"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang 4 hati
"Va?" panggil Dikta saat menjumpai sosok Varissa yang tengah berdiri di pinggir jalan sendirian.
"Dikta?" Varissa seolah tak percaya bahwa pertemuan Dikta ternyata hanya sesingkat ini. "Udah selesai makannya?" imbuh Varissa.
Dikta mengangguk. Lelaki itu berdiri tepat di sebelah Varissa sambil memasukkan kedua tangannya didalam saku celana bahan yang ia kenakan.
"Ngapain disini? Erik mana?" Dikta menatap ke sekeliling. Tak ada tanda-tanda keberadaan suami perempuan cantik itu di sekitar mereka.
"Udah pulang duluan," jawab Varissa singkat.
"Kenapa?"
"Biasalah. Ngurusin selingkuhannya," tukas Varissa enteng. Tak ada lagi yang terasa sesak di dalam dada jika dia membahas Erik dan Mauren. Tidak seperti dulu.
"Sekarang, kamu lagi apa disini?"
Varissa menoleh. Sedikit mendongak menatap wajah Dikta yang meski dia sudah mengenakan heels setinggi 5 cm, masih belum bisa sejajar dengan tinggi lelaki itu.
"Nunggu taksi online."
Dikta mengangguk mengerti. Setelah itu, dia tak bertanya apa-apa lagi. Yang ia lakukan hanya terus berdiri dengan jarak sekitar empat langkah dari Varissa sambil menatap lurus ke depan.
"Kamu ngapain ikutan berdiri di sini?" tanya Varissa sedikit canggung.
"Jagain kamu sampai taksi online-nya datang," jawab Dikta tanpa menoleh.
Varissa mengeratkan pegangannya pada tas clutch yang ia bawa. Sumpah! Dengan perlakuan sesederhana ini saja, sudah membuat Varissa hampir meleleh. Jangan tanyakan apa kabar jantungnya saat ini. Sudah pasti berdetak lebih cepat dibanding laju lari kuda perang.
"N-nggak perlu. Kami bisa pulang duluan kok. Nggak usah repot-repot," tolak Varissa jaim.
"Kamu nggak sadar kalau tampilan kamu itu terlalu mencolok? Kalau ada orang yang berniat jahat sama kamu, gimana?"
JLEB!
Benar juga kata Dikta. Varissa baru sadar bahwa penampilannya memang terlalu 'wah' untuk ukuran seseorang yang sedang menunggu taksi online di pinggir jalan. Alih-alih dihampiri taksi, justru mungkin malah lebih dulu di hampiri oleh jambret atau begal.
"Masih lama?" tanya Dikta beberapa detik kemudian.
"Paling 10 menit lagi. Kata driver-nya, beliau kejebak macet," jawab perempuan dengan dress hitam itu. "Kalau kamu mau balik duluan, nggak apa-apa kok, Ta! Kamu juga 'kan lagi sakit. Nggak baik kena angin malam terlalu lama," lanjut Varissa yang merasa tak enak.
"Sakitnya udah mendingan. Kamu nggak perlu cemas. Justru, kamu yang kemungkinan malah bisa ikut-ikutan sakit gara-gara nggak pakai jaket malam-malam begini," tukas Dikta.
Varissa memperhatikan bajunya sendiri. Memang benar. Sekarang terasa sedikit dingin karena dia kebetulan mengenakan gaun yang tanpa lengan.
"Maaf, aku nggak bisa antar kamu pulang. Akan ada masalah kalau sampai Erik lihat kita pulang berdua," lanjut lelaki berkacamata itu.
"Maaf juga. Aku nggak bawa jaket, jadi nggak bisa pinjemin apa-apa buat nutupin badan kamu biar nggak kedinginan," timpanya.
Varissa berusaha menyembunyikan senyum yang memaksa terbit. Tampang Dikta memang boleh terlihat datar, dingin dan cuek. Tapi, perlakuannya luar biasa bertolak belakang dengan penampilan luarnya. Dia sosok lelaki yang akan menjadi pasangan sempurna untuk seseorang yang bergelar sebagai jodohnya kelak.
DEG!
Ada sesuatu yang terasa berdenyut nyeri dibalik dada Varissa saat membayangkan Dikta akan berjodoh dengan perempuan lain. Dan, andai hal itu benar-benar terjadi, bagaimana perasaan Varissa saat itu? Akankah dia baik-baik saja?
"Taksi online-nya udah datang," ucap Dikta yang langsung menghampiri mobil Avanza berwarna silver tersebut. Ia berbicara sebentar dengan sang supir sebelum membuka pintu belakang dan mempersilahkan Varissa untuk masuk.
"Terimakasih ya, Ta!" ucap Varissa.
Dikta mengangguk dan menutup pintu mobil untuk Varissa. Setelah mobil itu mulai bergerak menjauh, ia memutuskan untuk pulang ke apartemen juga.
******
PRANG!!!
Sebuah vas bunga melayang dan hampir mengenai Erik sesaat setelah dia memasuki apartemen milik sang kekasih. Tak menunggu lama, amarah kembali berkobar didalam hati Erik dan langsung menghampiri Mauren lalu mendorong kasar wanita itu hingga terduduk di sofa.
"Kamu apa-apan, sih? Udah tambah gila ya, kamu?" Rahang Erik mengerat. Tangan kanannya menjambak rambut Mauren dengan kasar.
"Kamu yang buat aku jadi seperti ini, Mas!" Mauren tak mau kalah. Dia menggigit lengan Erik hingga jambakan di rambut panjangnya berhasil terlepas.
Erik mengadu kesakitan. Lelaki itu terpundur dan akhirnya memilih ikut duduk sambil berusaha meredam emosi yang terlanjur menguasai kepala.
"Kamu kenapa ngancam-ngancam aku kayak gitu? Apa kamu nggak tahu kalau tadi itu aku udah hampir dapetin tanda tangannya Varissa? Andai bukan gara-gara kamu, harta Varissa pasti sudah berpindah ke tanganku, Ren!"
"Alah! Jangan banyak alasan, Mas! Bukannya tadi kamu justru malah lagi makan malam romantis sama istri kamu itu? Kamu bahkan beliin dia kalung berlian yang pengen banget aku miliki. Bahkan, kamu dansa dan ciuman mesra sama dia. Padahal, kamu sendiri yang bilang ke aku kalau kamu udah jijik banget sama perempuan jelek itu," teriak Mauren penuh emosi.
"Kamu tahu darimana?" tanya Erik heran.
Mauren melangkah cepat memasuki kamarnya. Tak berselang lama, ia keluar kembali sambil membawa ponselnya.
"Baca sendiri!" kata Mauren seraya melemparkan ponselnya ke pangkuan Erik.
Alis Erik mengernyit membaca pesan dari nomor tak di kenal itu. Ia mencoba menghubungi kembali namun tak bisa sama sekali karena itu merupakan nomor pribadi.
"Kamu tahu siapa yang ngirim pesan ini?"
Mauren mendengus sebal. "Siapa lagi kalau bukan istri kamu, Mas!"
Erik menarik nafas panjang. Dirinya sudah terlalu jengah mendengar Mauren selalu saja menyudutkan Varissa.
"Jangan mengada-ada. Kamu pikir, aku nggak tahu berapa nomor yang dimiliki Varissa?"
"Kalau dia beli nomor baru dan HP baru, memangnya dia harus lapor ke kamu?" Mauren menatap Erik tak percaya. Bisa-bisanya lelaki ini diperdaya oleh perempuan lemah macam Varissa.
"Aku yakin, Mas! Dia pasti tahu kalau kita selama ini sudah selingkuh. Makanya, dia celakain aku dan bikin aku masuk rumah sakit."
"Cukup!" Erik mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. "Kita udah bahas ini sebelumnya, Mauren! Kalau kamu terus-terusan menganggu rencanaku, maka lebih baik kita putus!"
"Oke! Nggak apa-apa kita putus. Tapi, apa kamu pikir aku bakalan biarin kamu bahagia, Mas?" Mauren bersedekap dengan bibir tersenyum licik.
"Kamu mau ngapain, hah?" Erik menyerbu Mauren. Lelaki itu menyudutkan Mauren di sebuah sofa tunggal dengan kedua tangan yang berada dileher putih selingkuhannya itu. "Aku tanya, kamu mau ngapain?" geram Erik penuh amarah.
"M-Mas.. Uhuk-uhuk...," Mauren terbatuk. Ia berusaha melepaskan tangan Erik yang terasa hendak meremukkan tulang lehernya.
Menyadari bahwa cekikannya sudah hampir membuat Mauren kehabisan nafas, Erik segera menjauhkan tangannya dan berangsur menjauh dari wanita itu. Ia kembali duduk di tempatnya sembari menyisir rambutnya dengan jari tangan.
"Tolong jangan memperkeruh suasana, Mauren! Kita ini satu tujuan. Apa tidak bisa kamu percaya sama aku sedikit aja?"
"Gimana aku bisa percaya, Mas?" Mauren memperbaiki posisi duduknya sambil memegang lehernya yang masih terasa sakit. "Kalau kamu terus saja mengingkari omongan kamu sendiri?" timpanya.
"Terus, aku harus bagaimana agar kamu bisa percaya dan berhenti merecoki rencanaku, hah?"
"Jangan pedulikan istri kamu lagi. Ngerti, Mas?"