengan seringai kecil. Teman-temannya mengikutinya, tertawa pelan.
Aku mengambil buku itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu menyerahkannya kepada Aiko. “Ini,” kataku pelan.
Dia mengambilnya tanpa berkata apa-apa, tapi aku bisa melihat rasa terima kasih di matanya.
...****************...
Di atap sekolah, saat istirahat kedua.
“Aku minta maaf,” kataku sambil duduk di samping Aiko.
Dia menatapku dengan bingung, lalu mengeluarkan buku catatan kami dan menulis sesuatu.
> Kenapa kau minta maaf?
Aku membaca tulisannya, lalu menghela napas panjang. “Karena aku tidak cukup kuat untuk melawan mereka. Karena aku… hanya bisa melakukan ini.”
Dia menatapku dengan ekspresi lembut, lalu menulis sesuatu lagi.
> Kau sudah melakukan banyak hal. Jangan menyalahkan dirimu sendiri.
Aku membaca tulisannya dengan perasaan bercampur aduk. Dia begitu sabar, begitu tulus, tapi aku tahu itu tidak adil.
“Aku harus melakukan sesuatu,” gumamku, lebih kepada diriku sendiri.
Aiko menatapku dengan rasa ingin tahu, tapi sebelum aku bisa menjelaskan, suara langkah kaki mendekat.
Aku menoleh, dan melihat Kagami berdiri di sana, sendirian kali ini.
“Bolehkah aku bergabung?” tanyanya dengan nada yang terdengar ramah, tapi tatapannya penuh dengan sesuatu yang gelap.
aku mampir ya 😁